II Raj. 5:1-14; Mzm. 30; I Kor. 9:24-27; Mark. 1:40-45
Pengantar
Pernahkah melihat orang yang terkena penyakit lepra? Lepra termasuk penyakit kulit yang disebabkan oleh bakteri ‘Mycobacterium leprae’. Tidak mengherankan jika masyarakat sangat takut untuk bersentuhan dengan penderita lepra. Sebab penyakit lepra dianggap mudah menular dan juga dapat mengakibatkan cacat jasmani kepada penderitanya. Akibatnya penderita lepra sering dikucilkan dari masyarakat. Pada zaman dahulu penderita lepra umumnya lebih menderita lagi, sebab mereka harus mengenakan pakaian yang tercabik-cabik dengan rambut yang terurai. Apabila mereka bertemu dengan orang yang sehat, maka mereka harus berseru-seru, “Najis, najis!” (Im. 13:45-46). Kita tidak dapat membayangkan keadaan fisik dan penampilan penderita lepra yang begitu buruk dan mengerikan. Keadaan tubuh yang tidak utuh, wajah yang rusak oleh penyakit dan penderitaan, ditambah dengan pakaian yang harus tercabik-cabik dan rambut yang kusut terurai. Karena itu penyakit lepra sering diidentikkan sebagai penyakit kutukan atau hukuman dari Tuhan. Tetapi syukurlah pada masa kini telah ditemukan obat penyakit lepra, sehingga penderita lepra tidak harus menerima stigma sebagai penyandang penyakit kutukan dan diasingkan dari pergaulan dengan anggota masyarakat.
Naaman terkena kusta
Jika penyandang lepra pada zaman dahulu diasingkan dari masyarakat, maka timbul pertanyaan berkenaan dengan Naaman yang disebut sebagai penderita lepra. Di kitab II Raj. 5 dikisahkan Naaman tetap dapat tinggal di rumah bersama anggota keluarganya. Tampaknya penyakit lepra yang disandang oleh Naaman saat itu belum tergolong parah. Memang penyakit lepra berkembang-biak sangat lambat, sehingga gejalanya baru muncul minimal 1 tahun setelah terinfeksi. Penyakit lepra baru akan muncul pada tahun kelima sampai ketujuh. Gejala dan tanda yang muncul tergantung stamina penderita. Tetapi orang-orang di sekitar Naaman mengetahui bahwa dia sedang mengidap gejala penyakit lepra. Sehingga Naaman akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan para prajurit dan pegawainya. Walau Naaman disebut sebagai seorang panglima perang yang terpandang dan sangat disayangi oleh raja Aram, tetapi keadaan penyakitnya akan menghalangi dia untuk bergaul dengan siapapun. Mereka akan merasa jijik dan takut untuk bersentuhan langsung dengan Naaman. Kemenangan perang yang berhasil diraih oleh Naaman sehingga membawa keharuman bagi bangsanya, yaitu Aram tidak akan mengubah keadaan psikologis orang banyak yang tetap merasa takut dan jijik saat mereka bersentuhan dengan Naaman. Dengan kata lain, Naaman tetap merasa dirinya tersingkir dan sulit untuk berkomunikasi secara wajar. Tentunya sebagai seorang pembesar di kerajaan Aram, Naaman telah berupaya untuk berobat. Semua ahli medis telah dikerahkan untuk menyembuhkan penyakit lepra yang diderita oleh Naaman. Tetapi tidak satupun para ahli medis zaman itu yang berhasil menyembuhkan Naaman. Sampai suatu hari dia mendengar dari isterinya, bahwa anak perempuan yang menjadi budak di rumahnya berkata, "Sekiranya tuanku menghadap nabi yang di Samaria itu, maka tentulah nabi itu akan menyembuhkan dia dari penyakitnya" (II Raj. 5:3).
Walaupun informasi tersebut hanya dikatakan oleh seorang anak perempuan Israel yang menjadi budak di rumahnya, tetapi bagi Naaman informasi tersebut telah membangkitkan suatu pengharapan. Dia segera minta izin dari raja Aram, yaitu raja Ben Hadad dengan membawa persembahan sepuluh talenta perak dan enam ribu syikal emas dan sepuluh potong pakaian kepada raja Israel yaitu raja Yoram (849-842 sM). Bila dikurs, maka persembahan yang dibawa oleh Naaman bernilai sekitar $ 700.000 (= Rp. 7.700.000.000,-atau Tujuh Milyar Tujuh Puluh Juta Rupiah). Suatu jumlah yang sangat fantastis sebagai simbolisasi harapan yang begitu besar bagi Naaman untuk segera memperoleh kesembuhan dari nabi Elisa. Tetapi bagi raja Israel, permohonan dan persembahan Naaman tersebut dianggap sebagai upaya politis agar terjadi konflik antara Aram dengan Israel. Karena raja Israel merasa tidak sanggup untuk menolong dan menyembuhkan penyakit lepra yang diidap oleh Naaman.
Nabi Elisa Mencari Kehormatan Diri Sendiri?
Raja Yoram di Israel begitu putus-asa karena dia tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menyembuhkan Naaman. Saat itulah nabi Elisa memberi solusi agar Naaman datang ke rumahnya. Kata nabi Elisa: "Mengapa engkau mengoyakkan pakaianmu? Biarlah ia datang kepadaku, supaya ia tahu bahwa ada seorang nabi di Israel" (II Raj. 5:8). Apa yang ingin dilakukan oleh nabi Elisa untuk menyembuhkan Naaman ternyata sama sekali bukan karena dia ingin menyelamatkan reputasi raja Yoram. Tetapi nabi Elisa mau menyembuhkan Naaman dengan suatu alasan, yaitu: “supaya ia tahu bahwa ada seorang nabi di Israel" . Ungkapan nabi Elisa tersebut sepertinya mau menyatakan bahwa kehadiran dan perannya sebagai seorang nabi Israel begitu penting sehingga mampu menggeser kewajiban nabi Elisa sebagai seorang warga-negara yang baik untuk menyelamatkan reputasi dan keselamatan raja Yoram di hadapan raja tetangganya, yaitu raja Aram. Jika demikian, apakah tujuan Elisa menyembuhkan Naaman hanya bertujuan agar dia memperoleh kehormatan diri sendiri yaitu agar dia dapat dikagumi oleh kerajaan dan rakyat Aram bahwa dia seorang nabi? Jika memang benar demikian, alasan dan tindakan nabi Elisa tersebut sebenarnya tidak beda jauh dengan praktek para “nabi palsu” yang mencari kehormatan bagi dirinya sendiri. Bandingkan dengan sikap Tuhan Yesus ketika Dia menyembuhkan seorang yang sakit kusta: "Ingatlah, janganlah engkau memberitahukan apa-apa tentang hal ini kepada siapapun, tetapi pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam dan persembahkanlah untuk pentahiranmu persembahan, yang diperintahkan oleh Musa, sebagai bukti bagi mereka" (Mark. 1:44). Dalam konteks ini jelas Tuhan Yesus tidak menginginkan karya mukjijat penyembuhanNya diketahui oleh orang banyak. Tuhan Yesus tidak menghendaki orang yang telah disembuhkan dari penyakit kustanya mempublikasikan kepada banyak orang. Dia ingin tetap tersembunyi.
Sikap nabi Elisa tersebut perlu kita pahami dalam konteks bahwa saat itu dia sedang menyampaikan pesan kepada Naaman yang belum percaya atau sama sekali tidak mengenal Yahweh, Allah Israel. Itu sebabnya nabi Elisa sama sekali tidak menyinggung nama Yahweh sebagai sumber keselamatan dan kesembuhan kepada Naaman. Selain itu nabi Elisa juga tidak pernah menjumpai secara langsung saat Naaman datang ke rumahnya. Nabi Elisa hanya mengirim pembantunya sebagai utusan yang menyampaikan agar Naaman pergi ke sungai Yordan dan membenamkan tubuhnya sebanyak 7 kali, maka dia akan sembuh. Dia ingin tetap tersembunyi. Dengan sikap nabi Elisa tersebut telah menunjukkan bahwa dia tidak pernah menganggap dirinya orang penting dan dikenal secara pribadi sebagai seorang nabi Allah. Bandingkan sikap kita kalau kita berjumpa dengan pejabat penting. Kita ingin supaya dia menyimpan kartu nama atau nomor hand-phone kita.
Padahal dari segi yang lain, sikap nabi Ellisa tersebut sebenarnya sangat mengecewakan Naaman. Sebagai seorang panglima perang kerajaan Aram sesungguhnya Naaman sangat kesal dengan sikap nabi Elisa yang tidak mau menjumpai dan menyambut dia secara langsung. Sesungguhnya Naaman merasa dirinya kurang dihargai oleh nabi Elisa. Apalagi dia kini hanya disuruh mandi dan membenamkan tubuhnya di sungai Yordan sebanyak 7 kali. Padahal dia sangat mengharapkan nabi Elisa mau menjumpai dia dengan mengucapkan suatu rumusan doa dan melakukan suatu tindakan ritual untuk menyembuhkan penyakitnya. Apalagi dia tahu bahwa sungai Yordan di Israel tidak lebih baik dari pada sungai-sungai di kerajaan Aram yaitu sungai Abana, sungai Parpar dan sungai Damsyik. Masakan dia datang dari jauh dengan membawa persembahan yang sangat mahal ternyata sekarang dia hanya disuruh mandi di sungai Yordan. Penghalang terbesar yang dialami oleh Naaman dan kebanyakan orang adalah suatu pola pikir dan keyakinan yang bersifat tetap dan pasti secara subyektif, sehingga telah menutup kemungkinan yang sebenarnya sangat sederhana untuk dilakukan. Justru para pembantu Naaman yang mampu melihat suatu kemungkinan baru untuk dicoba dan dilaksanakan. Para pembantu Naaman berkata: “Bapak, seandainya nabi itu menyuruh perkara yang sukar kepadamu, bukankah bapak akan melakukannya? Apalagi sekarang, ia hanya berkata kepadamu: Mandilah dan engkau akan menjadi tahir" (II Raj. 5:13). Mereka telah membantu untuk membuka mata rohani Naaman agar dia melaksanakan apa yang diperintahkan oleh nabi Elisa.
