Rabu, 13 September 2017

Perkataan yang Membangun

PERKATAAN YANG MEMBANGUN
Kid. Ag. 2:8-13; Mzm. 45:1-2, 6-9; Yak. 1:17-27; Mark. 7:1-8, 14-15, 21-23

Pengantar
Ungkapan “Mulutmu, harimaumu”, mau menyatakan betapa ‘dahsyatnya mulut kita’. Mulut bisa dipakai sebagai ‘alat berkat’, namun sekaligus juga bisa membangkitkan amarah bagi orang lain. Itulah sebabnya, jika kita menyadari bahwa mulut kita adalah harimau kita, maka kita akan selalu menjaga agar mulut kita tidak menjadi harimau yang membangkitkan “harimau atau kemarahan” orang lain. Siapapun yang mengutarakan perkataan yang beracun akan mati oleh racun yang telah dikeluarkannya. Itu sebabnya mengapa kita memiliki 2 telinga dan satu mulut untuk berbicara. Maknanya adalah agar kita selalu berupaya untuk mendengar segala sesuatu dari 2 belah pihak sehingga kita dapat memperoleh informasi yang lengkap.
Bukan Sekedar Teknik
Dengan kesadaran bahwa setiap ucapan atau perkataan yang kita sampaikan begitu vital, maka banyak orang yang berusaha belajar bagaimana dia harus berbicara dan berkomunikasi. Tentunya upaya tersebut patut dihargai. Karena dengan upaya untuk memperbaiki dan memperhalus setiap ucapan berarti kita menginginkan suatu komunikasi yang baik. Itulah sebabnya dalam budaya Jawa sampai dikembangkan 7 tingkatan untuk berkomunikasi, yaitu: Ngoko, Ngoko Andhap, Madhya, Madhyantara, Kromo, Kromo Inggil, Bagongan, dan Kedhaton. Bahasa “Ngoko” adalah tingkatan bahasa yang paling rendah dan digunakan kepada orang-orang “rendahan” seperti: kuli, petani, atau paling tinggi kepada teman karib (itu pun dianggap tidak pantas digunakan oleh kaum ningrat). Kromo digunakan oleh kalangan yang dianggap memiliki kasta tinggi, terdidik, pintar dan “waskito”. Lalu “Kedhaton” dipergunakan saat kita berbicara kepada seorang raja. Tingkatan-tingkatan bahasa tersebut salah satunya bertujuan agar setiap ucapan yang keluar mencerminkan tingkatan sosial, pendidikan dan keluhuran budi. Semakin berbudi luhur, maka kita tidak akan mau menggunakan bahasa yang tingkatannya rendah dan kasar. Tetapi apakah tingkatan-tingkatan bahasa tersebut berhasil menetralisir “racun” yang terkandung dalam ucapan manusia? Mungkin dari sudut permukaan, seseorang dapat mengungkapkan pikirannya dengan tingkatan bahasa yang halus dan sopan. Tetapi tidak berarti dia telah memiliki motif yang luhur dan hati yang berbudi. Bahasa mencerminkan budi manusia, tetapi tidak berarti penggunaan bahasa yang halus selalu mencerminkan budi yang luhur.
Demikian pula dalam kehidupan sehari-hari tidaklah cukup bila seseorang hanya berupaya mengembangkan teknik berdiplomasi, teknik negosiasi dan lobying. Semua teknik tersebut sangat bermanfaat dalam meningkatkan kualitas komunikasi dengan sesama dan juga dapat mengembangkan karier seseorang. Tetapi pada saat yang sama, semua teknik berbicara tersebut tidak otomatis mampu menyembuhkan sumber racun dalam hati manusia. Kemampuan teknik berdiplomasi, teknik negosiasi dan lobying  bersifat sementara dan dangkal apabila tidak diikuti oleh pembaharuan hidup yang faktual. Betapa sering  kita hanya peduli kepada hal-hal yang sifatnya sementara dan dangkal tetapi gagal untuk memperbaharui intinya. Untuk sementara waktu semua teknik tersebut dapat membantu. Demikian pula halnya dengan penggunaan teknik berdiplomasi, teknik negosiasi dan lobying. Saat kita ingat, maka komunikasi akan berjalan dengan baik dan mencapai tujuan. Tetapi saat kita lalai menggunakan  teknik tersebut maka kita akan dimangsa oleh racun kata-kata yang telah diucapkan. Jika demikian, sembari kita mengembangkan berbagai berdiplomasi, teknik negosiasi dan lobying; seharusnya kita lebih mengutamakan kualitas hati. Sebab melalui hati yang berkualitas secara rohaniah, maka kita akan dimampukan untuk memiliki sumber hikmat dalam berkata-kata secara lebih permanen.
Najis Makanan Atau Lidah?    
Di Mark. 7 menyaksikan sikap orang-orang Farisi dan beberapa ahli Taurat yang datang dari Yerusalem setelah mereka melihat para murid Yesus yang tidak membasuh tangan saat mereka makan. Di Mark. 7:3 memberi informasi, “Sebab orang-orang Farisi seperti orang-orang Yahudi lainnya tidak makan kalau tidak melakukan pembasuhan tangan lebih dulu, karena mereka berpegang pada adat istiadat nenek moyang mereka”. Pembasuhan tangan sebelum makan mau menyatakan bahwa mereka telah layak dan tahir untuk menyambut berkat Allah. Sekaligus tangan yang telah dibasuh juga berada dalam kondisi higienis, sebab pada zaman dahulu umumnya orang-orang Yahudi makan dengan tangan telanjang. Zaman itu belum mengenal perlengkapan makan seperti: sendok atau garpu. Tentunya semua aspek tersebut sangat penting sebab sesuai dengan prinsip teologis dan medis. Kita juga perlu terus memelihara kebiasaan tersebut sehingga kita dapat menyambut berkat Allah dengan layak (teologis) dan juga dengan bersih (medis dan higienis). Namun semua kebiasaan tersebut perlu diikuti oleh sikap yang lebih mendasar lagi, yaitu bagaimana dengan mulut yang telah menerima berkat Allah juga dapat menjadi mulut mengucapkan berkat kepada sesama. Karena betapa sering manusia hanya memperhatikan dan peduli dengan apa yang akan masuk ke dalam mulutnya, tetapi kurang peduli dengan apa yang akan dikeluarkan dari mulutnya.
Hampir setiap orang selalu memperhatikan sejauh mana makanan yang akan dimakan itu terjamin bersih, enak, menarik, sehat dan terjangkau harganya. Bahkan pada masa kini dunia sering membuat peraturan apakah makanan yang akan dikonsumsi itu benar-benar halal, yaitu bebas dari unsur-unsur daging babi. Karena itu berbagai produk makanan harus diuji dan diberi label sebagai manakan halal oleh lembaga keagamaan tertentu untuk memastikan bahwa makanan tersebut telah bebas dari lemak, enzym dan daging babi. Pokoknya tidak boleh sedikitpun makanan yang akan dikonsumsi dicemari oleh daging dan organ hewan babi. Padahal mereka melupakan bahwa yang dimaksudkan dengan binatang haram sebenarnya bukan hanya jenis hewan babi. Beberapa jenis binatang lain yang diharamkan oleh agama-agama yang dipengaruhi oleh konsep hukum Taurat adalah daging kodok, kepiting, anjing, kelinci, unta, marmot, dan sebagainya (Ul. 14:7-8). Alasan utamanya adalah semua hewan yang tidak boleh dipersembahkan kepada Allah juga tidak boleh dimakan oleh manusia. Umumnya hewan-hewan yang haram untuk dimakan memiliki ciri seperti:  jenisnya memamah biak, tetapi mereka tidak berkuku belah. Seharusnya setiap hewan yang memamah biak  selalu berkuku belah. Bilamana mereka konsisten dengan prinsip makanan haram maka mereka sebenarnya juga tidak diperbolehkan makan daging kepiting, kodok, kelinci, marmot, unta dan anjing. Tetapi aneh sekali hanya daging babi saja yang diharamkan. Kenyataan ini  membuktikan bahwa manusia sering tidak konsisten dengan apa yang dilarang oleh Kitab Suci. Sehingga lembaga agama sering menjadi lembaga yang getol mengurus masalah apa yang akan masuk ke dalam mulut dan perut, tetapi mereka gagal mengurus nilai-nilai halal yang lebih substansial. Seharusnya pada masa kini hal-hal yang menyangkut masalah makanan dan minuman diserahkan sepenuhnya kepada otoritas dunia medis untuk memutuskannya. Peraturan makanan haram atau najis di Kitab Suci hanya berlaku bagi manusia di zamannya. Otoritas agama pada masa kini hanya relevan bilamana agama berhasil membawa perubahan moral dan spiritualitas dalam setiap aspek kehidupan manusia. Karena itu agama-agama pada masa kini seharusnya cukup mengurus mengurus masalah moral dan spiritualitas khususnya hubungan manusia dengan Allah dan sesamanya.
Walau Tuhan Yesus telah hidup 2000 tahun yang lalu pemikiran dan pandangan teologisNya tetap  realistik dan relevan. Di Mark. 7:18-19, Tuhan Yesus berkata: "Apakah kamu juga tidak dapat memahaminya? Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu dari luar yang masuk ke dalam seseorang tidak dapat menajiskannya,  karena bukan masuk ke dalam hati tetapi ke dalam perutnya, lalu dibuang di jamban?" Apapun jenis makanan yang masuk ke dalam mulut tidak akan pernah berpengaruh kepada hati atau roh kita, tetapi hanya sampai ke dalam perut yang kemudian akan dikeluarkan saat kita buang air besar.  Karena itu yang paling utama bagi Tuhan Yesus adalah apa yang keluar dari hati manusia berupa pikiran, perkataan dan  perbuatan. Karena apa yang keluar dari hati kita dalam bentuk pikiran, perkataan dan perbuatan mencerminkan kualitas iman yang otentik kepada Allah. Apabila yang kita keluarkan adalah: segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan,  perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan dan kebebalan (Mark. 7:21-22) maka sesungguhnya kita telah menajiskan diri kita sendiri. Termasuk di dalamnya ucapan-ucapan yang bodoh, sembrono, impulsif dan sewenang-wenang dalam bentuk fitnah, penghinaan atau hasutan. Kita sering tidak sadar bahwa semua tindakan dan ucapan tersebut sangat berbahaya dan mematikan nilai-nilai kehidupan dari pada sekedar kita makan berbagai daging hewan yang dianggap najis. Bukankah wujud dari tindakan percabulan, pembunuhan, perzinahan, keserakahan dan ucapan fitnah atau kata-kata yang menghasut justru terbukti mampu menimbulkan keretakan, pertikaian dan penderitaan bahkan pembunuhan dalam kehidupan manusia?  Sebaliknya masalah makanan yang kurang higienis hanya akan menimbulkan gangguan terhadap kesehatan jasmaniah. Karena itu tepatlah apa yang dikatakan oleh Tuhan Yesus: "Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya” (Mark. 7:20). Bila yang keluar dari sikap manusia begitu menentukan, maka seharusnya kita sungguh-sungguh  peduli kepada masalah sumbernya, yaitu kualitas hati manusia. Tepatnya manusia membutuhkan karya Allah yang memerdekakan dari kenajisan hati.
Hukum Yang Memerdekakan
Kegagalan kita untuk melakukan ‘perkataan yang membangun’, karena sikap egois, merasa diri paling benar dan suka mengadili sesama. Sehingga kita cenderung untuk terlalu cepat bereaksi saat sesama mengungkapkan hal-hal yang tidak sesuai dengan pola pikir atau paradigma yang kita anut. Atau apabila seseorang beranggapan bahwa lawan bicaranya memiliki pandangan yang tidak sesuai dengan pola pikirnya, maka dia akan terdorong untuk segera menyerang dan menyudutkan pihak lain. Tepatnya cenderung agresif menyudutkan sesama yang dianggap tidak sesuai dengan harapannya. Dalam hati mereka selalu dipenuhi oleh kekuatiran dan takut memperoh serangan dari orang-orang di sekelilingnya. Mereka berada dalam kondisi perasaan dan mental yang tidak aman. Sehingga dapat dipahami bahwa orang-orang yang merasa dirinya tidak aman akan cenderung untuk defensif dan reaktif. Sebab mereka lebih banyak mengembangkan kejelian mendengar suara dan pendapat mereka sendiri dari pada kesediaan mendengar hati-nurani orang lain. Dengan demikian isi dan format ucapan mereka tidak mengutarakan kebenaran yang obyektif, tetapi hanya mengedepankan kebenaran subyektivisme dari diri mereka sendiri. Jadi belenggu yang berbahaya dalam kehidupan manusia adalah kebenaran subyektivisme sebab dianggapnya sebagai kebenaran mutlak.
Panggilan agar kita bersedia melakukan ‘perkataan yang membangun’ adalah agar kita bersedia untuk selalu mengolah, menyaring, mempertimbangkan dan menganalisis secara kritis setiap ucapan yang akan kita keluarkan khususnya saat kita harus membuat pernyataan dan sikap tertentu. Di pihak lain di balik tindakan kita yang selalu mengolah, menyaring, mempertimbangkan dan menganalisis secara kritis sebenarnya karena kita menyadari bahwa dimensi kebenaran ilahi tidak hanya satu segi saja. Karena itu kita tidak akan boleh menganggap diri sebagai pemegang atau penentu kebenaran. Sebaliknya kita akan menganggap diri hanya sebagai seorang peziarah iman yang selalu mencari dan mengalami kebenaran yang dianugerahkan Allah.
Dengan spiritualitas yang demikian, kita akan dimampukan untuk selalu bersikap rendah hati dan semakin terbuka untuk menyambut anugerah keselamatan dan kebenaran Allah. Di Yak. 1:17, rasul Yakobus berkata: “Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran”.  Manakala kita semakin menyadari bahwa kebenaran Allah sebagai sebagai satu-satunya sumber yang tidak pernah berubah dan sempurna, maka kita tidak akan pernah pula meninggikan diri dengan menyudutkan orang lain yang tidak sepaham dengan “kebenaran” kita. Itu sebabnya seluruh ucapan atau wujud dari pemikiran kita seharusnya selalu meneduhkan dan memberi pencerahan kepada orang-orang di sekitar kita. Kehadiran kita seharusnya selalu memotivasi dan memberi inspirasi kepada sesama untuk mencari dan menghayati kebenaran yang dianugerahkan Allah dengan hati yang tulus. Dengan demikian makna ‘perkataan yang membangun’ adalah agar kata-kata yang kita ucapkan selalu penuh berhikmat, mengungkapkan kasih dan keselamatan Allah secara efektif.
Sehingga melalui ucapan dan pikiran yang kita ungkapkan mampu memerdekakan sesama dari belenggu perasaan putus-asanya dan perspektif hidup yang sempit. Ucapan yang kita sampaikan secara lisan dan tertulis juga mampu menuntun sesama untuk berjumpa dengan Allah yakni Kristus secara pribadi. Tepatnya ucapan yang kita sampaikan selalu membangun, memberi ruang bagi orang lain untuk bernafas secara leluasa dan jernih, serta mampu memperoleh dan mengkomunikasikan hikmat yang dianugerahkan oleh Allah. Itu sebabnya kehidupan yang dipenuhi ‘perkataan yang membangun’ akan memampukan seseorang untuk  selalu menjaga mulutnya tepat waktu dan di setiap tempat. Yang mana sikap tersebut dalam kehidupan sehari-hari justru sering diabaikan oleh orang-orang yang bebal. Belajarlah dari kitab Kidung Agung yang dengan ‘perkataan membangun’ menyambut kekasih hati atau sesamanya. Lebih dari itu, Kidung Agung mengajak kita untuk menghargai sesama kita dengan ungkapan yang positif dan membangun, Kekasihku serupa kijang, atau anak rusa..., kekasihku mulai berbicara kepadaku...” (2:9,10).
Ucapan Sebagai Manifestasi Ibadah
Setiap ibadah selalu tidak lepas dari ungkapan atau kata-kata religius dalam bentuk nyanyian, doa, pembacaan Kitab Suci dan khotbah serta persembahan syukur. Semua rangkaian dan ungkapan perkataan religius dalam suatu ibadah selalu terpilih dan terseleksi. Semua ungkapan tersebut lahir dari khasanah refleksi iman dalam konteks perjumpaan dengan Allah yang hidup. Karena itu ungkapan atau pernyataan dalam ibadah umumnya mengandung kedalaman makna dan nilai-nilai pengajaran iman yang bersifat kekal. Demikian pula seharusnya sikap hidup umat percaya setiap hari. Perkataan dan pemikiran umat percaya seharusnya selalu mengandung kedalaman makna secara teologis dan etis. Yang mana kedalaman makna secara teologis dan etis tersebut akan menghasilkan pola hidup yang membangun dalam relasi dan perilakunya dengan sesama. Sebab yang muncul dalam bentuk perilaku dan ucapan pada hakikatnya merupakan wujud dari sikap batiniah manusia.
Sehingga semakin dalam  kualitas iman seseorang, maka semakin efektif dan membangun pula ucapan-tindakan yang dilakukannya. Sebaliknya semakin dangkal kualitas iman seseorang, maka semakin rapuh dan tidak terkontrol pula seluruh tindakan atau ucapan-ucapannya. Jadi nilai kedalaman iman bukan hanya dinyatakan saat seseorang beribadah; tetapi yang lebih utama lagi adalah apakah perkataannya sehari-hari mencerminkan kedalaman dan kekudusan seperti yang dilakukan  saat dia  sedang beribadah. Itu sebabnya rasul Yakobus memberi peringatan demikian, “Jikalau ada seorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya” (Yak. 1:26). Ucapan yang benar sebagai manifestasi ibadah justru harus mampu dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari, barulah seluruh ungkapan dalam ibadah menjadi bermakna dan berkenan di hadapan Allah. Hal ini sesuai dengan perkataan dalam Mazmur 45:2c “...lidahku ialah pena seorang jurutulis yang mahir”.
Dengan demikian daya kekang terhadap lidah bukan karena penguasaan kita terhadap berbagai teknik diplomasi, negosiasi dan lobying; tetapi karena seluruh kepribadian kita telah diperbaharui oleh Kristus dan berada dalam penguasaan Roh KudusNya. Sehingga ucapan kita tidak akan pernah merendahkan dan menghina sesama, dan pada pihak lain juga tidak akan berupaya untuk mencari muka hati sesama. Sebaliknya ucapan kita adalah ucapan yang senantiasa menyampaikan berkat dan kasih keselamatan Kristus kepada sesama yang bersedia untuk menerimaNya ataupun bagi sesama yang menolak dan tidak percaya kepada Kristus selaku Juru-selamatnya.  Ucapan yang lahir dari spiritualitas Kristus tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, tetapi sepenuhnya dipengaruhi secara mendalam oleh karya pembaharuan Kristus dalam kehidupan umatNya. Jadi hanya Tuhan Yesus sajalah yang menjadi penguasa dalam kehidupan umatNya. Kristus yang memampukan kita untuk cepat mendengar, dan Kristus pula yang akan memampukan  kita untuk selalu lambat berkata-kata agar roh hikmatNya yang berlaku.
Panggilan
Seringkali saat kita melampiaskan kemarahan, kita memperhalusnya dengan sebutan sebagai “kemarahan yang suci”. Alasannya karena kemarahan kita memiliki tujuan yang baik. Padahal semakin suatu tujuan itu baik dan suci, maka semakin kecillah kemungkinan bagi kita untuk marah. Yak. 1:19-20 mengingatkan, yaitu, “Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah; sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah”. Setiap umat percaya dipanggil Allah untuk mampu mengendalikan diri sebab apapun bentuk amarah tidak akan dapat mengerjakan kebenaran di hadapanNya. Sebagaimana diketahui bahwa tombol amarah yang paling sensitif dan berbahaya adalah perkataan. Yang mana efektivitas tombol itu seperti seorang penguasa menekan tombol senjata maut atau nuklir. Sekali dia menekan tombol maut itu, maka dia tidak dapat kembali meralat dan mencegah ledakannya. Karena itu kualitas hidup umat percaya ditandai oleh 2 kemampuan yang saling terkait, yaitu kemampuan untuk mendengar sebanyak-banyaknya dan juga kemampuan untuk mengeluarkan perkataan yang selektif mungkin sesuai dengan roh hikmat Kristus. Jika demikian, sejauh manakah kehidupan kita telah diperbaharui oleh Tuhan Yesus? Semakin kehidupan kita diperbaharui oleh Kristus, maka semakin nyatalah daya penguasaan diri kita di tengah-tengah berbagai permasalahan dan tekanan hidup. Amin.
Khotbah Minggu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WEBINAR CCA: PEKERJA MIGRAN MENANGGUNG BEBAN COVID-19

Ruth Mathen Kesimpulan panelis webinar CCA: Pekerja migran menanggung beban terbesar dari krisis COVID-19 dan dampaknya yang terus meni...