II Raj. 2:1-12; Mzm. 50:1-6; II Kor. 4:3-6; Mark. 9:2-9
Pengantar
Hampir setiap orang takjub dengan keindahan kupu-kupu saat dia terbang dengan sayapnya yang elok. Tetapi kita akan lebih takjub lagi saat kita memperhatikan proses terjadinya “metamorphose” (perubahan bentuk) seekor kupu-kupu. Pertama-tama kupu akan bertelur, kemudian telur yang menempel di suatu daun akan berubah menjadi ulat. Setelah itu ulat menjadi besar dan memanjang. Ulat tersebut kemudian berubah menjadi kepompong. Setelah beberapa lama, dari kepompong tersebut akan keluar seekor kupu-kupu yang sangat indah.
Transfigurasi
Kita tidak pernah menduga dari ulat yang umumnya sangat menjijikkan bagi sebagian besar wanita dan kepompong yang buruk bentuknya suatu kelak akan berubah menjadi seekor kupu-kupu yang cantik. Sangat menarik, bahwa istilah “transfigurasi” sebenarnya berasal dari istilah “metamorfosa” yang di dalam teks Alkitab Yunani disebut dengan “metemorphethe” atau “metamorpheo”. Istilah “metemorphete” atau “transfigurasi” disaksikan oleh Alkitab dan dikenakan pada diri Yesus. Di Mark. 9:2 disebutkan bahwa Yesus mengajak ketiga muridNya yaitu Petrus, Yakobus dan Yohanes di sebuah gunung yang tinggi, yaitu: “Lalu Yesus berubah rupa di depan mata mereka, dan pakaianNya sangat putih berkilat-kilat. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang dapat mengelantang pakaian seperti itu” (Mark. 9:2b-3). Dalam peristiwa transfigurasi tersebut tubuh fisik Yesus berubah secara menyeluruh. Tubuh manusiawiNya memancarkan cahaya kemuliaan Allah. Lebih dari pada itu Dia berubah rupa secara rohaniah.
Tidak semua murid diajak oleh Yesus untuk melihat kemuliaanNya sebagai Anak Allah. Sebab yang diajak oleh Yesus naik ke suatu gunung yang tinggi hanyalah Petrus, Yohanes dan Yakobus. Mereka adalah orang-orang yang termasuk “lingkaran dalam” dari para murid Yesus yang berjumlah 12 orang. Melalui peristiwa transfigurasi tersebut Yesus memperkenalkan jati-diriNya sebagai Anak Allah yang mulia sehingga seluruh tubuhNya diselubungi oleh cahaya sorgawi. Lebih tepat tubuh manusiawiNya saat peristiwa transfigurasi berubah menjadi tubuh sorgawi. Petrus, Yohanes dan Yakobus juga melihat kehadiran Musa dan Elia saat Kristus berubah rupa dalam kemuliaanNya. Bukankah Musa dan Elia adalah para nabi yang sangat terkemuka dalam kisah di Perjanjian Lama? Ini dikarenakan:
Ini berarti dalam peristiwa transfigurasi Yesus di atas gunung, ke-Messias-anNya sebagai Anak Allah telah diteguhkan secara sah oleh kehadiran Musa dan Elia. Bukankah hukum Taurat menyatakan bahwa suatu perkara tidak akan disangsikan jikalau telah didukung oleh 2 orang saksi? (Ul. 19:15). Bahkan melalui transfigurasi kita diingatkan bahwa Musa yang dikuburkan secara rahasia oleh Allah, dan Elia yang diangkat ke sorga oleh Allah mau menyatakan bahwa realitas bumi dan langit telah disatukan dalam inkarnasi dan pelayanan Kristus.
Kehadiran Musa dan Elia dalam peristiwa transfigurasi Yesus bukanlah sekedar suatu peristiwa penampakan dari roh mereka saat Yesus menyatakan kemuliaanNya, tetapi juga Musa dan Elia hadir untuk mempercakapkan sesuatu yang sangat penting dengan Yesus. Injil Markus dan Injil Matius tidak menjelaskan isi percakapan Yesus dengan Musa dan Elia. Tetapi Injil Lukas memberi penjelasan yaitu: “berbicara tentang tujuan kepergianNya yang akan digenapiNya di Yerusalem” (Luk. 9:31). Namun satu hal yang pasti Injil Matius dan Injil Markus menyatakan bahwa Yesus mengingatkan para murid dengan sungguh-sungguh agar mereka tidak menyampaikan kepada siapapun sebelum Dia dibangkitkan dari antara orang mati (Mat. 17:9; Mark. 9:9).
Dalam peristiwa transfigurasiNya Yesus melalui Injil Markus hendak menyatakan kepada kita bahwa tubuh kebangkitanNya kelak identik dengan tubuh kemuliaanNya sebagaimana dilihat oleh Petrus, Yohanes dan Yakobus. Ini berarti sebenarnya misteri tubuh kebangkitan Kristus telah disingkapkan dalam peristiwa transfigurasiNya. Karena itu Allah dalam peristiwa transfigurasi Yesus juga menyatakan: "Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia" (Mark. 9:7). Allah bukan hanya menyatakan bahwa Yesus adalah Anak Allah, tetapi kita juga dipanggil untuk sungguh-sungguh mau mendengarkan perkataanNya. Kita dipanggil untuk tidak meragukan keabsahan Yesus sebagai Messias dan Anak Allah yang mulia. Dasar iman yang demikian akan mempersekutukan diri kita dengan diri Yesus. Persekutuan kita dengan Kristus tersebut juga akan menjadikan kehidupan kita semakin serupa dengan Dia. Sehingga kita bukan sekedar kagum dan terpesona dengan cahaya kemuliaan Kristus, tetapi lebih dari pada itu dalam persekutuan dengan Kristus kita makin dimampukan untuk memancarkan cahaya kemuliaan Kristus dalam kehidupan sehari-hari.
Selubung Bagi Mereka Yang Akan Binasa
Dalam kehidupan sehari-hari tentunya kita tidak akan pernah melihat peristiwa transfigurasi Kristus sebagaimana yang disaksikan oleh Petrus, Yohanes dan Yakobus. Tetapi kita dimungkinkan untuk melihat kemuliaan Kristus melalui berita Alkitab. Kita bersyukur saat ini berita Alkitab makin tersebar melalui berbagai macam cara, misalnya: melalui pencetakan dan penerbitan, melalui internet, televisi, radio, khotbah dan berbagai pemberitaan firman. Tetapi apakah berbagai media tersebut secara otomatis dapat membuka mata rohani banyak orang untuk serupa dengan Kristus? Tentunya jawabannya adalah: tidak otomatis! Sebab seluruh berita Alkitab tersebut membutuhkan respon iman dari setiap orang yang mendengarnya. Bahkan kita harus senantiasa memberi respon dalam setiap aspek kehidupan sehingga setiap momen hidup kita semakin serupa dengan Kristus.
Dengan demikian respon iman kita terhadap berita yang disampaikan oleh Alkitab haruslah senantiasa bersifat dinamis dan eksistensial. Jadi tidaklah cukup bagi kita untuk mengaku percaya kepada Kristus di suatu momen, tetapi kemudian kita lengah dan kehilangan iman di momen yang lain. Bukankah kita sering bersikap lengah dan kehilangan iman di berbagai momen kehidupan kita? Bahkan tidak jarang terjadi beberapa orang anggota jemaat sampai akhir hidupnya lebih memilih untuk meninggalkan Kristus. Betapa mudahnya bagi kita tertutup oleh selubung ketidakpercayaan kepada Kristus, sehingga kita tidak mampu melihat lagi kuasa dan kemuliaanNya sebagai Anak Allah. Di II Kor. 4:3-4 rasul Paulus berkata: “Jika Injil yang kami beritakan masih tertutup juga, maka ia tertutup untuk mereka, yang akan binasa, yaitu orang-orang yang tidak percaya, yang pikirannya telah dibutakan oleh ilah zaman ini, sehingga mereka tidak melihat cahaya Injil tentang kemuliaan Kristus, yang adalah gambaran Allah”.
Beberapa orang menafsirkan ucapan rasul Paulus tersebut untuk menunjuk orang-orang yang tidak percaya dan menolak Kristus selaku Tuhan dan Juru-selamatnya. Tentunya tafsiran tersebut tidaklah terlalu keliru. Sebab surat rasul Paulus kepada jemaat Korintus tersebut dilatar-belakangi oleh pengalamannya saat dia memberitakan Injil di Troas dan di Makedonia (II Kor. 2:12-13) yang mana sebagian orang mau menerima berita yang disampaikan, dan sebagian lain menolaknya (II Kor. 2:15-16). Tetapi selubung yang menutupi mata rohani sebenarnya tidak hanya terbatas kepada orang-orang yang tidak percaya kepada Kristus, tetapi juga dapat menutupi mata rohani dari orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai umat Allah yaitu kepada mereka yang pikirannya telah dibutakan oleh ilah zaman ini.
Bukankah dalam kehidupan sehari-hari, pikiran kita lebih banyak dibutakan oleh ilah zaman ini seperti: pola berpikir konsumerisme, sikap hidup yang hedonis (mencari kenikmatan dalam berbagai bentuk), kecenderungan yang egoistis, perasaan diri yang superior terhadap orang lain, upaya mengeksploitasi orang lain, secara sengaja mengembangkan sikap tamak, berlaku kejam dan sewenang-wenang kepada sesama. Dalam hal ini makna memiliki pikiran Kristus sering hanya diartikan manakala kita memiliki pikiran “dogmatis” tentang Kristus, tetapi kita sangat miskin memiliki pola mental yang etis sebagaimana yang telah dipancarkan oleh Kristus dalam seluruh kehidupanNya. Itu sebabnya kita sering gagal untuk mempraktekkan makna “Imitatio Christi”. Hidup kita tidak pernah mampu berubah secara kualitatif karena kita menolak untuk diubahkan oleh Kristus. Karena hati kita telah berpaling dan terbelenggu oleh kuasa ilah zaman ini, maka kehidupan kita memancarkan gambar dan rupa dari kuasa dunia walaupun secara dogmatis kita memiliki pengetahuan yang cukup kaya dan luas tentang Kristus.
Selubung yang menutupi mata rohani kita sering begitu lekat dan menyatu dengan kepribadian kita, sehingga kita sering tidak mampu bersikap obyektif dan kritis terhadap diri sendiri. Itu sebabnya yang kita kembangkan adalah mekanisme mempertahankan diri sendiri (defence of mechanism), bukan: sikap koreksi diri (self-correction). Sehingga ketika Kristus berkenan membuka selubung yang telah terkristalisasi dalam kepribadian kita, maka kepribadian kita akan dioperasi olehNya yang memungkinkan kita memperoleh pencerahan iman untuk melihat kemuliaan Kristus. Jika demikian apakah kita bersedia diterangi oleh cahaya Kristus dan memperkenankan Dia untuk membuka seluruh selubung yang menutupi mata rohani kita?
Kesetiaan Yang Berbuahkan Berkat
Saat nabi Elia akan diangkat ke sorga disebutkan dia senantiasa didampingi oleh nabi Elisa. Setiap nabi Elia menyuruh Elisa tetap tinggal di suatu tempat dan tidak mengikuti dia seperti di Betel, Yerikho dan Yordan ternyata Elisa lebih memilih mengikuti nabi Elia dan tidak mau meninggalkan dia sedikitpun juga. Sikap nabi Elisa tersebut mencerminkan kesetiaan seorang murid yang tetap ingin di samping gurunya, sehingga dia berkata: "Demi TUHAN yang hidup dan demi hidupmu sendiri, sesungguhnya aku tidak akan meninggalkan engkau" (II Raj. 2:2, 4, 6). Inilah kelebihan dari sikap nabi Elisa, yaitu kesetiaan dan kasih yang begitu tinggi kepada nabi Elia, gurunya. Karena itu tidaklah mengherankan ketika nabi Elia mengajukan pertanyaan kepada nabi Elisa, yaitu: "Mintalah apa yang hendak kulakukan kepadamu, sebelum aku terangkat dari padamu" (II Raj. 2:9), nabi Elisa tidak mau meminta apapun juga selain: “Biarlah kiranya aku mendapat dua bagian dari rohmu”. Nabi Elisa hanya mengharapkan kekuatan roh yang telah dianugerahkan Allah kepada Elia agar dia dapat menenuaikan tugasnya sebagai nabi Allah. Permintaan nabi Elisa tersebut sebenarnya merupakan pemenuhan dari perintah Allah kepada nabi Elia (I Raj. 19:16). Allah telah menunjukkan kepada nabi Elia seorang calon penggantinya yang baik dan setia, sehingga ketika nabi Elia diangkat ke sorga, Allah berkenan membuka mata Elisa untuk menyaksikannya. Itu sebabnya nabi Elisa diperkenankan untuk memperoleh kekuatan dan wibawa kenabian dari nabi Elia (bdk. II Raj. 2:10-13). Sehingga dalam seluruh karya nabi Elisa kita dapat melihat betapa besar kuasa Allah dinyatakan sebagaimana Allah pernah menyertai dan memberkati nabi Elia. Demikian pula nabi Elisa diperlengkapi oleh Allah dengan berbagai kuasa mukjizat untuk menyelamatkan banyak orang yang menderita.
Apabila kesetiaan nabi Elisa dinyatakan agar dia dapat diperlengkapi dengan kuasa Allah, tidaklah demikian sikap Petrus pada saat dia menyaksikan peristiwa transfigurasi Kristus. Petrus berkata kepada Tuhan Yesus agar dia diperkenankan mendirikan 3 kemah yaitu untuk Tuhan Yesus, nabi Musa dan nabi Elia, demikian: "Rabi, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia” (Mark. 9:5). Petrus ingin tetap bersama dengan Kristus, nabi Musa dan Elia di atas gunung itu. Sepertinya Petrus tidak ingin turun dari gunung untuk mendampingi Kristus dalam menenuaikan tugasNya yang utama yaitu menderita dan disalibkan. Kesetiaan yang dipraktekkan oleh Petrus adalah kesetiaan yang pasif dan tetap berada dalam zona aman. Tetapi ketika dia menghadapi tekanan yang dianggap mengganggu rasa amannya, Petrus segera berubah menjadi orang yang tidak segan menyangkal Tuhan Yesus di hadapan orang banyak. Bukankah sikap kesetiaan kita kepada Tuhan Yesus seperti Petrus? Kita akan tetap setia kepada Kristus selama kita masih berada di zona aman, tetapi saat kita diperhadapkan oleh sesuatu yang sulit dan berbahaya maka kita segera berubah menjadi orang-orang yang menyangkalNya. Untuk itu kita perlu meneladani sikap nabi Elisa yang sedikitpun tidak mau meninggalkan nabi Elia sampai pada akhirnya. Sehingga ketika nabi Elia telah pergi dan diangkat ke sorga, nabi Elisa tetap melanjutkan tugas pelayanan nabi Elia dengan setia. Cahaya kemuliaan yang dipancarkan oleh Allah dalam peristiwa nabi Elia diangkat ke sorga tetap terpancar dalam seluruh pelayanan nabi Elisa.
Panggilan
Cahaya kemuliaan Kristus yang disaksikan oleh Alkitab dan pemberitaan firman, bahkan juga dalam berbagai peristiwa hidup sehari-hari seharusnya makin memproses diri kita untuk semakin serupa dengan Dia. Selaku umat percaya yang sedang merayakan HUT Sinode GKJ yang ke-81, kita terpanggil senantiasa terbuka untuk “dioperasi” oleh Allah sehingga seluruh selubung yang menutupi mata rohani kita disingkapkan. Penyingkapan seluruh selubung kita akan bekerja semakin efektif, manakala kita mau meresponnya dengan sikap iman yang setia kepada Kristus. Merespon dengan cara: tetap yakin pada Kristus, setia dalam situasi apapun kepada Kristus, dan melayani Kristus dalam wujud apapun. Dengan demikian mata rohaniah kita tidak lagi dibutakan oleh ilah-ilah zaman ini, tetapi diterangi oleh cahaya kemuliaan Kristus sehingga hidup kita senantiasa dapat memancarkan kemuliaanNya. Amin.
Pengantar
Hampir setiap orang takjub dengan keindahan kupu-kupu saat dia terbang dengan sayapnya yang elok. Tetapi kita akan lebih takjub lagi saat kita memperhatikan proses terjadinya “metamorphose” (perubahan bentuk) seekor kupu-kupu. Pertama-tama kupu akan bertelur, kemudian telur yang menempel di suatu daun akan berubah menjadi ulat. Setelah itu ulat menjadi besar dan memanjang. Ulat tersebut kemudian berubah menjadi kepompong. Setelah beberapa lama, dari kepompong tersebut akan keluar seekor kupu-kupu yang sangat indah.
Transfigurasi
Kita tidak pernah menduga dari ulat yang umumnya sangat menjijikkan bagi sebagian besar wanita dan kepompong yang buruk bentuknya suatu kelak akan berubah menjadi seekor kupu-kupu yang cantik. Sangat menarik, bahwa istilah “transfigurasi” sebenarnya berasal dari istilah “metamorfosa” yang di dalam teks Alkitab Yunani disebut dengan “metemorphethe” atau “metamorpheo”. Istilah “metemorphete” atau “transfigurasi” disaksikan oleh Alkitab dan dikenakan pada diri Yesus. Di Mark. 9:2 disebutkan bahwa Yesus mengajak ketiga muridNya yaitu Petrus, Yakobus dan Yohanes di sebuah gunung yang tinggi, yaitu: “Lalu Yesus berubah rupa di depan mata mereka, dan pakaianNya sangat putih berkilat-kilat. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang dapat mengelantang pakaian seperti itu” (Mark. 9:2b-3). Dalam peristiwa transfigurasi tersebut tubuh fisik Yesus berubah secara menyeluruh. Tubuh manusiawiNya memancarkan cahaya kemuliaan Allah. Lebih dari pada itu Dia berubah rupa secara rohaniah.
Tidak semua murid diajak oleh Yesus untuk melihat kemuliaanNya sebagai Anak Allah. Sebab yang diajak oleh Yesus naik ke suatu gunung yang tinggi hanyalah Petrus, Yohanes dan Yakobus. Mereka adalah orang-orang yang termasuk “lingkaran dalam” dari para murid Yesus yang berjumlah 12 orang. Melalui peristiwa transfigurasi tersebut Yesus memperkenalkan jati-diriNya sebagai Anak Allah yang mulia sehingga seluruh tubuhNya diselubungi oleh cahaya sorgawi. Lebih tepat tubuh manusiawiNya saat peristiwa transfigurasi berubah menjadi tubuh sorgawi. Petrus, Yohanes dan Yakobus juga melihat kehadiran Musa dan Elia saat Kristus berubah rupa dalam kemuliaanNya. Bukankah Musa dan Elia adalah para nabi yang sangat terkemuka dalam kisah di Perjanjian Lama? Ini dikarenakan:
- Musa adalah satu-satunya nabi yang diperkenankan oleh Allah untuk berbicara muka dengan muka dengan Allah (Kel. 33:11), sehingga wajahnya bercahaya (Kel. 34:29). Akibatnya orang-orang Israel tidak dapat tahan saat mereka berhadapan dengan Musa, sehingga mereka meminta agar Musa menyelubungi mukanya (Kel. 34:35).
- Nabi Elia adalah nabi yang diperkenankan oleh Allah untuk menurunkan api dari langit (I Raj. 18:36-38). Lebih dari pada itu nabi Elia adalah salah satu nabi yang tidak mengalami kematian secara fisik, tetapi bersama dengan tubuhnya dia diangkat ke sorga (II Raj. 2:11-12) sebagaimana yang pernah dialami oleh Henokh (Kej. 5:24). Dengan peristiwa pengangkatan Elia ke sorga bersama dengan tubuhnya, Allah telah mempermuliakan Elia dengan caraNya yang sangat khusus.
Ini berarti dalam peristiwa transfigurasi Yesus di atas gunung, ke-Messias-anNya sebagai Anak Allah telah diteguhkan secara sah oleh kehadiran Musa dan Elia. Bukankah hukum Taurat menyatakan bahwa suatu perkara tidak akan disangsikan jikalau telah didukung oleh 2 orang saksi? (Ul. 19:15). Bahkan melalui transfigurasi kita diingatkan bahwa Musa yang dikuburkan secara rahasia oleh Allah, dan Elia yang diangkat ke sorga oleh Allah mau menyatakan bahwa realitas bumi dan langit telah disatukan dalam inkarnasi dan pelayanan Kristus.
Kehadiran Musa dan Elia dalam peristiwa transfigurasi Yesus bukanlah sekedar suatu peristiwa penampakan dari roh mereka saat Yesus menyatakan kemuliaanNya, tetapi juga Musa dan Elia hadir untuk mempercakapkan sesuatu yang sangat penting dengan Yesus. Injil Markus dan Injil Matius tidak menjelaskan isi percakapan Yesus dengan Musa dan Elia. Tetapi Injil Lukas memberi penjelasan yaitu: “berbicara tentang tujuan kepergianNya yang akan digenapiNya di Yerusalem” (Luk. 9:31). Namun satu hal yang pasti Injil Matius dan Injil Markus menyatakan bahwa Yesus mengingatkan para murid dengan sungguh-sungguh agar mereka tidak menyampaikan kepada siapapun sebelum Dia dibangkitkan dari antara orang mati (Mat. 17:9; Mark. 9:9).
Dalam peristiwa transfigurasiNya Yesus melalui Injil Markus hendak menyatakan kepada kita bahwa tubuh kebangkitanNya kelak identik dengan tubuh kemuliaanNya sebagaimana dilihat oleh Petrus, Yohanes dan Yakobus. Ini berarti sebenarnya misteri tubuh kebangkitan Kristus telah disingkapkan dalam peristiwa transfigurasiNya. Karena itu Allah dalam peristiwa transfigurasi Yesus juga menyatakan: "Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia" (Mark. 9:7). Allah bukan hanya menyatakan bahwa Yesus adalah Anak Allah, tetapi kita juga dipanggil untuk sungguh-sungguh mau mendengarkan perkataanNya. Kita dipanggil untuk tidak meragukan keabsahan Yesus sebagai Messias dan Anak Allah yang mulia. Dasar iman yang demikian akan mempersekutukan diri kita dengan diri Yesus. Persekutuan kita dengan Kristus tersebut juga akan menjadikan kehidupan kita semakin serupa dengan Dia. Sehingga kita bukan sekedar kagum dan terpesona dengan cahaya kemuliaan Kristus, tetapi lebih dari pada itu dalam persekutuan dengan Kristus kita makin dimampukan untuk memancarkan cahaya kemuliaan Kristus dalam kehidupan sehari-hari.
Selubung Bagi Mereka Yang Akan Binasa
Dalam kehidupan sehari-hari tentunya kita tidak akan pernah melihat peristiwa transfigurasi Kristus sebagaimana yang disaksikan oleh Petrus, Yohanes dan Yakobus. Tetapi kita dimungkinkan untuk melihat kemuliaan Kristus melalui berita Alkitab. Kita bersyukur saat ini berita Alkitab makin tersebar melalui berbagai macam cara, misalnya: melalui pencetakan dan penerbitan, melalui internet, televisi, radio, khotbah dan berbagai pemberitaan firman. Tetapi apakah berbagai media tersebut secara otomatis dapat membuka mata rohani banyak orang untuk serupa dengan Kristus? Tentunya jawabannya adalah: tidak otomatis! Sebab seluruh berita Alkitab tersebut membutuhkan respon iman dari setiap orang yang mendengarnya. Bahkan kita harus senantiasa memberi respon dalam setiap aspek kehidupan sehingga setiap momen hidup kita semakin serupa dengan Kristus.
Dengan demikian respon iman kita terhadap berita yang disampaikan oleh Alkitab haruslah senantiasa bersifat dinamis dan eksistensial. Jadi tidaklah cukup bagi kita untuk mengaku percaya kepada Kristus di suatu momen, tetapi kemudian kita lengah dan kehilangan iman di momen yang lain. Bukankah kita sering bersikap lengah dan kehilangan iman di berbagai momen kehidupan kita? Bahkan tidak jarang terjadi beberapa orang anggota jemaat sampai akhir hidupnya lebih memilih untuk meninggalkan Kristus. Betapa mudahnya bagi kita tertutup oleh selubung ketidakpercayaan kepada Kristus, sehingga kita tidak mampu melihat lagi kuasa dan kemuliaanNya sebagai Anak Allah. Di II Kor. 4:3-4 rasul Paulus berkata: “Jika Injil yang kami beritakan masih tertutup juga, maka ia tertutup untuk mereka, yang akan binasa, yaitu orang-orang yang tidak percaya, yang pikirannya telah dibutakan oleh ilah zaman ini, sehingga mereka tidak melihat cahaya Injil tentang kemuliaan Kristus, yang adalah gambaran Allah”.
Beberapa orang menafsirkan ucapan rasul Paulus tersebut untuk menunjuk orang-orang yang tidak percaya dan menolak Kristus selaku Tuhan dan Juru-selamatnya. Tentunya tafsiran tersebut tidaklah terlalu keliru. Sebab surat rasul Paulus kepada jemaat Korintus tersebut dilatar-belakangi oleh pengalamannya saat dia memberitakan Injil di Troas dan di Makedonia (II Kor. 2:12-13) yang mana sebagian orang mau menerima berita yang disampaikan, dan sebagian lain menolaknya (II Kor. 2:15-16). Tetapi selubung yang menutupi mata rohani sebenarnya tidak hanya terbatas kepada orang-orang yang tidak percaya kepada Kristus, tetapi juga dapat menutupi mata rohani dari orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai umat Allah yaitu kepada mereka yang pikirannya telah dibutakan oleh ilah zaman ini.
Bukankah dalam kehidupan sehari-hari, pikiran kita lebih banyak dibutakan oleh ilah zaman ini seperti: pola berpikir konsumerisme, sikap hidup yang hedonis (mencari kenikmatan dalam berbagai bentuk), kecenderungan yang egoistis, perasaan diri yang superior terhadap orang lain, upaya mengeksploitasi orang lain, secara sengaja mengembangkan sikap tamak, berlaku kejam dan sewenang-wenang kepada sesama. Dalam hal ini makna memiliki pikiran Kristus sering hanya diartikan manakala kita memiliki pikiran “dogmatis” tentang Kristus, tetapi kita sangat miskin memiliki pola mental yang etis sebagaimana yang telah dipancarkan oleh Kristus dalam seluruh kehidupanNya. Itu sebabnya kita sering gagal untuk mempraktekkan makna “Imitatio Christi”. Hidup kita tidak pernah mampu berubah secara kualitatif karena kita menolak untuk diubahkan oleh Kristus. Karena hati kita telah berpaling dan terbelenggu oleh kuasa ilah zaman ini, maka kehidupan kita memancarkan gambar dan rupa dari kuasa dunia walaupun secara dogmatis kita memiliki pengetahuan yang cukup kaya dan luas tentang Kristus.
Selubung yang menutupi mata rohani kita sering begitu lekat dan menyatu dengan kepribadian kita, sehingga kita sering tidak mampu bersikap obyektif dan kritis terhadap diri sendiri. Itu sebabnya yang kita kembangkan adalah mekanisme mempertahankan diri sendiri (defence of mechanism), bukan: sikap koreksi diri (self-correction). Sehingga ketika Kristus berkenan membuka selubung yang telah terkristalisasi dalam kepribadian kita, maka kepribadian kita akan dioperasi olehNya yang memungkinkan kita memperoleh pencerahan iman untuk melihat kemuliaan Kristus. Jika demikian apakah kita bersedia diterangi oleh cahaya Kristus dan memperkenankan Dia untuk membuka seluruh selubung yang menutupi mata rohani kita?
Kesetiaan Yang Berbuahkan Berkat
Saat nabi Elia akan diangkat ke sorga disebutkan dia senantiasa didampingi oleh nabi Elisa. Setiap nabi Elia menyuruh Elisa tetap tinggal di suatu tempat dan tidak mengikuti dia seperti di Betel, Yerikho dan Yordan ternyata Elisa lebih memilih mengikuti nabi Elia dan tidak mau meninggalkan dia sedikitpun juga. Sikap nabi Elisa tersebut mencerminkan kesetiaan seorang murid yang tetap ingin di samping gurunya, sehingga dia berkata: "Demi TUHAN yang hidup dan demi hidupmu sendiri, sesungguhnya aku tidak akan meninggalkan engkau" (II Raj. 2:2, 4, 6). Inilah kelebihan dari sikap nabi Elisa, yaitu kesetiaan dan kasih yang begitu tinggi kepada nabi Elia, gurunya. Karena itu tidaklah mengherankan ketika nabi Elia mengajukan pertanyaan kepada nabi Elisa, yaitu: "Mintalah apa yang hendak kulakukan kepadamu, sebelum aku terangkat dari padamu" (II Raj. 2:9), nabi Elisa tidak mau meminta apapun juga selain: “Biarlah kiranya aku mendapat dua bagian dari rohmu”. Nabi Elisa hanya mengharapkan kekuatan roh yang telah dianugerahkan Allah kepada Elia agar dia dapat menenuaikan tugasnya sebagai nabi Allah. Permintaan nabi Elisa tersebut sebenarnya merupakan pemenuhan dari perintah Allah kepada nabi Elia (I Raj. 19:16). Allah telah menunjukkan kepada nabi Elia seorang calon penggantinya yang baik dan setia, sehingga ketika nabi Elia diangkat ke sorga, Allah berkenan membuka mata Elisa untuk menyaksikannya. Itu sebabnya nabi Elisa diperkenankan untuk memperoleh kekuatan dan wibawa kenabian dari nabi Elia (bdk. II Raj. 2:10-13). Sehingga dalam seluruh karya nabi Elisa kita dapat melihat betapa besar kuasa Allah dinyatakan sebagaimana Allah pernah menyertai dan memberkati nabi Elia. Demikian pula nabi Elisa diperlengkapi oleh Allah dengan berbagai kuasa mukjizat untuk menyelamatkan banyak orang yang menderita.
Apabila kesetiaan nabi Elisa dinyatakan agar dia dapat diperlengkapi dengan kuasa Allah, tidaklah demikian sikap Petrus pada saat dia menyaksikan peristiwa transfigurasi Kristus. Petrus berkata kepada Tuhan Yesus agar dia diperkenankan mendirikan 3 kemah yaitu untuk Tuhan Yesus, nabi Musa dan nabi Elia, demikian: "Rabi, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia” (Mark. 9:5). Petrus ingin tetap bersama dengan Kristus, nabi Musa dan Elia di atas gunung itu. Sepertinya Petrus tidak ingin turun dari gunung untuk mendampingi Kristus dalam menenuaikan tugasNya yang utama yaitu menderita dan disalibkan. Kesetiaan yang dipraktekkan oleh Petrus adalah kesetiaan yang pasif dan tetap berada dalam zona aman. Tetapi ketika dia menghadapi tekanan yang dianggap mengganggu rasa amannya, Petrus segera berubah menjadi orang yang tidak segan menyangkal Tuhan Yesus di hadapan orang banyak. Bukankah sikap kesetiaan kita kepada Tuhan Yesus seperti Petrus? Kita akan tetap setia kepada Kristus selama kita masih berada di zona aman, tetapi saat kita diperhadapkan oleh sesuatu yang sulit dan berbahaya maka kita segera berubah menjadi orang-orang yang menyangkalNya. Untuk itu kita perlu meneladani sikap nabi Elisa yang sedikitpun tidak mau meninggalkan nabi Elia sampai pada akhirnya. Sehingga ketika nabi Elia telah pergi dan diangkat ke sorga, nabi Elisa tetap melanjutkan tugas pelayanan nabi Elia dengan setia. Cahaya kemuliaan yang dipancarkan oleh Allah dalam peristiwa nabi Elia diangkat ke sorga tetap terpancar dalam seluruh pelayanan nabi Elisa.
Panggilan
Cahaya kemuliaan Kristus yang disaksikan oleh Alkitab dan pemberitaan firman, bahkan juga dalam berbagai peristiwa hidup sehari-hari seharusnya makin memproses diri kita untuk semakin serupa dengan Dia. Selaku umat percaya yang sedang merayakan HUT Sinode GKJ yang ke-81, kita terpanggil senantiasa terbuka untuk “dioperasi” oleh Allah sehingga seluruh selubung yang menutupi mata rohani kita disingkapkan. Penyingkapan seluruh selubung kita akan bekerja semakin efektif, manakala kita mau meresponnya dengan sikap iman yang setia kepada Kristus. Merespon dengan cara: tetap yakin pada Kristus, setia dalam situasi apapun kepada Kristus, dan melayani Kristus dalam wujud apapun. Dengan demikian mata rohaniah kita tidak lagi dibutakan oleh ilah-ilah zaman ini, tetapi diterangi oleh cahaya kemuliaan Kristus sehingga hidup kita senantiasa dapat memancarkan kemuliaanNya. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar