Konflik selalu menciptakan perpecahan dan keterpisahan. Penyatuan
atau rekonsiliasi dapat dimungkinkan jika salah satu pihak mengambil
inisiatif untuk menyelesaikan konflik tersebut. Pertanyaan adalah siapa
yang mesti mengambil inisiatif? Apakah pihak yang salah ataukah pihak
yang benar? Sepertinya akan semakin sulit jika pihak yang salah
mengeraskan hati dan pihak yang benar diliputi oleh egoisme.
Jika kita memerhatikan narasi Kitab Kejadian ps 3 :1-15, ada kebenaran penting yang ditampilkan tentang manusia dan Allah dalam hal konflik yang dinarasikan. Tentang manusia, ketika mc tidak taat kepada perintah Allah, manusia melarikan diri dan bersembunyi. Allah sebaliknya, walau berada dalam pihak yang benar justru yang mengambil INISIATIF untuk mencari manusia. Berinisiatif untuk berdamai. Disini sebagai pihak yang benar Allah tidak tahan harga (egois) melainkan bayar harga (merendahkan diri).
Jika kita memerhatikan narasi Kitab Kejadian ps 3 :1-15, ada kebenaran penting yang ditampilkan tentang manusia dan Allah dalam hal konflik yang dinarasikan. Tentang manusia, ketika mc tidak taat kepada perintah Allah, manusia melarikan diri dan bersembunyi. Allah sebaliknya, walau berada dalam pihak yang benar justru yang mengambil INISIATIF untuk mencari manusia. Berinisiatif untuk berdamai. Disini sebagai pihak yang benar Allah tidak tahan harga (egois) melainkan bayar harga (merendahkan diri).
Kuatnya Budaya Egoisme
Sudah menjadi kebiasaan diantara kita bahwa jika ada konflik yang terjadi maka pihak yang bersalah yang mesti datang atau berinisiatif untuk menyelesaikan masalah sedangkan pihak yang benar dalam posisi menunggu. Kita selama ini diajarkan dan dididik dalam budaya yang sedemikian sehingga itulah yang kita praktekan dalam hal penyelesaian konflik. Bayangkan saja jika kedua belah pihak, pihak yang salah merasa malu dan bersembunyi dan pihak yang benar pun menunggu saja. Apa yang terjadi? Selalu pihak yang benar karena merasa benar akan menjadi semakin egois: " diakan yang salah, seharusnya dialah yang datang meminta maaf". Jika prinsip ini yang dipakai tidak pernah ada rekonsiliasi.
Meneladani Pihak Yang Benar
Alkitab menunjukkan kepada kita secara jelas tentang tindakan Aĺlah dalam hal ini. Walau berada dalam posisi yang benar tetapi Dialah yang pertama-tama mengambil inisiatif untuk berdamai dengan manusia. Sebuah kebenaran yang sungguh mencegangkan karena Allah mau berinisiatif. Jika Ia berdiam maka tidak pernah akan ada perdamaian karena manusia yang berada dalam pihak yang bersalah bukannya sadar dan mengakui kesalahannya melainkan menjadi takut, melarikan diri dan bersembunyi.
Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah. (Matius 5:9)
Sudah menjadi kebiasaan diantara kita bahwa jika ada konflik yang terjadi maka pihak yang bersalah yang mesti datang atau berinisiatif untuk menyelesaikan masalah sedangkan pihak yang benar dalam posisi menunggu. Kita selama ini diajarkan dan dididik dalam budaya yang sedemikian sehingga itulah yang kita praktekan dalam hal penyelesaian konflik. Bayangkan saja jika kedua belah pihak, pihak yang salah merasa malu dan bersembunyi dan pihak yang benar pun menunggu saja. Apa yang terjadi? Selalu pihak yang benar karena merasa benar akan menjadi semakin egois: " diakan yang salah, seharusnya dialah yang datang meminta maaf". Jika prinsip ini yang dipakai tidak pernah ada rekonsiliasi.
Meneladani Pihak Yang Benar
Alkitab menunjukkan kepada kita secara jelas tentang tindakan Aĺlah dalam hal ini. Walau berada dalam posisi yang benar tetapi Dialah yang pertama-tama mengambil inisiatif untuk berdamai dengan manusia. Sebuah kebenaran yang sungguh mencegangkan karena Allah mau berinisiatif. Jika Ia berdiam maka tidak pernah akan ada perdamaian karena manusia yang berada dalam pihak yang bersalah bukannya sadar dan mengakui kesalahannya melainkan menjadi takut, melarikan diri dan bersembunyi.
Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah. (Matius 5:9)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar