Minggu, 17 September 2017

MEMIKUL KUK KRISTUS

Zakharia 9:9-12, Mazmur 145:8-14, Roma 7:15-25a, Matius 11:16-19, 25-30

Pengantar
            Setiap manusia memiliki beban hidup yang tidak terhindarkan, yaitu beban dosa. Sebab setiap manusia berdosa, siapapun mereka. Namun setiap manusia berbeda dalam cara menghadapi dan menanggung dosa. Memang beban dosa membuat manusia memiliki keragaman penderitaan, namun sekaligus beragam pula cara manusia menghadapinya.
  1. Ada manusia yang tidak mau hidup merendahkan dihadapan Allah. Ia menolak undangan damai yang disapaikan oleh Allah melalui Tuhan Yesus. Ia hidup dalam kubangan dan belenggu dosa. Sekalipun mengaku sebagai orang Kristen, seseorang masih bisa meninggikan dirinya, dan hidup tidak menurut hukum kasih. Ia hidup dengan cara lama dan terus dibelenggu oleh dosa.
  2. Namun ada juga manusia yang mau merendahkan diri dan menerima undangan penebusan dan peulihan Allah yang penuh kasih melalui karya Tuhan Yesus. Menerima undangan kasih Tuhan berarti bersedia menerima kuk tanggung jawab kepercayaan yang Tuhan anugerahkan kepada kita, yaitu melalukan pekerjaan-pekerjaan  Allah di dunia ini.

Dibebaskan oleh Allah
Hal ini nampak dalam kehidupan bangsa Israel. Setelah Babel kalah dari Persia (tahun 538 sM), daerah Palestina masuk ke dalam wilayah kekuasaan Persia. Oleh karena Koresy raja Persia ingin memperkuat wilayah kekuasaannya, ia memperbolehkan orang-orang Israel yang dibuang ke Babel boleh pulang ke Palestina untuk membangun kembali daerah Palestina yang telah hancur, teruma Bait Allah. Perintah raja Koresy ini jelas disambut dengan respon positif. Sebab identitas mereka sebagai umat Allah, yang semula sempat hilang, kini dibangkitkan dan dipulihkan kembali. Dengan semangat menyala-nyala mereka mulai mendirikan kembali mezbah Allah Israel untuk mempersembahkan korban bakaran, dan memulai pembangunan dasar Bait Allah. Namun, sukacita penuh haru dan semanagt pembangunan menyala-nyala ini segera kendor kembali ketika terjadi konflik dengan penduduk Samaria.
Konflik terjadi ketika kaum Yahudi menolak bantuan penduduk Samaria yang mau turut  membangun Bait Allah, karena aasan pengalaman pahit di masa lalu. Belum lagi, penduduk Samaria kini telah berkawincampur dengan orang-orang kafir, sehingga mereka dianggap tidak layak untuk turut membangun Bait Allah yang kudus. Penolakan yang menyakitkan hati ini segera membangkitkan respon penolakan yang sama kerasnya dari pihak samaria. Serangkaian penghambatan, hasutan dan sabotase dilakukan penduduk Samaria agar pembangunan Bait Allah gagal. Bahkan orang Yahudi pun dituduh berniat memberontak melawan Persia, ketika mereka mulai membangun dasar-dasar tembok Yerusalem. Akibatnya, semangat membangun yang menggebu-gebu runtuh seketika, dan proses pembangunan terhenti.
Konflik berkepanjangan sulit dicairkan antara penduduk Yahudi dengan orang Samaria. Tragedi kekerasan pun terjadi berulang kali sehingga menguras semangat dan membebani hidup orang Yahudi. Nabi Zakahria dalam bacaan 1, mewartakan berita rekonsiliasi, perdamaian dan pengharapan untuk membangkitkan semangat hidup yang patah di kalangan orang Yahudi, khususnya dalam rangka penyelesaian Bait Allah.
Dalam ayat 9-10, menyatakan bahwa semangat hidup dan sukacita muncul ketika Allah menghadirkan seorang raja baru di tengah-tengah Israel. Raja baru itu bukanlah seorang pahlawan perang yang seram, sarat dengan pengalaman tempur yang panjang dan mengendarai seekor kuda perang jantan yang kekar. Ia tidak diiringi dengan tentara perang yang membuat mata penonton takjub karena takut. Namun ia sosok raja yang lemah lembut, sederhana dan rendah hati, yang datang membawa penebusan, ”bersorak-soraklah dengan nyaring, hai puteri Sion, bersorak-sorailah, hai puteri Yerusalem! Lihat, rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya. Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda.” (Zak.9:9). Raja itu bukan ripe raja yang akan mengakhiri peperangan dan perseteruan dengan jalan mengirim kekuatan perang yang lebih besar, dengan menindas, atau dengan pemerintahan tangan besi. Kepemimpinan yang mengandalkan busur, kereta perang fan kuda diganti dengan kepemimpinan seekor keledai beban muda yang menanggung kesalahan dan pengalaman buruk masa lalu. Di sinilah, berita Zakharia mengedepankan bahwa kepemimpinan Tuhan kehendaki adalah tipe kepemimpinan yang datang untuk mengakhiri perseteruan dengan jalan kerendahan hati, kelemahlembutan dan pengampunan. Berita pengampunan dan rekonsiliasi ini bukan hanya ntuk orang Yahudi saja melainkan untuk semua orang.
Seruan zakharia ini bersifat langsung untuk mengingatkan siapapun, bahwa sekalipun umat pernah bersalah, kini mereka sudah ditebus. Mengapa bisa? Karena Allah setia pada janjiNya. Sekalipun umat pernah berkhianat terhadap janji setia Allah, bahkan hingga kini pun mereka masih belum paham benar akan makna pengampunan Allah dengan cara telah mengampuni saudaranya sendiri, yaitu Samaria. Allah mengulang janjiNya dengan serius, yaitu janji darah yang dicurahkan oleh Allah. Dikatakan oleh ayat 11, ”Mengenai engkau, oleh karena darah perjanjian-Ku dengan engkau, Aku akan melepaskan orang-orang tahananmu dari lobang yang tidak berair”. Janji ini aneh, sebab biasanya orang yang bersalah yang mencurahkan darah binatang korban guna menunjukkan ganti dan komitmen untuk tidak mengulangi kejahatannya. Tetapi dalam bacaan ini justru Allah-lah yang menumpahkan darah perjanjian setia, yang seharusnya dilakukan oleh umat, mengapa? Allah memandang umat tidak mampu menebus kesalahannya sendiri. Perjanjian damai Allah yang bermotif kasih ini adalah pembebasan umat dari belenggu dosa, yang telah membuat umat tidak tahu arah yang benar. Semua ini terjadi oleh kasih Allah.
Hal yang sama dikatakan oleh Mazmur 145. dimana Allah bersifat Maha Pengasih dan Penyayang, Ia juga panjang sabar terhadap semua orang (ayat 9). Sehingga ketika umat berdosa tidak bisa berbuat apa-apa selain emngucapkan syukur dan memuji kelimpahan anugerahNya. Tidak jemunya umat bersyukur akan kebaikan Tuhan. Rasa syukur akan kebaikan Tuhan tentu akan mengubah kehidupan umat di jalan Tuhan. Sehingga umat kini hidup dalam rasa syukur pada Tuhan.

Kasih tak berkesudahan
Kasih karunia Tuhan memang dirasakan oleh manusia yang percaya kepadaNya. Hal yang sama mau dikatakan oleh Matius 11. Dalam ayat 16-19 ada perumpamaan tentang Allah yang mengirim para utusanNya (para nabi, Yohanes, Tuhan Yesus) mengajak manusia agar ’mengijinkan’ Allah ikut campur dalam pertandingan melawan dosa. Namun, tawaran dari Allah ini ditolak oleh manusia yang menggantungkan dirinya pada kekuatannya sendiri, yaitu dengan jalan melakukan hukum Taurat menurut pemahamnnya sendiri. Akibatnya kehadiran Tuhan Yesus diacuhkan, seperti perumpamaan anak-anak yang meniup seruling dan bernyanyi, tapi tidak ditanggapi. Manusia tidak mau bersatu hati untuk bersuka, ataupun berduka bersama Yesus. Hati manusia terlalu degil, tak ada kerendahan hati dan kasih, yang sebenarnya adalah intisari dari hukum Taurat.
Bahkan dalam Roma 7, rasul Paulus menyatakan manusia selalu terjebak dalam paradok, atau dalam hal-hal yang bertentangan, misalkan:
1.      Pengetahuan melawan Kemauan
Dalam ayat 15, sekalipun manusia tahu ’apa yang baik-benar’, namun manusia cenderung melakukan kejahatan dan salah. Sekalipun manusia ’tahu’, ia ’tidak mau’. Demikian juga sebaliknya, manusia ’mau’ melakukan yang baik tapi ia ’tidak tahu’ bagaimana caranya.
2.      Kesadaran melawan Ketidaksadaran
Dalam ayat 16-17, manusia juga sering hidup dalam ketidaksadaran. Akibatnya, ketika manusia mau melakukan apa yang baik, tetapi kenyataan manusia tidak mampu melakukannya, karena hal itu di luar kesadarannya.
3.      Ketaatan pada Kehendak Allah melawan Keterbelengguan pada dosa
Sekalipun ego menginginkan hal yang baik, namun karena terjebak dalam daging (yunani: sarx), terjadilah pertarungan yang tiada henti dalam manusia. Dalam hal ini kehendak baik bergumul melawan kedagingan yang menyeret manusia dalam dosa,

Namun bagi Allah perjuangan masih belum berakhir. Allah tetap setia dan mengutus anakNya (ayat 25) agar turut campur tangan dalam hidup manusia. Namun hal ini tidak mudah, sebab apa pun yang Allah rencanakan dan lakukan, tidak diindahkan dan dianggap layak oleh manusia. Dalam perumpamaan ini Tuhan Yesus mengungkapkan sebuah ironi yang amat menusuk hati. Bukankah sudah sepantasnya jika allah berhak menentukan baik-tidaknya segala sesuatu? Tetapi, dengan pongah manusia menilai tindakan Allah serba salah, baik dalam mengutus Yohanes maupun Tuhan Yesus.
Penerimaan terhadap Yohanes dan Tuhan Yesus justru dilakukan oleh mereka yang selama ini dipinggirkan oleh manusia, yaitu: pemungut cukai, orang kerasukan setan dan orang berdosa. Dalam Injil, tak satupun dari mereka yang tersingkir ini pernah diberitakan menolak karya keselamatan Bapa dalam diri Yohanes dan Tuhan Yesus. Kalimat penutup dari Tuhan Yesus, ”Tetapi hikmat Allah dibenarkan oleh perbuatannya” (ayat 19b). Ingin mengungkapkan bahwa pada akhirnya kebenaran Sang Hikmat (atau Tuhan Yesus) tetap akan terjadi, tetap berlaku, entah manusia mau menerima atau tidak.
Amat menarik dalam ayat 25, kata ’nepios’ (anak bayi, kekanak-kanakan, anak kecil, tersingkir, tak terpelajar) sengaja dikontraskan dengan kata ’sophos’ (bijak, berpengalaman, terpelajar) dan ’sunetos’ (pandai, cerdas). Istilah yang dipakai oleh injil Matius untuk emnyebut orang-orang sederhana sebagai seorang balita adalah simbol ungkapan penyerahan dan cinta. Yesus dengan sengaja mempertentangkan orang sederhana yang membutuhkan bimbingan dan tuntunan (yaitu orang berdosa) dengan orang bijak dan berpengetahuan yang tidak membutuhkan bimbingan, yang bahkan akan marah jika merasa digurui (seperti: orang Saduki, Farisi, ahli Taurat). Justru orang Saduki-Farisi-ahli Taurat, menganggap dirinya sebagai sophos, malah tidak memiliki pengetahuan tentang Sophia, yaitu Hikmat Tuhan Yesus. Tetapi sebaliknya para nephios (seperti: orang berdosa, kerasukan setan, pemungut cukai) akses kepada Allah Bapa dapat berjalan dengan lancar.
Salah satu jalan untuk mengakses cinta Sang Bapa adalah dengan menerima cinta Sang Anak. Sehingga Sang Anak berkenan untuk memperkenalkan kepada Sang Bapa. Bukan hanya itu, bagi mereka yang rindu untuk mengenal Sang Bapa, Sang Anak sendirilah yang akan mengajarkan hal itu kepadanya. Itulah sebanya, dalam ayat 28, Tuhan Yesus menyatakan, ”Marilah (datang) kepadaKu.....” –tanpa takut dan ragu- ”belajarlah kepada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati, sehingga jiwamu akan mendapat ketenangan.” (ayat 29). Sikap diharapkan adalah menjadi seperti seorang anak yang mau belajar dan diajar. Dengan bersikap seperti itu, kita siap menerima kekayaan yang sesungguhnya, yaitu pengenalan akan Tuhan.

Penggilan
Kesiapan untuk belajar, seperti seorang anak, kepada Tuhan dinampakkan dari kesediaan kita untuk:
1.      Mau mengakui: ketidak berdayaan (atau letih lesu) kita, dan beratnya beban dosa yang sedang kita pikul. Menjadi seperti anak berarti menjauhkan diri dari sikap sok kuat dan sok menganggap ringan beban dosa yang sedang dipikul.
2.      Menundukkan diri di hadapan Tuhan Yesus (yang lemah lembut dan rendah hati) yang menyerahkan beban berat (dosa) kita, dan mempercayakan diri kepada Yesus untuk mendapat kelegaan. Kata ’kelegaan’ (yunani: anapausoo) lebih tepat diterjemahkan ’rest-ing’ atau istirahat, waktu pemulihan, waktu penyembuhan dan kesegaran dalam hidup yang baru.

Menyerahkan beban berat dosa kepada Tuhan Yesus tidak berarti hidup bebas dari hukum Taurat. Yesus sendiri tidak meniadakan hukum Taurat, tetapi menggenapinya dengan kasih. Beban dosa malah akan bertambah berat dan tidak beroleh kelegaan atau istirahat jika kita hidup mengabaikan hukum Taurat. Mengabaikan hukum Allah justru akan membuat hidup dipenuhi dengan perbudakan nafsu, hilangnya damai sejahtera, kejahatan, raa bersalah dan teror.
Hidup mengikut Yesus tidak berarti lepas dari beban sama sekali, namun memikul kuk pembelajaran untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan Bapa yang berlandaskan kasih dan anugerah. Kuk hukum kasih yang Tuhan Yesus taruh dipundak kita justru akan meningkatkan kerohanian yang meringankan beban hidup kita. Itulah sebabnya, setiap orang Kristen harus mau ’memikul kuk Kristus’, harus mau ’meneladani Kristus’. Amin
Khotbah Minggu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WEBINAR CCA: PEKERJA MIGRAN MENANGGUNG BEBAN COVID-19

Ruth Mathen Kesimpulan panelis webinar CCA: Pekerja migran menanggung beban terbesar dari krisis COVID-19 dan dampaknya yang terus meni...