Bukan Sekedar “Kesederhanaan Proses”
Karya keselamatan Allah tidak akan bekerja secara efektif ketika pola pikir dan pola keyakinan kita masih terbelenggu oleh apa yang kita inginkan dari pada melaksanakan apa yang diinginkan oleh Allah. Padahal apa yang diinginkan oleh Allah tidak senantiasa berupa hal-hal yang sulit dan tidak terjangkau. Dia hanya menghendaki kita untuk melakukan sesuatu yang kadang-kadang sangat sederhana, begitu alami dan “ekonomis”. Tetapi justru kita sering menghendaki sesuatu yang lebih rumit, ritualisme yang sangat mahal dan prosedur yang begitu birokratis. Namun pada sisi lain perlu diingatkan bahwa kesembuhan yang dialami oleh Naaman juga bukan karena “kesederhanaan proses” yaitu hanya dengan mandi di sungai Yordan sebanyak 7 kali. Sebab sungai Yordan pada dirinya tidak dapat menyembuhkan orang. Kekuatan penyembuh dari Allah terjadi ketika kita taat dan percaya kepadaNya serta belas kasihan dari Tuhan. Sikap inilah yang dilakukan oleh seorang penderita kusta yang datang kepada Tuhan Yesus: Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku." Maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan, lalu Ia mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata kepadanya: "Aku mau, jadilah engkau tahir." Seketika itu juga lenyaplah penyakit kusta orang itu, dan ia menjadi tahir (Mark. 1:40-42).
Tepatnya kita sering terperangkap oleh pola pikir dan pola keyakinan yang terlalu mengagung-agungkan ritualisme yang berbelat-belit; tetapi juga kita sering terperangkap oleh pola pikir dan pola keyakinan yang maunya menyederhanakan proses yang seharusnya ditempuh. Tetapi dengan kedua sikap tersebut ternyata kehidupan kita tidak dilandasi oleh sikap taat yang tanpa syarat untuk melakukan apa yang difirmankan Allah kepada kita. Seandainya Naaman waktu itu tidak memiliki para pembantu yang mampu mencerahkan mata rohaninya, maka dia akan kembali ke Aram dengan kesal dan geram sebab penyakit lepranya tidak akan pernah tersembuhkan. Lebih penting lagi, Naaman tidak akan pernah menyatakan pengakuan imannya setelah dia disembuhkan, yaitu, "Sekarang aku tahu, bahwa di seluruh bumi tidak ada Allah kecuali di Israel” (II Raj. 5:15). Yang dipuji dan dipermuliakan oleh Naaman bukanlah perkataan nabi Elisa yang manjur, tetapi Allah Israel. Hal ini terjadi karena para pembantunya telah menolong dia untuk melaksanakan apa yang diperintahkan nabi Elisa kepadanya.
Jika demikian, kita diingatkan betapa penting makna pergaulan dengan teman-teman dan komunitas yang mampu memberi pencerahan iman kepada kita. Keterbatasan wawasan dan ketidak-dewasaan iman sering membuat kita hidup seperti “katak dalam tempurung” rohaniah. Kita merasa telah memiliki seperangkap “kebenaran Allah” yang cukup lengkap, tetapi “kebenaran Allah” tersebut ternyata tidak memampukan kita untuk menangkap dan mentaati esensi yang paling utama yaitu ketaatan dan kesetiaan. Tetapi pada sisi lain kehidupan kita kadang-kadang penuh dengan paradoks yang menyedihkan. Kita dapat jumpai begitu banyak orang yang sangat taat sampai mati karena keyakinannya yang begitu dangkal dan picik yaitu dengan menyederhanakan proses menarik kesimpulan dan mengambil keputusan. Misalnya karena tempat cafĂ© dianggap sebagai tempat berkumpul orang-orang “kafir” yang akan berbuat maksiat, maka mereka merelakan diri untuk menjadi pelaku bom bunuh diri.
Atau sebaliknya kita akan bersikap sangat taat karena merasa diri mampu berpikir “luas” (“kompleks”), “pintar” dan sangat prosedural sebagaimana yang dilakukan oleh Naaman, tetapi kita tidak mampu membaca atau menafsirkan realitas kehidupan secara alami dan sederhana sehingga kebenaran Allah yang dinyatakan tidak berhasil kita tangkap dan laksanakan secara efisien. Karena itu akan semakin bertambah malangnya diri kita jikalau kita tidak pernah memiliki teman atau komunitas yang mampu mencerahkan mata rohaniah kita, sebaliknya teman atau komunitas yang mendangkalkan iman kita. Tentunya kedangkalan dan kebodohan rohaniah kita tersebut makin bertambah-tambah sebab penyakit rohaniah kita makin tidak tersembuhkan. Penderitaan dan pergumulan kita pada akhirnya tidak akan dapat membawa pengakuan iman seperti yang dilakukan oleh Naaman (II Raj. 5:15) yang memulihkan dirinya secara utuh, yaitu: penyembuhan teologis (theological healing), penyembuhan fisik (physical healing), dan penyembuhan relasional (relational healing). Pemazmur yang telah mengalami pertolongan dan pemulihan dari Allah juga berkata: “TUHAN, Allahku, kepada-Mu aku berteriak minta tolong, dan Engkau telah menyembuhkan aku. TUHAN, Engkau mengangkat aku dari dunia orang mati, Engkau menghidupkan aku di antara mereka yang turun ke liang kubur” (Mzm. 30:3-4). Mata rohaniah pemazmur akhirnya tercelik, sehingga dia dapat menyatakan dengan lugas bahwa hanya Allah Tuhan saja yang mampu menyelamatkan dia.
