Tak kurang kisah buram seputar Natal di dalam Alkitab, namun tak
juga cukup untuk menjadi pembelajaran umat. Seluruh kitab Injil sepakat
mencatat ironi Natal, kisah kebodohan manusia yang tidak mengenal Tuhan
yang menciptakannya. Yohanes dengan lugas mengisahkan penolakan umat
terhadap sang Bayi Kudus, Allah pencipta semesta. Inilah wajah buram
Natal. Yohanes 1:10-11, mengatakan: IA telah ada di dalam dunia dan
dunia dijadikan oleh-NYA, tetapi dunia tidak mengenal-NYA. IA datang
kepada milik kepunyaan-NYA, tetapi orang kepunyaan-NYA itu tidak
menerima-NYA.
Natal yang sejati memang penuh air mata, dan lagu “MALAM KUDUS” dengan jeli telah memotretnya. Natal memang betul berita suka cita karena Juru Selamat datang. Namun permasalahannya adalah: SIAPA YANG MENYAMBUT DIA? Nyata nyatanya manusia tak menyambut DIA Yesus bayi Natal itu. Bukan itu saja, masih banyak sisi buram lainnya, namun semua dalam satu kisah yang sama betapa manusia tak memiliki KEPEKAAN untuk memahami kehadiran-NYA di muka bumi ini.
Ya, kehadiran Yesus Kristus bayi kudus itu, telah ditolak dan ternoda oleh perilaku manusia yang justru hendak diselamatkan-NYA. Oh… buramnya Natal di malam yang kudus. Di sana yang tampak nyata hanyalah kepongahan, ke-egoisan, ketidak pedulian manusia terhadap Anak Allah pemilik alam semesta.
Dia Anak Allah yang turun dari surga, yang telah melakukan perjalanan yang bukan saja sangat panjang, dari kekekalan kepada kesemantaraan, tetapi juga yang rela memilih tempat hina sebagai simpatiNYA kepada kelompok bawah, kelompok tersisih. Natal sebuah keberpihakan yang luar biasa.
Yah… semakin hari, semakin ke sini, semakin dekat dengan kita, Natal selalu buram, seburam Natal pertama, namun dalam bentuk yang berbeda. Jika dulu di Natal pertama Yesus yang terabaikan, kini mereka yang menjadi korban keganasan alam, atau mereka yang termiskinkan karena berbagai hal yang tak kuasa mereka hindari. Mereka hanya menjadi penonton kemewahan dan kemeriahan Natal. Mereka tak dapat berbaur, karena tak tersedia tempat, seperti Yesus yang juga tak punya tempat.
Cobalah lihat, tebaran perayaan Natal yang lebih mirip P E S T A ketimbang IBADAH. Atau pergelaran acara kelas raksasa yang justru tak mampu ber-intekasi secara utuh antar-umat, apalagi dengan gembala yang tampaknya semakin sulit terdekati, kecuali oleh orang dari kelas tertentu saja. Entah MENGAPA HARUS BESAR, katanya sih karena Tuhan itu besar. Padahal DIA tak pernah MEMINTA apalagi MEMERINTAH acara yang besar untuk diriNYA. Sudah jelas DIA memilih KESEDERHANAAN untuk diri-NYA. Yang sesungguhnya ada, adalah, kami bisa membuat yang besar, atau kami tak kalah besar dari yang lainnya. Padahal, besar dalam KESEJATIAN Natal adalah KERELAAN untuk menjadi TIADA, dan bukannya ADA. KERELAAN untuk menjadi KECILl, seperti Allah menjadi manusia, dan bukannya keinginan menjadi besar, seperti Adam ingin menjadi Allah.
Yah…kelihatannya Natal masa kini telah memilih jalur yang tak pas, atau malah jalur yang salah. Entah berapa besar biaya untuk sebuah Natal yang besar, baik secara ukuran maupun kemewahan. Cobalah pikirkan, ketika sebuah Natal besar berbiaya tinggi diselenggarakan, bukankah ada orang yang sedang kelaparan? Entah berapa ratus juta atau bahkan miliaran rupiah dana yang tersedot demi Natal yang besar. Sementara, entah berapa banyak mereka yang membutuhkan makanan untuk menyambung kehidupan. Lebih tragis lagi, ada korban yang mati kelaparan sementara lagu-lagu Natal dikumandangkan, dan hidangan Natal melimpah berlebihan. Mungkin anda akan berkata terlalu berlebihan, didramatisir, atau apapun juga. Tapi yang pasti, data mencatat, bahwa memang tiap menit ada kematian karena kelaparan dimuka bumi ini.
Pantas, jika Yesus berkata, “Enyahlah dari hadapan-KU, hai kamu orang orang terkutuk, enyah-lah ke dalam api yang kekal yang telah tersedia untuk iblis dan malaikat-malaikatnya. Sebab ketika AKU lapar, kamu tidak memberi AKU makan; ketika AKU haus kamu tidak memberi AKU minum, ketika AKU orang asing, kamu tidak memberi AKU tumpangan, ketika AKU telanjang, kamu tidak memberi AKU pakaian, ketika AKU sakit dan dalam penjara, kamu tidak melawat AKU”.
Lalu merekapun menjawab DIA, katanya, “Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar, atau haus, atau sebagai orang asing, atau telanjang atau sakit, atau dalam penjara dan kami tidak melayani Engkau”. Maka IA akan menja-wab mereka, “AKU berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk AKU (Matius 25:42-45)”.
Semakin besar gereja, semakin banyak asetnya, seringkali gereja semakin sibuk dengan urusan internalnya. Gereja lalai akan panggilannya, gereja hanyut dalam keasyikannya sebagai yang besar dan penting. Tragisnya, disituasi seperti itu gereja justru merasa sangat maju dan diberkati. Maklumlah, keka-yaan dan keunggulan kuantitas telah menjadi ukuran diberkati Tuhan. Maka sekali lagi, tidaklah mengherankan gugatan Yesus kepada orang percaya atas kelalaian mereka untuk peduli pada sesama, yang tersisih karena kehinaan, kemiskinan atau pun yang terpuruk karena kesalahan yang dilaku-kannya.
Membuat sebuah acara besar, tentu tak segera bisa disebut dosa. Namun melupakan mereka yang terpinggirkan juga jelas sebuah kesalahan yang fatal: kesalahan yang mengundang murka Tuhan. Tak perlu membantah karena semua tampak nyata. Betapa ironisnya jika Natal, malam damai, ternyata tak menjadi damai bagi mereka yang tersisih. Uang tertumpah ke tempat yang salah, sebuah kebesaran acara, dan tertahan ke arah mereka yang justru sangat membutuhkannya demi hidup. Bagaimanapun, ada tersedia jutaan alasan, namun yang diperlukan hanyalah satu kejujuran akan kebenaran. Sudahkah kita melakukannya di malam Natal?
Sangat nyata, kita perlu belajar bersama menghitung ulang seluruh pembiayaan Natal, dan bertanya seberapa besar kepeduliaan pada mereka yang susah. Dan, alangkah indahnya jika kita mengumpulkan dana Natal dalam semangat berbagi dengan mereka yang membutuhkan. Dengan demikian kita menghadirkan Natal yang damai, karena Natal itu memang damai di Bumi. Damai melalui orang percaya yang memengaruhi dunia.
Alangkah merdunya lagu Natal, syahdunya lonceng gereja, dan membahagiakan bagi setiap orang percaya. Bahagia bukan karena acara Natalnya, tapi karena se-mangatnya, semangat membagi damai yang seutuhnya.
Awas, jangan sampai terperangkap pada kemewahan Natal, dan di saat bersamaan ada kematian yang fatal. Fatal, karena kematian terjadi akibat ketidakpedulian di malam kedamaian. Bukankah ini berarti krisis besar telah terjadi di perayaan Natal yang besar? Tapi juga, jangan bersembunyi dibalik kunjung kepenjara, panti asuhan, atau orang yang terpinggirkan, lalu merasa kita telah berbuat. Ini bukan hanya sebuah momentum tapi pelayanan yang berkelanjutan.
Sekali lagi, tak perlu anti-besar, tapi perlu sekali BERHATI BESAR. Tak perlu anti biaya tinggi, tapi untuk BELAJAR BERBAGI. Tak perlu anti perayaan Natal, tapi perlu Natal bersama mereka, yang memang membutuhkan sentuhan DAMAI Natal itu. Mari memahami KESEJATIAN Natal dan melakukan apa yang memang menjadi tuntutan Tuhan yang bersifat final. Selamat hari Natal, bukan harinya tapi SEMANGATNYA. Selamat merayakan Natal, bukan acaranya tapi KEHADIRAN NYATA, Tuhan Yesus sang bayi Natal dalam hidupmu.
Amin..
Natal yang sejati memang penuh air mata, dan lagu “MALAM KUDUS” dengan jeli telah memotretnya. Natal memang betul berita suka cita karena Juru Selamat datang. Namun permasalahannya adalah: SIAPA YANG MENYAMBUT DIA? Nyata nyatanya manusia tak menyambut DIA Yesus bayi Natal itu. Bukan itu saja, masih banyak sisi buram lainnya, namun semua dalam satu kisah yang sama betapa manusia tak memiliki KEPEKAAN untuk memahami kehadiran-NYA di muka bumi ini.
Ya, kehadiran Yesus Kristus bayi kudus itu, telah ditolak dan ternoda oleh perilaku manusia yang justru hendak diselamatkan-NYA. Oh… buramnya Natal di malam yang kudus. Di sana yang tampak nyata hanyalah kepongahan, ke-egoisan, ketidak pedulian manusia terhadap Anak Allah pemilik alam semesta.
Dia Anak Allah yang turun dari surga, yang telah melakukan perjalanan yang bukan saja sangat panjang, dari kekekalan kepada kesemantaraan, tetapi juga yang rela memilih tempat hina sebagai simpatiNYA kepada kelompok bawah, kelompok tersisih. Natal sebuah keberpihakan yang luar biasa.
Yah… semakin hari, semakin ke sini, semakin dekat dengan kita, Natal selalu buram, seburam Natal pertama, namun dalam bentuk yang berbeda. Jika dulu di Natal pertama Yesus yang terabaikan, kini mereka yang menjadi korban keganasan alam, atau mereka yang termiskinkan karena berbagai hal yang tak kuasa mereka hindari. Mereka hanya menjadi penonton kemewahan dan kemeriahan Natal. Mereka tak dapat berbaur, karena tak tersedia tempat, seperti Yesus yang juga tak punya tempat.
Cobalah lihat, tebaran perayaan Natal yang lebih mirip P E S T A ketimbang IBADAH. Atau pergelaran acara kelas raksasa yang justru tak mampu ber-intekasi secara utuh antar-umat, apalagi dengan gembala yang tampaknya semakin sulit terdekati, kecuali oleh orang dari kelas tertentu saja. Entah MENGAPA HARUS BESAR, katanya sih karena Tuhan itu besar. Padahal DIA tak pernah MEMINTA apalagi MEMERINTAH acara yang besar untuk diriNYA. Sudah jelas DIA memilih KESEDERHANAAN untuk diri-NYA. Yang sesungguhnya ada, adalah, kami bisa membuat yang besar, atau kami tak kalah besar dari yang lainnya. Padahal, besar dalam KESEJATIAN Natal adalah KERELAAN untuk menjadi TIADA, dan bukannya ADA. KERELAAN untuk menjadi KECILl, seperti Allah menjadi manusia, dan bukannya keinginan menjadi besar, seperti Adam ingin menjadi Allah.
Yah…kelihatannya Natal masa kini telah memilih jalur yang tak pas, atau malah jalur yang salah. Entah berapa besar biaya untuk sebuah Natal yang besar, baik secara ukuran maupun kemewahan. Cobalah pikirkan, ketika sebuah Natal besar berbiaya tinggi diselenggarakan, bukankah ada orang yang sedang kelaparan? Entah berapa ratus juta atau bahkan miliaran rupiah dana yang tersedot demi Natal yang besar. Sementara, entah berapa banyak mereka yang membutuhkan makanan untuk menyambung kehidupan. Lebih tragis lagi, ada korban yang mati kelaparan sementara lagu-lagu Natal dikumandangkan, dan hidangan Natal melimpah berlebihan. Mungkin anda akan berkata terlalu berlebihan, didramatisir, atau apapun juga. Tapi yang pasti, data mencatat, bahwa memang tiap menit ada kematian karena kelaparan dimuka bumi ini.
Pantas, jika Yesus berkata, “Enyahlah dari hadapan-KU, hai kamu orang orang terkutuk, enyah-lah ke dalam api yang kekal yang telah tersedia untuk iblis dan malaikat-malaikatnya. Sebab ketika AKU lapar, kamu tidak memberi AKU makan; ketika AKU haus kamu tidak memberi AKU minum, ketika AKU orang asing, kamu tidak memberi AKU tumpangan, ketika AKU telanjang, kamu tidak memberi AKU pakaian, ketika AKU sakit dan dalam penjara, kamu tidak melawat AKU”.
Lalu merekapun menjawab DIA, katanya, “Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar, atau haus, atau sebagai orang asing, atau telanjang atau sakit, atau dalam penjara dan kami tidak melayani Engkau”. Maka IA akan menja-wab mereka, “AKU berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk AKU (Matius 25:42-45)”.
Semakin besar gereja, semakin banyak asetnya, seringkali gereja semakin sibuk dengan urusan internalnya. Gereja lalai akan panggilannya, gereja hanyut dalam keasyikannya sebagai yang besar dan penting. Tragisnya, disituasi seperti itu gereja justru merasa sangat maju dan diberkati. Maklumlah, keka-yaan dan keunggulan kuantitas telah menjadi ukuran diberkati Tuhan. Maka sekali lagi, tidaklah mengherankan gugatan Yesus kepada orang percaya atas kelalaian mereka untuk peduli pada sesama, yang tersisih karena kehinaan, kemiskinan atau pun yang terpuruk karena kesalahan yang dilaku-kannya.
Membuat sebuah acara besar, tentu tak segera bisa disebut dosa. Namun melupakan mereka yang terpinggirkan juga jelas sebuah kesalahan yang fatal: kesalahan yang mengundang murka Tuhan. Tak perlu membantah karena semua tampak nyata. Betapa ironisnya jika Natal, malam damai, ternyata tak menjadi damai bagi mereka yang tersisih. Uang tertumpah ke tempat yang salah, sebuah kebesaran acara, dan tertahan ke arah mereka yang justru sangat membutuhkannya demi hidup. Bagaimanapun, ada tersedia jutaan alasan, namun yang diperlukan hanyalah satu kejujuran akan kebenaran. Sudahkah kita melakukannya di malam Natal?
Sangat nyata, kita perlu belajar bersama menghitung ulang seluruh pembiayaan Natal, dan bertanya seberapa besar kepeduliaan pada mereka yang susah. Dan, alangkah indahnya jika kita mengumpulkan dana Natal dalam semangat berbagi dengan mereka yang membutuhkan. Dengan demikian kita menghadirkan Natal yang damai, karena Natal itu memang damai di Bumi. Damai melalui orang percaya yang memengaruhi dunia.
Alangkah merdunya lagu Natal, syahdunya lonceng gereja, dan membahagiakan bagi setiap orang percaya. Bahagia bukan karena acara Natalnya, tapi karena se-mangatnya, semangat membagi damai yang seutuhnya.
Awas, jangan sampai terperangkap pada kemewahan Natal, dan di saat bersamaan ada kematian yang fatal. Fatal, karena kematian terjadi akibat ketidakpedulian di malam kedamaian. Bukankah ini berarti krisis besar telah terjadi di perayaan Natal yang besar? Tapi juga, jangan bersembunyi dibalik kunjung kepenjara, panti asuhan, atau orang yang terpinggirkan, lalu merasa kita telah berbuat. Ini bukan hanya sebuah momentum tapi pelayanan yang berkelanjutan.
Sekali lagi, tak perlu anti-besar, tapi perlu sekali BERHATI BESAR. Tak perlu anti biaya tinggi, tapi untuk BELAJAR BERBAGI. Tak perlu anti perayaan Natal, tapi perlu Natal bersama mereka, yang memang membutuhkan sentuhan DAMAI Natal itu. Mari memahami KESEJATIAN Natal dan melakukan apa yang memang menjadi tuntutan Tuhan yang bersifat final. Selamat hari Natal, bukan harinya tapi SEMANGATNYA. Selamat merayakan Natal, bukan acaranya tapi KEHADIRAN NYATA, Tuhan Yesus sang bayi Natal dalam hidupmu.
Amin..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar