Rabu, 13 September 2017

BERTUMBUH UNTUK MENJADI NAUNGAN

MELIHAT YANG TIDAK TAMPAK
Yehezkiel 17:22-24; Mzm. 92:1-5, 13-16; II Kor. 5:6-17; Mark. 4:26-34
Pengantar 
Pernahkan kita berpikir bahwa setiap manusia itu unik? Ya, setiap pribadi manusia itu unik, sehingga seseorang akan berbeda dengan orang lain. Misalkan, dalam persekutuan kita saat ini ada 100 orang, tentu akan ada 100 keunikan. Itulah sebabnya, kita hidup di tengah keragaman, penuh dengan kepelbagaian. Ada orang yang pandai berbicara, namun ada yang pendiam. Ada yang kita rindukan, namun ada yang menyebalkan. Ada yang suka mengayomi, dan ada yang suka menimbulkan kecemasan. Tipe manusia memang beragam, ada yang bertumbuh secara positif dan ada yang ‘bertumbuh’ secara negatif.
Di tengah keragaman tersebut, dan ditengah keramaian hidup, ternyata masih ada banyak orang yang merasa sendirian. Ada yang memang benar-benar sendirian, dalam pengertian tidak ada orang lain yang bersama dirinya. Ada yang sebenarnya tidak sungguh-sungguh sendirian, karena sesungguhnya ada orang lain bersamanya, tetapi merasa sendirian. Ia kesepian di tengah keramaian. Tidak ada support, tidak ada pengayoman dari orang lain.
Allah Menaungi kita
Namun tidak demikian Tuhan, Ia tetap akan menaungi setiap umatNya. Hal ini nampak sekali dalam kitab Yehezkiel 17:22-24. Bacaan kita yang pertama ini, merupakan bagian penutup dari pasal 17 yang  secara keseluruhan berisi alegori burung rajawali dan pohon aras (ayat 1-10) serta penafsirannya (ay. 11-21). Bagian ini merupakan komentar atas keresahan politik yang dialami tanah Yudea. Sebab pada tahun 597 sM, raja Nebukadnezar (atau rajawali yang besar, ay. 3) datang ke Yehuda dan mengambil raja Yoyakhin (atau pucuk pohon aras, ay. 3) dan pembebas kota Babel. Zedekian (atau sebuah dari taruk-taruk tanah, ay. 5) ditunjuk sebagai kepala negara oleh orang Babel, namun pada tahun 588, ia memebrontak melawan Babel dengan cara berpaling pada Mesir (atau burung rajawali besar yang lain, ay.7). Dalam situasi seperti ini, Yehezkiel menegaskan bahwa tidak akan ada lagi yang bisa menyelamatkan Zedekia dan tanah Yehuda. Itulah sebabnya, Yehezkiel menyampaikan firman TUHAN yang menjadi penutup pasal 17.
Bagian penutup, atau ayat 22-24 ini berisikan janji. Sebuah carang dari puncak pohon aras, dari pucuk yang paling ujung dan yang masih muda, diambil dan ditanam oleh tangan Tuhan sendiri di atas gunung Israel yang menjulang tinggi (ayat 22-23). Artinya, Allah sendirilah yang akan menanam, memelihara dan menumbuhkan sebuah tunas (atau bahasa Ibrani: netzer). Kata ‘netzer’ merupakan akar kata Nazareth. Yesus pun disebut sebagai orang Nazaret (Mat. 2:23), yang bisa berarti ‘orang dari Nazaret’, atau ‘orang dari Tunas’. Tunas inilah yang akan membawa kesejahteraan, keadilan, kebenaran, dan kebaikan, dan yang akan mengayomi umat di tengah konteks keresahannya.
Di tangan Allah, Tunas, yaitu carang dari puncak dan pucuk yang diambil dan ditanam oleh tangan allah sendiri, itu akan tumbuh menjadi pohon aras (Ibrani: erez, Yunani: Cedrus libani, pohon besar yang tumbuh di Libanon, dan berbentuk seperti payung, batang ebsar dengan cabang dan carang yang lebat berdaun, atau rimbun). Sebuah pohon yang lebat berdaun dan rimbun, Kayunya sangat keras, tahan lama dan berbau harum sehingga sering digunakan untuk bangunan istana. Misalnya: rumah Daud (2 Sam 5:11), dan Bait Allah (Bait Salomo, 1 Raja 5:6-10). Kemegahan kayu aras begitu terkenal (Mzm 92:13), tingginya dapat mencapai lebih dari 30 meter. Dengan gambaran pohon aras ini mau menyatakan bahwa kehadiran Allah demikian meneduhkan, sehingga menaungi dan melingkupi semua umatNya. Umat dapat bernaung di bawahnya, seperti segala macam burung bernaung dibawah cabang-cabang pohon aras (ay. 23). Itulah sebabnya, Allah saja yang layak menjadi tempat naungan dan pengayoman umat. Sehingga masa depan umat hanya terletak di tangan Allah, yang dapat membuat pohon tinggi menjadi rendah dan pohon rendah menjadi tinggi (ay. 24).
Menjadi penaung bagi siapapun
Allah memang telah menaungi kita, bahkan memberkati kita. Dengan naungan Tuhan, kita pun bisa hidup dalam kedamaian. Hal inilah yang digambarkan dalam Mzm 92. Dalam ayat 1-5, Tuhan telah menunjukkan keadilan melalui pekerjaan dan perbuatan tanganNya. Itulah sebabnya, pemazmur mengucapkan syukur. Tidak hanya itu, dalam ayat 13-16 dilukiskan tempat kehidupan yang menunjukkan kehadiran Tuhan. Pohon-pohon melmabnagkan kehidupan yang diberikan kepada mereka yang benar. Kekuatan pohon tergantung pada akar yang menghujam ke dalam, masuk ke dalam tanah mencari sumber air. Demikian kehidupan dan kekuatan orang benar terletak dan tergantung pada kesediaannya menghujam dalam, mencari Air Hidup, yaitu firman Tuhan, dan merenungkannya diang dan malam. Dengan demikian, orang benar berada di pusat kehadiran TUHAN, artinya: di tanam di bait TUHAN, bertunas di pelataran Allah (aya 13-14). Tempat kehidupannya menjadi media pemberlakuan kehadiran TUHAN dan firman-Nya.
Buah dari kehidupan orang benar adalah kesanggupan untuk terus menberi hidup dan yang terus menghasilkan buah. Frasa, “pada masa tuanya sekalipun, ia tetap gemuk, segar dan menghasilkan buah”, diartikan sebagai ‘isi dan kesaksian hidup orang benar yang konsisten’, yang pada masa tuanya sekalipun tetap menyatakan hal-hal yang besar dan harum. Ia tidak luruh dan loyo karena kelemahan lahiriahnya. Manusia lahiriah memang terus merosot, namun manusia batiniah terus dibaharui. Hal ini bisa terjadi manakala iman menguasai hidupnya.
Memang iman pada karya pebusan Kristus yang akan meneduhkan, meneguhkan dan menyelamatkan kita. Sebab tanpa iman, segala upaya rohaniah seperti bertarak dan melakukan berbagai kebajikan akan menjadi sia-sia belaka. Dengan demikian, iman kepada Kristus seharusnya menjadi dasar penentu dari seluruh pencapaian kualitas rohaniah. Rasul Paulus berkata: “sebab hidup kami ini adalah hidup karena percaya, bukan karena melihat” (II Kor. 5:7). Iman kepada Kristus itulah yang akan melayakkan diri kita berkenan kepada Allah (II Kor. 5:9). Jadi tanpa iman kepada Kristus, maka  segala perbuatan baik atau kebajikan dan berbagai ritual/ibadah keagamaan hanya menjadi sekedar pakaian dan asesoris yang indah tetapi kehilangan isi atau esensinya. Semua perbuatan baik dan kebajikan tersebut hanya indah menurut pandangan dan penilaian manusia, tetapi tidak berkenan di hati Allah.
Kita sering mengabaikan makna “berkenan kepada Allah”. Seakan-akan segala perbuatan baik dan kebajikan kita tersebut telah memadai dan sempurna. Padahal segala perbuatan baik atau kebajikan tersebut sering dilakukan manusia hanya untuk memuaskan nafsu “religiusitas” dan kepentingan diri sendiri; tetapi bukan dilakukan karena pertobatan dan kehidupan yang baru. Apabila segala perbuatan baik atau kebajikan dilakukan untuk kepentingan diri sendiri, maka kita akan menjadi kurang peka dengan situasi dan pergumulan sesama yang sedang kita hadapi. Perbuatan baik atau kebajikan kita tersebut dapat membutakan mata hati dan nurani kita. Sehingga berbagai tindakan yang semula kita anggap baik selain sering tidak bermakna juga dapat berakibat melukai hati sesama.  Penyebabnya karena kita menganggap telah berbuat baik dan banyak melakukan kebajikan. Dengan anggapan tersebut dapat muncul dorongan untuk bersikap mengukur dan menghakimi  orang lain. Di II Kor. 5:16, rasul Paulus mengutarakan bagaimana perubahan hidupnya yang tidak lagi mengukur sesama dari ukuran manusiawi. Rasul Paulus berkata: “Sebab itu kami tidak lagi menilai seorang jugapun menurut ukuran manusia. Dan jika kami pernah menilai Kristus menurut ukuran manusia, sekarang kami tidak lagi menilai-Nya demikian”. Pernyataan rasul Paulus tersebut lahir dari proses pembaharuan hidupnya setelah dia berjumpa dengan Kristus. Tepatnya iman kepada Kristus telah mengubah paradigma dan spiritualitasnya, sehingga rasul Paulus tidak lagi mengukur seseorang menurut ukuran manusia. Jadi sangatlah jelas bahwa iman kepada Kristus seharusnya menjadi pengukur yang paling solid untuk mencapai pembaharuan hidup yang berkenan kepada Allah.  Iman kepada Kristus menjadi sumber kekuatan pengubah atau pembaharu kehidupan umat percaya. Sehingga seluruh potensi, kualitas diri dan pembaharuan budi kita sungguh-sungguh bersumber kepada iman kepada Kristus.
Manakala seluruh potensi, kualitas diri dan pembaharuan budi kita telah bersumber kepada Kristus, maka kehidupan kita akan diubahkan secara menyeluruh walau harus melalui proses setahap demi setahap. Manusia lama yang pernah kita hidupi akan segera ditinggalkan dan diubah oleh Kristus menjadi ciptaan baru. DI II Kor. 5:17, rasul Paulus berkata: “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang”. Sebagai ciptaan baru di dalam Kristus, kita tidak lagi menilai dan menghakimi orang lain tetapi kita akan lebih jeli dan kritis untuk menilai diri sendiri. Bukankah lebih baik kita lebih intensif membuat penilaian diri dari pada menghakimi orang lain?
Sebagai umat percaya sebaiknya kita lebih mengutamakan kemuliaan hati dari pada mengukur kualitas diri dari penampilan lahiriah. Dengan demikian sebagai ciptaan baru yang telah dilakukan oleh Kristus, kita dimampukan untuk memperlakukan sesama sebagai ciptaan yang telah ditebus oleh darah salib Kristus. Sehingga kita mengasihi sesama bukan karena seseorang telah mengasihi dan berbuat baik kepada kita, tetapi karena Kristus telah mengasihi dia. Paradigma teologis tersebut dapat membawa kita kepada suatu kedalaman spiritualitas yang lebih eksistensial. Juga dapat membawa proses pembaharuan hidup yang lebih otentik. Bukankah lawan kata dari makna pengamatan yang lahiriah adalah kedalaman spiritualitas, dan lawan kata dari hidup yang artifisial adalah hidup yang otentik di hadapan Allah atau sesama? Pembaharuan hidup memang bersangkut-paut dengan perubahan yang fundamental dari spiritualitas dan otentisitas makna hidup, dan bukan sekedar perubahan penampilan dan tingkah-laku yang sopan. Sebab dalam proses pembaharuan hidup seluruh kebiasaan buruk, karakter, pola berpikir dan respon kita akan diubahkan sedikit demi sedikit sesuai dengan kehendak Allah. Untuk itulah iman perlu terus ditumbuhkan oleh benih-benih firman Allah.
Kecil Namun Potensial menjadi Penaung
Penyataan Allah memang dahsyat dan menggentarkan. Penyataan allah bisa berwujud ‘kuasaNya yang besar dan mengerikan’, namun kadangkala penyataan Allah dalam firmanNya justru sering digambarkan seperti benih yang ditaburkan. Benih tersebut umumnya sangat kecil. Bahkan di Mark. 4:31, Tuhan Yesus menggambarkan Kerajaan Allah seperti biji moster (yang diterjemahkan oleh LAI dengan biji sesawi). Biji moster tersebut begitu kecil sampai dia disebut sebagai: “biji yang paling kecil dari pada segala jenis benih yang ada di bumi”.  Ukuran lebarnya hanya 1 mm dan beratnya hanya 1 mg. Sehingga dari sudut penampilannya, biji moster tersebut sama sekali tidak berarti. Namun apabila biji moster tersebut ditabur di tanah,  ia akan  tumbuh dan menjadi lebih besar dari pada segala jenis tanaman sayuran yang lain dan juga akan mengeluarkan cabang-cabang yang besar, sehingga burung-burung di udara dapat bersarang dalam naungannya (Mark. 4:32).
Melalui perumpamaan tersebut Tuhan Yesus hendak menjelaskan bahwa keberadaan firman Allah seperti halnya biji moster yang sangat kecil itu. Dunia mungkin tidak akan menganggap biji moster tersebut sebagai sesuatu yang terlalu berarti atau penting. Demikian pula halnya dengan benih-benih firman Allah yang walaupun begitu kecil, tidak terpandang dan tanpa daya itu pada waktunya akan menjadi “pohon kehidupan” yang begitu besar sehingga mampu memberi perlindungan kepada umat yang mendengar dan  mempercayaiNya. Ini akan terwujud jikalau kehidupan umat percaya senantiasa berelasi dengan firman Tuhan.  Iman setiap umat akan tumbuh menjadi besar dan kokoh manakala senantiasa dihidupi oleh benih-benih firman Allah. Sehingga dapat dijelaskan mengapa iman seseorang yang semula tampak begitu hebat tiba-tiba suatu saat menjadi tidak berdaya dan mati. Penyebabnya karena iman tersebut tidak dilandasi oleh firman Allah yang tampaknya kecil dan tidak berarti itu. Padahal di balik bentuk dan ukurannya yang tergolong serba kecil atau sederhana itu sebenarnya “benih-biji moster” yakni firman Allah itu mengandung daya atau kekuatan ilahi yang membaharui dan membebaskan.
Karya penebusan Kristus yang mentransformasi kehidupan umat percaya menjadi ciptaan baru sering tidak berlanjut ke tingkat ideal sebagaimana yang dikehendaki oleh Alah. Karena mereka kurang menghargai pemberitaan firman Tuhan yang tampil serba sederhana. Banyak orang Kristen hanya mengharap dan menghargai suasana yang spektakuler dan kesaksian yang serba supra-natural. Sehingga pola spiritualitas umat yang demikian kurang menghargai pemberitaan firman yang meditatif dan reflektif. Mereka hanya mau mendengar khotbah-khotbah yang spektakuler dan dilengkapi oleh mukjizat-mukjizat penyembuhan yang “ajaib”. Itu sebabnya penilaian keberhasilan dari pelayanan gerejawi sering hanya ditentukan dari ukuran: jumlah anggota jemaat yang dibaptis, jumlah dana yang tersedia, jumlah investasi harta milik gereja, bagaimana canggihnya peralatan multi-media yang dimiliki, dan bagaimana mewahnya gedung gereja dibangun. Tetapi apakah semua kehebatan tersebut secara otomatis membangun dan membaharui kehidupan umat?

Panggilan
Kita sering tidak mau terlalu pusing dengan spiritualitas jemaat dan efeknya dalam kehidupan masyarakat. Sebab kita merasa telah berhasil mendemonstrasikan berbagai kehebatan “rohaniah” yang sebenarnya hanyalah tipuan licik dari roh yang materialistis. Tanpa kesediaan diri untuk diproses oleh benih-benih firman Allah yang tampaknya kecil dan sederhana, maka roh kita akan semakin terampil untuk memanipulasi dan mengelabuhi dunia dengan penampilan yang serba “wah”. Sebaliknya hidup dalam firman Tuhan seharusnya mentransformasikan spiritualitas kita semakin merendah dan sederhana. Seperti biji moster, seharusnya hidup kekristenan kita dari luar tampak kecil tetapi sebenarnya memiliki daya potensi yang sangat dahsyat. Contoh kehidupan kekristenan seharusnya seperti “mikro-chip “ sebuah komputer pada zaman sekarang. Semakin kecil sebuah “mikro-chip” bukan berarti semakin lemah, justru mikro-chip tersebut semakin canggih dengan kapasitas yang luar biasa. Apa artinya kita selaku gereja mampu menampakkan kehebatan fisik, tetapi spiritualitas kita kosong-melompong alias sama sekali tidak berarti. Atau kita mampu membuat berbagai macam program pelayanan yang serba hebat, tetapi semua program pelayanan tersebut ternyata hanya membangun egoisme para pelayannya.
Jadi seharusnya ukuran keberhasilan kekristenan kita bukan ditentukan dari penampilan fisik yang serba keren seperti gedung dan program-program pelayanannya. Tetapi apakah semua pelayanan kita tersebut sungguh-sungguh fungsional untuk memberi keteduhan, rasa aman dan damai-sejahtera bagi setiap anggota jemaat dan masyarakat. Biji moster tersebut selain bermanfaat memberi kesehatan bila dikonsumsi, tetapi juga mampu menjadi seperti pohon yang memberi perlindungan kepada setiap yang berlindung di bawahnya. Demikian pula dengan kehidupan umat percaya. Apakah kehadiran mereka dapat memberi manfaat? Apakah spiritualitas yang kita bangun dalam iman kepada Kristus dapat menjadi spiritualitas yang memberi kesehatan bagi setiap orang yang bersentuhan dengan diri kita? Juga apakah kehadiran kita secara pribadi dan persekutuan jemaat mampu memberi keteduhan atau perlindungan bagi banyak orang?  Lebih celaka lagi bila kita merasa diri serba “kecil” alias minoritas tetapi dalam praktek hidup tidak mampu memberi kontribusi dan peran yang berarti.
Di tengah-tengah pola kehidupan yang sering menonjolkan materialisme dan penampilan diri, kita perlu memiliki roh yang jeli dan tajam terhadap kehendak Allah. Kita perlu menguji segala sesuatu baik yang tampil indah mempesona maupun yang hanya tampil apa adanya. Dalam hal ini kita merindukan terwujudnya realitas Kerajaan Allah yang memampukan setiap umat untuk mengalami kehidupan yang penuh makna dan kepedulian kasih yang semakin besar kepada setiap sesamanya. Sebab segala sesuatu yang tidak bermanfaat akan dipotong oleh Allah. Demikian pula Allah akan memotong kehidupan setiap umat yang tidak hidup seperti biji moster. Sebaiknya mereka yang senantiasa mengandalkan Allah dalam iman kepada Kristus, spirituaitas iman mereka akan tumbuh seperti pohon yang semakin besar untuk memberi buah dan perlindungan kepada sesama di sekitarnya. Di Mzm. 92:13-15, menyaksikan: “Orang benar akan bertunas seperti pohon korma, akan tumbuh subur seperti pohon aras di Libanon;  mereka yang ditanam di bait TUHAN akan bertunas di pelataran Allah kita. Pada masa tua pun mereka masih berbuah, menjadi gemuk dan segar”. Bagaimana dengan kehidupan saudara? Amin.
Khotbah Minggu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WEBINAR CCA: PEKERJA MIGRAN MENANGGUNG BEBAN COVID-19

Ruth Mathen Kesimpulan panelis webinar CCA: Pekerja migran menanggung beban terbesar dari krisis COVID-19 dan dampaknya yang terus meni...