Ketaatan Yang Terlatih
Pencerahan iman yang mendorong kita untuk mentaati kehendak Allah perlu terus dilatih sedemikian rupa agar menjadi gaya hidup dan perilaku dalam seluruh karakter kita. Tepatnya kita perlu terus melatih diri kita sedemikian rupa agar senantiasa memiliki mata rohaniah yang terus tercelik sehingga kita dapat mentaati kehendak Allah setiap waktu dan tidak pernah terputus. Pengakuan “belas kasihan Tuhan yang menyembuhkan” bukan hanya sekedar suatu pernyataan kredo di suatu momen tertentu saja saat kita disembuhkan dan dipulihkan, tetapi juga harus dinyatakan di saat kita belum menemukan pertolongan Allah secara nyata. Demikian pula hal pertumbuhan iman kita juga tidak mungkin selalu tergantung dari pertolongan teman-teman dan komunitas kita yang diharapkan dapat memberi pencerahan rohaniah. Sebab Allah menghendaki diri kita menjadi para pemain handal yang mampu bertarung untuk memperoleh kemenangan iman. Untuk itu kita dipanggil untuk terus melatih rohaniah kita sedemikian rupa agar kita mampu menguasai diri, dan mengubah kelemahan diri menjadi sumber kekuatan.
Di I Kor. 9:25-27 rasul Paulus berkata: “Tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam pertandingan, menguasai dirinya dalam segala hal. Mereka berbuat demikian untuk memperoleh suatu mahkota yang fana, tetapi kita untuk memperoleh suatu mahkota yang abadi. Sebab itu aku tidak berlari tanpa tujuan dan aku bukan petinju yang sembarangan saja memukul. Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak”. Apa yang dikemukakan oleh rasul Paulus menyadarkan kita bahwa ternyata dia sama sekali tidak mau menggunakan pengalaman pertobatannya di Damsyik, baptisannya, panggilannya sebagai seorang rasul dan karya pelayanan yang telah terukir indah di berbagai tempat sebagai satu-satunya dasar untuk keselamatannya. Rasul Paulus tidak mau tergoda untuk melihat berbagai “masa lalu” yang telah dilewati secara luar biasa. Tetapi dia senantiasa mengarahkan diri ke depan dengan terus melatih dan menguasai dirinya sedemikian rupa agar dia kelak jangan sampai ditolak oleh Kristus! Dengan demikian sikap rasul Paulus untuk mengikut Kristus bukan hanya dihayati pada saat dia memerlukan pertolonganNya saja. Sebaliknya makna mengikut Kristus dia hayati sebagai respon iman yang terus dibaharui dari hari ke hari. Bukankah kita sering secara intensif dan penuh kesungguhan hati datang kepada Kristus hanya pada saat kita sakit dan mengalami kegagalan total?
Memang setiap orang yang menderita sakit seperti Naaman atau seorang penderita lepra perlu mencari dan datang kepada Kristus untuk disembuhkan. Sebab melalui sakit dan penderitaan yang kita alami, sering dipakai oleh Allah agar kita dapat menemukan anugerah dan pemulihan dari Allah serta menemukan juga belas-kasih dari Tuhan. Tetapi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana setelah kita disembuhkan dan dipulihkan oleh Kristus? Apakah kita tetap mampu menyatakan dalam setiap aspek kehidupan bahwa “Aku telah menerima belas kasihan Allah”? Bukankah kita sering lupa akan belas kasih Tuhan setelah kita menemukan apa yang kita ingini?
Panggilan
Pengakuan “belas kasihan Tuhan yang menyembuhkan” hanya dapat diwujudkan dalam sikap taat yang dinyatakan setiap saat baik pada waktu kita sakit maupun sehat, saat kita gagal maupun sukses. Untuk itu kita perlu senantiasa membaharui diri agar paradigma atau pola pikir dan keyakinan kita bersifat terbuka dengan pola kerja Allah. Sehingga kita senantiasa mengikuti dan melaksanakan apa yang Allah kehendaki, dan bukan berupaya mengatur atau mengendalikan Allah untuk melakukan apa yang kita kehendaki.
Kendala yang sering menghambat kepekaan rohani kita sering disebabkan karena kita merasa telah memiliki banyak pengetahuan, sehingga kita sangat sulit menerima cara kerja Allah yang sebenarnya cukup sederhana dan praktis. Kendala yang lain justru sebaliknya! Kita terbiasa melakukan segala sesuatu serba praktis, ekonomis dan efisien sehingga kita sering tidak sabar untuk mengikuti proses dan pola kerja Allah yang kadang-kadang cukup meletihkan. Padahal proses dan pola kerja Allah tersebut bertujuan makin memurnikan dan mendewasakan rohani kita. Jika demikian, bagaimanakah sikap saudara? Apakah sikap saudara seperti Naaman? Atau hidup kita seperti para pembantu Naaman yang mampu mencelikkan mata rohani Naaman? Berbahagialah jika kita memiliki sikap rohani seperti rasul Paulus yang mau terus melatih diri agar tetap hidup murni dan kudus sampai pada akhirnya. Amin.
Pengantar
Pernahkah melihat orang yang terkena penyakit lepra? Lepra termasuk penyakit kulit yang disebabkan oleh bakteri ‘Mycobacterium leprae’. Tidak mengherankan jika masyarakat sangat takut untuk bersentuhan dengan penderita lepra. Sebab penyakit lepra dianggap mudah menular dan juga dapat mengakibatkan cacat jasmani kepada penderitanya. Akibatnya penderita lepra sering dikucilkan dari masyarakat. Pada zaman dahulu penderita lepra umumnya lebih menderita lagi, sebab mereka harus mengenakan pakaian yang tercabik-cabik dengan rambut yang terurai. Apabila mereka bertemu dengan orang yang sehat, maka mereka harus berseru-seru, “Najis, najis!” (Im. 13:45-46). Kita tidak dapat membayangkan keadaan fisik dan penampilan penderita lepra yang begitu buruk dan mengerikan. Keadaan tubuh yang tidak utuh, wajah yang rusak oleh penyakit dan penderitaan, ditambah dengan pakaian yang harus tercabik-cabik dan rambut yang kusut terurai. Karena itu penyakit lepra sering diidentikkan sebagai penyakit kutukan atau hukuman dari Tuhan. Tetapi syukurlah pada masa kini telah ditemukan obat penyakit lepra, sehingga penderita lepra tidak harus menerima stigma sebagai penyandang penyakit kutukan dan diasingkan dari pergaulan dengan anggota masyarakat.
Naaman terkena kusta
Jika penyandang lepra pada zaman dahulu diasingkan dari masyarakat, maka timbul pertanyaan berkenaan dengan Naaman yang disebut sebagai penderita lepra. Di kitab II Raj. 5 dikisahkan Naaman tetap dapat tinggal di rumah bersama anggota keluarganya. Tampaknya penyakit lepra yang disandang oleh Naaman saat itu belum tergolong parah. Memang penyakit lepra berkembang-biak sangat lambat, sehingga gejalanya baru muncul minimal 1 tahun setelah terinfeksi. Penyakit lepra baru akan muncul pada tahun kelima sampai ketujuh. Gejala dan tanda yang muncul tergantung stamina penderita. Tetapi orang-orang di sekitar Naaman mengetahui bahwa dia sedang mengidap gejala penyakit lepra. Sehingga Naaman akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan para prajurit dan pegawainya. Walau Naaman disebut sebagai seorang panglima perang yang terpandang dan sangat disayangi oleh raja Aram, tetapi keadaan penyakitnya akan menghalangi dia untuk bergaul dengan siapapun. Mereka akan merasa jijik dan takut untuk bersentuhan langsung dengan Naaman. Kemenangan perang yang berhasil diraih oleh Naaman sehingga membawa keharuman bagi bangsanya, yaitu Aram tidak akan mengubah keadaan psikologis orang banyak yang tetap merasa takut dan jijik saat mereka bersentuhan dengan Naaman. Dengan kata lain, Naaman tetap merasa dirinya tersingkir dan sulit untuk berkomunikasi secara wajar. Tentunya sebagai seorang pembesar di kerajaan Aram, Naaman telah berupaya untuk berobat. Semua ahli medis telah dikerahkan untuk menyembuhkan penyakit lepra yang diderita oleh Naaman. Tetapi tidak satupun para ahli medis zaman itu yang berhasil menyembuhkan Naaman. Sampai suatu hari dia mendengar dari isterinya, bahwa anak perempuan yang menjadi budak di rumahnya berkata, "Sekiranya tuanku menghadap nabi yang di Samaria itu, maka tentulah nabi itu akan menyembuhkan dia dari penyakitnya" (II Raj. 5:3).
Walaupun informasi tersebut hanya dikatakan oleh seorang anak perempuan Israel yang menjadi budak di rumahnya, tetapi bagi Naaman informasi tersebut telah membangkitkan suatu pengharapan. Dia segera minta izin dari raja Aram, yaitu raja Ben Hadad dengan membawa persembahan sepuluh talenta perak dan enam ribu syikal emas dan sepuluh potong pakaian kepada raja Israel yaitu raja Yoram (849-842 sM). Bila dikurs, maka persembahan yang dibawa oleh Naaman bernilai sekitar $ 700.000 (= Rp. 7.700.000.000,-atau Tujuh Milyar Tujuh Puluh Juta Rupiah). Suatu jumlah yang sangat fantastis sebagai simbolisasi harapan yang begitu besar bagi Naaman untuk segera memperoleh kesembuhan dari nabi Elisa. Tetapi bagi raja Israel, permohonan dan persembahan Naaman tersebut dianggap sebagai upaya politis agar terjadi konflik antara Aram dengan Israel. Karena raja Israel merasa tidak sanggup untuk menolong dan menyembuhkan penyakit lepra yang diidap oleh Naaman.
Nabi Elisa Mencari Kehormatan Diri Sendiri?
Raja Yoram di Israel begitu putus-asa karena dia tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menyembuhkan Naaman. Saat itulah nabi Elisa memberi solusi agar Naaman datang ke rumahnya. Kata nabi Elisa: "Mengapa engkau mengoyakkan pakaianmu? Biarlah ia datang kepadaku, supaya ia tahu bahwa ada seorang nabi di Israel" (II Raj. 5:8). Apa yang ingin dilakukan oleh nabi Elisa untuk menyembuhkan Naaman ternyata sama sekali bukan karena dia ingin menyelamatkan reputasi raja Yoram. Tetapi nabi Elisa mau menyembuhkan Naaman dengan suatu alasan, yaitu: “supaya ia tahu bahwa ada seorang nabi di Israel" . Ungkapan nabi Elisa tersebut sepertinya mau menyatakan bahwa kehadiran dan perannya sebagai seorang nabi Israel begitu penting sehingga mampu menggeser kewajiban nabi Elisa sebagai seorang warga-negara yang baik untuk menyelamatkan reputasi dan keselamatan raja Yoram di hadapan raja tetangganya, yaitu raja Aram. Jika demikian, apakah tujuan Elisa menyembuhkan Naaman hanya bertujuan agar dia memperoleh kehormatan diri sendiri yaitu agar dia dapat dikagumi oleh kerajaan dan rakyat Aram bahwa dia seorang nabi? Jika memang benar demikian, alasan dan tindakan nabi Elisa tersebut sebenarnya tidak beda jauh dengan praktek para “nabi palsu” yang mencari kehormatan bagi dirinya sendiri. Bandingkan dengan sikap Tuhan Yesus ketika Dia menyembuhkan seorang yang sakit kusta: "Ingatlah, janganlah engkau memberitahukan apa-apa tentang hal ini kepada siapapun, tetapi pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam dan persembahkanlah untuk pentahiranmu persembahan, yang diperintahkan oleh Musa, sebagai bukti bagi mereka" (Mark. 1:44). Dalam konteks ini jelas Tuhan Yesus tidak menginginkan karya mukjijat penyembuhanNya diketahui oleh orang banyak. Tuhan Yesus tidak menghendaki orang yang telah disembuhkan dari penyakit kustanya mempublikasikan kepada banyak orang. Dia ingin tetap tersembunyi.
Sikap nabi Elisa tersebut perlu kita pahami dalam konteks bahwa saat itu dia sedang menyampaikan pesan kepada Naaman yang belum percaya atau sama sekali tidak mengenal Yahweh, Allah Israel. Itu sebabnya nabi Elisa sama sekali tidak menyinggung nama Yahweh sebagai sumber keselamatan dan kesembuhan kepada Naaman. Selain itu nabi Elisa juga tidak pernah menjumpai secara langsung saat Naaman datang ke rumahnya. Nabi Elisa hanya mengirim pembantunya sebagai utusan yang menyampaikan agar Naaman pergi ke sungai Yordan dan membenamkan tubuhnya sebanyak 7 kali, maka dia akan sembuh. Dia ingin tetap tersembunyi. Dengan sikap nabi Elisa tersebut telah menunjukkan bahwa dia tidak pernah menganggap dirinya orang penting dan dikenal secara pribadi sebagai seorang nabi Allah. Bandingkan sikap kita kalau kita berjumpa dengan pejabat penting. Kita ingin supaya dia menyimpan kartu nama atau nomor hand-phone kita.
Padahal dari segi yang lain, sikap nabi Ellisa tersebut sebenarnya sangat mengecewakan Naaman. Sebagai seorang panglima perang kerajaan Aram sesungguhnya Naaman sangat kesal dengan sikap nabi Elisa yang tidak mau menjumpai dan menyambut dia secara langsung. Sesungguhnya Naaman merasa dirinya kurang dihargai oleh nabi Elisa. Apalagi dia kini hanya disuruh mandi dan membenamkan tubuhnya di sungai Yordan sebanyak 7 kali. Padahal dia sangat mengharapkan nabi Elisa mau menjumpai dia dengan mengucapkan suatu rumusan doa dan melakukan suatu tindakan ritual untuk menyembuhkan penyakitnya. Apalagi dia tahu bahwa sungai Yordan di Israel tidak lebih baik dari pada sungai-sungai di kerajaan Aram yaitu sungai Abana, sungai Parpar dan sungai Damsyik. Masakan dia datang dari jauh dengan membawa persembahan yang sangat mahal ternyata sekarang dia hanya disuruh mandi di sungai Yordan. Penghalang terbesar yang dialami oleh Naaman dan kebanyakan orang adalah suatu pola pikir dan keyakinan yang bersifat tetap dan pasti secara subyektif, sehingga telah menutup kemungkinan yang sebenarnya sangat sederhana untuk dilakukan. Justru para pembantu Naaman yang mampu melihat suatu kemungkinan baru untuk dicoba dan dilaksanakan. Para pembantu Naaman berkata: “Bapak, seandainya nabi itu menyuruh perkara yang sukar kepadamu, bukankah bapak akan melakukannya? Apalagi sekarang, ia hanya berkata kepadamu: Mandilah dan engkau akan menjadi tahir" (II Raj. 5:13). Mereka telah membantu untuk membuka mata rohani Naaman agar dia melaksanakan apa yang diperintahkan oleh nabi Elisa.
Bukan Sekedar “Kesederhanaan Proses”
Karya keselamatan Allah tidak akan bekerja secara efektif ketika pola pikir dan pola keyakinan kita masih terbelenggu oleh apa yang kita inginkan dari pada melaksanakan apa yang diinginkan oleh Allah. Padahal apa yang diinginkan oleh Allah tidak senantiasa berupa hal-hal yang sulit dan tidak terjangkau. Dia hanya menghendaki kita untuk melakukan sesuatu yang kadang-kadang sangat sederhana, begitu alami dan “ekonomis”. Tetapi justru kita sering menghendaki sesuatu yang lebih rumit, ritualisme yang sangat mahal dan prosedur yang begitu birokratis. Namun pada sisi lain perlu diingatkan bahwa kesembuhan yang dialami oleh Naaman juga bukan karena “kesederhanaan proses” yaitu hanya dengan mandi di sungai Yordan sebanyak 7 kali. Sebab sungai Yordan pada dirinya tidak dapat menyembuhkan orang. Kekuatan penyembuh dari Allah terjadi ketika kita taat dan percaya kepadaNya serta belas kasihan dari Tuhan. Sikap inilah yang dilakukan oleh seorang penderita kusta yang datang kepada Tuhan Yesus: Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku." Maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan, lalu Ia mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata kepadanya: "Aku mau, jadilah engkau tahir." Seketika itu juga lenyaplah penyakit kusta orang itu, dan ia menjadi tahir (Mark. 1:40-42).
Tepatnya kita sering terperangkap oleh pola pikir dan pola keyakinan yang terlalu mengagung-agungkan ritualisme yang berbelat-belit; tetapi juga kita sering terperangkap oleh pola pikir dan pola keyakinan yang maunya menyederhanakan proses yang seharusnya ditempuh. Tetapi dengan kedua sikap tersebut ternyata kehidupan kita tidak dilandasi oleh sikap taat yang tanpa syarat untuk melakukan apa yang difirmankan Allah kepada kita. Seandainya Naaman waktu itu tidak memiliki para pembantu yang mampu mencerahkan mata rohaninya, maka dia akan kembali ke Aram dengan kesal dan geram sebab penyakit lepranya tidak akan pernah tersembuhkan. Lebih penting lagi, Naaman tidak akan pernah menyatakan pengakuan imannya setelah dia disembuhkan, yaitu, "Sekarang aku tahu, bahwa di seluruh bumi tidak ada Allah kecuali di Israel” (II Raj. 5:15). Yang dipuji dan dipermuliakan oleh Naaman bukanlah perkataan nabi Elisa yang manjur, tetapi Allah Israel. Hal ini terjadi karena para pembantunya telah menolong dia untuk melaksanakan apa yang diperintahkan nabi Elisa kepadanya.
Jika demikian, kita diingatkan betapa penting makna pergaulan dengan teman-teman dan komunitas yang mampu memberi pencerahan iman kepada kita. Keterbatasan wawasan dan ketidak-dewasaan iman sering membuat kita hidup seperti “katak dalam tempurung” rohaniah. Kita merasa telah memiliki seperangkap “kebenaran Allah” yang cukup lengkap, tetapi “kebenaran Allah” tersebut ternyata tidak memampukan kita untuk menangkap dan mentaati esensi yang paling utama yaitu ketaatan dan kesetiaan. Tetapi pada sisi lain kehidupan kita kadang-kadang penuh dengan paradoks yang menyedihkan. Kita dapat jumpai begitu banyak orang yang sangat taat sampai mati karena keyakinannya yang begitu dangkal dan picik yaitu dengan menyederhanakan proses menarik kesimpulan dan mengambil keputusan. Misalnya karena tempat cafĂ© dianggap sebagai tempat berkumpul orang-orang “kafir” yang akan berbuat maksiat, maka mereka merelakan diri untuk menjadi pelaku bom bunuh diri.
Atau sebaliknya kita akan bersikap sangat taat karena merasa diri mampu berpikir “luas” (“kompleks”), “pintar” dan sangat prosedural sebagaimana yang dilakukan oleh Naaman, tetapi kita tidak mampu membaca atau menafsirkan realitas kehidupan secara alami dan sederhana sehingga kebenaran Allah yang dinyatakan tidak berhasil kita tangkap dan laksanakan secara efisien. Karena itu akan semakin bertambah malangnya diri kita jikalau kita tidak pernah memiliki teman atau komunitas yang mampu mencerahkan mata rohaniah kita, sebaliknya teman atau komunitas yang mendangkalkan iman kita. Tentunya kedangkalan dan kebodohan rohaniah kita tersebut makin bertambah-tambah sebab penyakit rohaniah kita makin tidak tersembuhkan. Penderitaan dan pergumulan kita pada akhirnya tidak akan dapat membawa pengakuan iman seperti yang dilakukan oleh Naaman (II Raj. 5:15) yang memulihkan dirinya secara utuh, yaitu: penyembuhan teologis (theological healing), penyembuhan fisik (physical healing), dan penyembuhan relasional (relational healing). Pemazmur yang telah mengalami pertolongan dan pemulihan dari Allah juga berkata: “TUHAN, Allahku, kepada-Mu aku berteriak minta tolong, dan Engkau telah menyembuhkan aku. TUHAN, Engkau mengangkat aku dari dunia orang mati, Engkau menghidupkan aku di antara mereka yang turun ke liang kubur” (Mzm. 30:3-4). Mata rohaniah pemazmur akhirnya tercelik, sehingga dia dapat menyatakan dengan lugas bahwa hanya Allah Tuhan saja yang mampu menyelamatkan dia.
Ketaatan Yang Terlatih
Pencerahan iman yang mendorong kita untuk mentaati kehendak Allah perlu terus dilatih sedemikian rupa agar menjadi gaya hidup dan perilaku dalam seluruh karakter kita. Tepatnya kita perlu terus melatih diri kita sedemikian rupa agar senantiasa memiliki mata rohaniah yang terus tercelik sehingga kita dapat mentaati kehendak Allah setiap waktu dan tidak pernah terputus. Pengakuan “belas kasihan Tuhan yang menyembuhkan” bukan hanya sekedar suatu pernyataan kredo di suatu momen tertentu saja saat kita disembuhkan dan dipulihkan, tetapi juga harus dinyatakan di saat kita belum menemukan pertolongan Allah secara nyata. Demikian pula hal pertumbuhan iman kita juga tidak mungkin selalu tergantung dari pertolongan teman-teman dan komunitas kita yang diharapkan dapat memberi pencerahan rohaniah. Sebab Allah menghendaki diri kita menjadi para pemain handal yang mampu bertarung untuk memperoleh kemenangan iman. Untuk itu kita dipanggil untuk terus melatih rohaniah kita sedemikian rupa agar kita mampu menguasai diri, dan mengubah kelemahan diri menjadi sumber kekuatan.
Di I Kor. 9:25-27 rasul Paulus berkata: “Tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam pertandingan, menguasai dirinya dalam segala hal. Mereka berbuat demikian untuk memperoleh suatu mahkota yang fana, tetapi kita untuk memperoleh suatu mahkota yang abadi. Sebab itu aku tidak berlari tanpa tujuan dan aku bukan petinju yang sembarangan saja memukul. Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak”. Apa yang dikemukakan oleh rasul Paulus menyadarkan kita bahwa ternyata dia sama sekali tidak mau menggunakan pengalaman pertobatannya di Damsyik, baptisannya, panggilannya sebagai seorang rasul dan karya pelayanan yang telah terukir indah di berbagai tempat sebagai satu-satunya dasar untuk keselamatannya. Rasul Paulus tidak mau tergoda untuk melihat berbagai “masa lalu” yang telah dilewati secara luar biasa. Tetapi dia senantiasa mengarahkan diri ke depan dengan terus melatih dan menguasai dirinya sedemikian rupa agar dia kelak jangan sampai ditolak oleh Kristus! Dengan demikian sikap rasul Paulus untuk mengikut Kristus bukan hanya dihayati pada saat dia memerlukan pertolonganNya saja. Sebaliknya makna mengikut Kristus dia hayati sebagai respon iman yang terus dibaharui dari hari ke hari. Bukankah kita sering secara intensif dan penuh kesungguhan hati datang kepada Kristus hanya pada saat kita sakit dan mengalami kegagalan total?
Memang setiap orang yang menderita sakit seperti Naaman atau seorang penderita lepra perlu mencari dan datang kepada Kristus untuk disembuhkan. Sebab melalui sakit dan penderitaan yang kita alami, sering dipakai oleh Allah agar kita dapat menemukan anugerah dan pemulihan dari Allah serta menemukan juga belas-kasih dari Tuhan. Tetapi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana setelah kita disembuhkan dan dipulihkan oleh Kristus? Apakah kita tetap mampu menyatakan dalam setiap aspek kehidupan bahwa “Aku telah menerima belas kasihan Allah”? Bukankah kita sering lupa akan belas kasih Tuhan setelah kita menemukan apa yang kita ingini?
Panggilan
Pengakuan “belas kasihan Tuhan yang menyembuhkan” hanya dapat diwujudkan dalam sikap taat yang dinyatakan setiap saat baik pada waktu kita sakit maupun sehat, saat kita gagal maupun sukses. Untuk itu kita perlu senantiasa membaharui diri agar paradigma atau pola pikir dan keyakinan kita bersifat terbuka dengan pola kerja Allah. Sehingga kita senantiasa mengikuti dan melaksanakan apa yang Allah kehendaki, dan bukan berupaya mengatur atau mengendalikan Allah untuk melakukan apa yang kita kehendaki.
Kendala yang sering menghambat kepekaan rohani kita sering disebabkan karena kita merasa telah memiliki banyak pengetahuan, sehingga kita sangat sulit menerima cara kerja Allah yang sebenarnya cukup sederhana dan praktis. Kendala yang lain justru sebaliknya! Kita terbiasa melakukan segala sesuatu serba praktis, ekonomis dan efisien sehingga kita sering tidak sabar untuk mengikuti proses dan pola kerja Allah yang kadang-kadang cukup meletihkan. Padahal proses dan pola kerja Allah tersebut bertujuan makin memurnikan dan mendewasakan rohani kita. Jika demikian, bagaimanakah sikap saudara? Apakah sikap saudara seperti Naaman? Atau hidup kita seperti para pembantu Naaman yang mampu mencelikkan mata rohani Naaman? Berbahagialah jika kita memiliki sikap rohani seperti rasul Paulus yang mau terus melatih diri agar tetap hidup murni dan kudus sampai pada akhirnya. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar