Yesaya 40:21-31, Mazmur 147:1-11, 20c; 1 Korintus 9:16-23; Markus 1:29-39
Pengantar
Apakah yang akan kita lakukan setelah kita mengalami
pertolongan dari Tuhan sehingga terbebas dari penderitaan atau masalah yang begitu berat? Respon kita dapat beragam, misalkan: bersyukur, sukacita, lega, bahagia dan terbuka harapan serta masa depan yang baru. Namun semua perasaan tersebut barulah merupakan awal dari proses kehidupan. Sebab karya keselamatan Allah yang telah kita alami, seharusnya mendorong kita mengalami perubahan hidup.
Pertolongan Allah yang telah kita alami seharusnya mengubah kita. Berita inilah yang disampaikan oleh Yes. 40 kepada umat Israel saat akhir masa pembuangan di Babel. Nabi Yesaya mengajak umat Israel untuk melihat pengalaman masa pembuangan yang begitu lama di Babel sebagai bentuk hukuman Allah atas dosa mereka. Jika sebentar lagi mereka akan bebas dari Babel itu bukan karena hasil usaha manusia. Kelepasan mereka dari Babel bukan karena mereka memiliki kemampuan diplomasi dengan para pejabat Babel. Juga bukan karena pertolongan dari raja Koresy dari Persia yang berhasil mengalahkan Babel pada tahun 536 sM. Tetapi pembebasan mereka dari Babel karena karya keselamatan dan kasih karunia dari Allah. Tepatnya Allah berkenan memakai raja Koresy untuk menjadi alat pembebas dari kekuasaan raja Nebukadnezar sebab Allah telah mengampuni dosa-dosa mereka. Di Yes. 40:1-2, firman Tuhan: “Hiburkanlah, hiburkanlah umat-Ku, demikian firman Allahmu, tenangkanlah hati Yerusalem dan serukanlah kepadanya, bahwa perhambaannya sudah berakhir, bahwa kesalahannya telah diampuni, sebab ia telah menerima hukuman dari tangan TUHAN dua kali lipat karena segala dosanya”. Dasar yang utama dari pembebasan dari Babel adalah karena Allah telah berkenan mengampuni dosa mereka. Pembebasan dan keselamatan mereka semata-mata karena kasih-karunia Allah.
Motivasi perubahan karena bersyukur, tentu sangat berbeda dengan sekedar sebagai kewajiban. Sebab tugas pelayanan yang dilakukan karena sekedar suatu kewajiban akan dianggap sebagai beban. Tugas tersebut tidak akan dilakukan dengan sepenuh hati. Karena itu mereka yang menghayati tugas pelayanan sebagai suatu beban tidak akan pernah mampu bersukacita, mudah menyerah ketika menghadapi kesulitan dan tantangan, serta tidak akan memiliki ide-ide yang kreatif untuk mengembangkan tugas pelayanan. Bukankah begitu banyak di antara kita yang menghayati tugas pelayanan hanya dihayati sebagai suatu kewajiban saja? Dengan sikap mental yang demikian tidak mengherankan jikalau kita sering tidak tahan uji, mudah menyerah dan kehilangan semangat ketika kita menghadapi kesulitan, hambatan dan penolakan.
Penyebab utama dari sikap kita yang mudah menyerah dan kehilangan semangat bukan karena munculnya begitu banyak kesulitan, hambatan dan penolakan saat kita melayani pekerjaan Tuhan; tetapi karena motivasi kita tidak didasari oleh rasa bersyukur atas kasih-karunia Allah yang menyelamatkan kita. Itulah sebabnya, kita harus bertanya lebih dulu, ““Siapakah aku di tengah-tengah alam semesta ini?”
Arahkanlah Matamu Ke Langit
Di Yes. 40:25-26, Allah mengajak umatNya untuk melihat keagungan dan kemuliaanNya yang terpancar di alam semesta ini. Firman Tuhan: “Dengan siapa hendak kamu samakan Aku, seakan-akan Aku seperti dia? firman Yang Mahakudus. Arahkanlah matamu ke langit dan lihatlah: siapa yang menciptakan semua bintang itu dan menyuruh segenap tentara mereka keluar, sambil memanggil nama mereka sekaliannya? Satupun tiada yang tak hadir, oleh sebab Ia maha kuasa dan maha kuat”. Dari penelitian teknologi telekomunikasi pada masa kini kita makin disadarkan akan keluasan jagad raya yang telah diciptakan oleh Allah. Ternyata dalam alam semesta ini terdapat sekitar tiga triliun bintang dalam galaksi yang terbesar. Pada umumnya setiap galaksi berisi 200 hingga 300 milyar bintang, sementara galaksi kecil memiliki 100 milyar bintang. Sedangkan jumlah galaksi di alam semesta sekitar 300 milyar.
Dengan jumlah galaksi yang sedemikian banyak sehingga sangat sulit untuk dihitung dengan alat kalkulator, maka kita dapat melihat bahwa planet bumi sebenarnya hanya seukuran 1 titik maha kecil dalam alam semesta ini. Kalau demikian seberapa besar ukuran manusia? Jangan terkejut kalau kita hanya berukuran lebih kecil dari “mikro-organisme” seperti: virus dan bakteri yang hanya dapat dilihat oleh mikroskop elektkron. Karena itu ketika diri kita merasa hebat dan besar, maka “arahkanlah matamu ke langit”. Ketika kita merasa enggan melayani Allah yang adalah pemilik dan penguasa alam semesta, lihatlah ke langit! Kesadaran akan posisi diri kita di alam semesta sangat diperlukan karena kehadiran kita di dunia ini sesungguhnya bukanlah suatu peristiwa yang kebetulan. Allah telah merencanakan kehidupan dan kehadiran kita agar kita mempermuliakan namaNya dengan bersedia menjadi hambaNya.
Walau dari sudut ukuran kita sama sekali tidak berarti, tetapi sangat ajaib Allah berkenan memandang kita begitu berarti bagiNya. Firman Tuhan: “Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau” (Yes. 43:4a). Tetapi pengalaman hidup sehari-hari justru kita sering merasa Allah tidak peduli dengan diri kita, sebab kita terus-menerus didera oleh berbagai macam persoalan dan penderitaan. Demikian pula sikap umat Israel yang merasa Allah tidak peduli dan membiarkan mereka dihancurkan oleh kerajaan Babel dan dibuang di Babel selama 50 tahun lebih. Di Yes. 40:27, mereka mengungkapkan kekesalannya kepada Tuhan: Mengapakah engkau berkata demikian, hai Yakub, dan berkata begini, hai Israel: "Hidupku tersembunyi dari TUHAN, dan hakku tidak diperhatikan Allahku?" Mereka melupakan satu kenyataan, yaitu dosa dan pemberontakan mereka melawan Allah yang menyebabkan Allah kemudian menyerahkan mereka kepada kerajaan Babel.
Walaupun demikian Allah tetap menyayangi mereka dengan kasih yang tidak pernah putus-putusnya. Anugerah Allah senantiasa menopang mereka sehingga Dia terus-menerus memberi kekuatan dan semangat baru bagi umat yang kehilangan harapan. Allah yang perkasa dan maha-kuasa ternyata sangat peduli dengan umat yang hidupnya seperti rumput (Yes. 40:6). Dengan keadaan umat yang berkeluh-kesah dan merasa haknya tidak diperhatikan oleh Allah, maka Allah kemudian berfirman: “Tidakkah kautahu, dan tidakkah kaudengar? TUHAN ialah Allah kekal yang menciptakan bumi dari ujung ke ujung; Ia tidak menjadi lelah dan tidak menjadi lesu, tidak terduga pengertian-Nya. Dia memberi kekuatan kepada yang lelah dan menambah semangat kepada yang tiada berdaya” (Yes. 40:28-29). Kasih Allah sungguh tanpa syarat dan terus-bekerja melampaui kelemahan serta keberdosaan kita. Sehingga Dia terus berkenan menopang keberlangsungan alam semesta dan kehidupan kita di planet bumi ini.
Padahal menurut perhitungan, seandainya planet bumi ini hancur dan lenyap, tidak akan menimbulkan sesuatu yang berarti bagi tatanan galaksi di alam semesta. Jagad raya ini terlalu luas dan sangat kompleks tidak terbatas, sehingga kehilangan satu planet bernama bumi termasuk umat manusia sebenarnya bukan hal yang luar-biasa. Tetapi kasih Allah yang sungguh luar-biasa. Allah yang adalah sang Pencipta dan Pemelihara alam semesta berkenan “mengabdikan” diriNya untuk memelihara dan menyelamatkan manusia. Dengan pemahaman teologis ini, nabi Yesaya memberikan orientasi dan pemaknaan hidup yang baru terhadap umat Israel agar mereka sungguh-sungguh mempermuliakan nama Allah, berjumpa dengan-Nya dan terjadi perubahan hidup dalam diri manusia sebagai hambaNya yang setia. Sehingga dalam keadaan yang sangat sulit dan penuh derita mereka tidak akan pernah tergoda untuk mengabdikan dirinya atau menyembah kepada “ilah lain” seperti dewa Marduk yang sangat dipuja oleh penduduk kerajaan Babel. Allah menantang umatNya: “Dengan siapa hendak kamu samakan Aku, seakan-akan Aku seperti dia? firman Yang Mahakudus” (Yes. 40:25).
Menjadi Hamba Bagi Semua Orang
Umat yang menyadari makna pelayanan kepada Allah sebagai suatu kehormatan akan bersedia menjadi pembawa kabar baik bagi sesamanya (bdk. Yes. 40:9). Mereka akan dengan sukacita menjadi seorang abdi Allah untuk senantiasa memberitakan pekerjaan Allah yang sungguh ajaib dan menyelamatkan kehidupan setiap umatNya (Mzm. 147:3-6). Apalagi mereka kemudian mengenal karya keselamatan Allah di dalam Yesus Kristus. Maka pastilah mereka akan mencurahkan seluruh waktu, tenaga, pikiran, dan hidup mereka untuk memberitakan karya keselamatan Allah yang agung itu.
Alasan inilah yang mendasari rasul Paulus untuk memberitakan Injil. Bagi rasul Paulus tugas memberitakan Injil pada dasarnya suatu kehormatan dan kemuliaan yang telah dipercayakan oleh Allah kepadanya. Sehingga dia melakukan tugas pemberitaan Injil sebagai suatu keharusan yang datang dari lubuk hatinya yang paling dalam: “Karena jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil” (I Kor. 9:16). Pengabdian diri itulah yang menyebabkan rasul Paulus tidak ingin memperoleh kehormatan dan pujian apapun selain dipercaya oleh Allah untuk memberitakan Injil Kristus.
Bahkan rasul Paulus sama sekali tidak pernah mengharapkan upah untuk kerja kerasnya dalam memberitakan Injil. Padahal kita tahu bahwa rasul Paulus telah mencurahkan seluruh tenaga, pemikiran yang sangat mendalam dan mempertaruhkan hidupnya selama dia mengabdikan diri sebagai pelayan Kristus. Tetapi sama sekali haknya untuk memperoleh upah dilepaskan oleh rasul Paulus dengan penuh kerelaan. Sebab bagi rasul Paulus makna upah yang paling mulia dalam kehidupan ini adalah: “Upahku ialah ini: bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah, dan bahwa aku tidak mempergunakan hakku sebagai pemberita Injil” (I Kor. 9:18).
Selaku abdi Kristus, selain rasul Paulus tidak pernah menuntut upah, dia juga ingin menjadikan dirinya sangat efektif untuk membawa sesama bagi Kristus. Itu sebabnya secara sadar dan sukarela rasul Paulus mau menjadikan dirinya hamba bagi semua orang supaya dia dapat memenangkan sebanyak mungkin orang (I Kor. 9:19). Tepatnya dalam tugasnya untuk memberitakan Injil, rasul Paulus berupaya untuk senantiasa berempati dan menyatu dengan sesama sehingga dia dapat membawa mereka berubah dan percaya kepada Kristus. Itu sebabnya rasul Paulus berkata: “Bagi orang-orang yang lemah aku menjadi seperti orang yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah. Bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka” ( I Kor. 9:22). Dengan demikian, saat melayani bagi rasul Paulus bukan masalah mendapatkan upah atau materi; tetapi lebih dari pada itu ia bersedia menjadi hamba bagi semua orang agar mereka memperoleh keselamatan di dalam Yesus Kristus.
Jadi makna pengabdian sejati tidak pernah menuntut tetapi selalu bersedia melepaskan apa yang menjadi haknya secara sukarela, dan juga bersedia melepaskan kepentingan diri sehingga dia melayani setiap sesamanya dengan segenap hati. Lantas, bagaimanakah kita sebagai abdi Allah dalam pelayanan? Jujur, kita lebih sering banyak menuntut kepada Allah dan sesama, yaitu menuntut memperoleh upah “materi” dan “rohaniah”? Tuntutan upah secara “materi” adalah ketika kita mengharapkan untuk memperoleh penghargaan berupa uang bagi pelayanan yang kita lakukan. Sedang tuntutan upah secara rohaniah adalah saat kita mengharap pujian dari sesama sehingga kita bersikap alergi terhadap semua kritik atau celaan. Padahal jika ini terjadi, kita belum menjadi hamba bagi semua orang. Lebih tepat kita sering menjadikan sesama yang kita layani sebagai hamba untuk kepentingan diri kita.
Efisien Waktu Dan Efektivitas Tugas
Ciri khas dari kesaksian Injil Markus adalah mengisahkan pelayanan Tuhan Yesus dengan keterangan “euthus” yang artinya: “dengan segera”, “sekarang juga” (immediately). Artinya Injil Markus mau menjelaskan bahwa pelayanan Yesus ditandai oleh kesadaran akan waktu yang serba terbatas sehingga dilakukan oleh Tuhan Yesus secara efisien. Di Mark. 1:29 dimunculkan perkataan “euthus” yang tidak terlihat dalam terjemahan Alkitab terbitan LAI. Padahal seharusnya bunyi terjemahan Mark. 1:29 adalah: “Dan dengan segera sekeluarnya Yesus dari rumah ibadat itu Yesus dengan Yakobus dan Yohanes pergi ke rumah Simon dan Andreas”. Sehingga dalam Mark. 1:29-39 kita dapat menyaksikan karya penyelamatan Kristus yang beraneka-ragam hanya dalam satu hari saja! Tuhan Yesus dalam mengabdikan diriNya selaku Messias yang kudus dari Allah sungguh-sungguh efektif dalam menyatakan karya keselamatan Allah. Dia menyembuhkan ibu mertua Petrus, lalu Dia menyembuhkan semua orang yang datang dengan berbagai macam penyakit dan kerasukan setan, kemudian pagi-pagi benar saat hari masih gelap Yesus berdoa, setelah itu Yesus pergi memberitakan Injil ke kota-kota terdekat.
Semua tugas pelayanan itu diselesaikan oleh Tuhan Yesus secara efektif namun tetap efisien dalam waktu. Jadi Injil Markus mau menyaksikan Tuhan Yesus tidak memiliki waktu untuk bersenang-senang bagi diriNya sendiri. Tetapi pada sisi lain Dia juga bukan tipe orang yang mudah dikejar-kejar oleh waktu dan pekerjaan. Itu sebabnya di tengah-tengah pelayanan yang selalu dikerumuni oleh orang banyak, Tuhan Yesus tetap menyisihkan waktu yang khusus untuk berdoa kepada BapaNya. Tuhan Yesus tahu secara persis kapan Dia harus bertindak untuk menyembuhkan atau melepaskan seseorang dari kuasa setan, dan kapan Dia harus berdiam diri dan berkontemplasi. Dengan demikian, dalam mengabdikan diriNya Tuhan Yesus tidak sekedar melakukan suatu tindakan yang sifatnya “aktivisme”, tetapi semuanya ditempatkan kerangka waktu dan perencanaan Allah. Efisiensi waktu dalam pelayananNya didasarkan kepada ketaatan Dia melakukan kehendak BapaNya yang di sorga. Dengan demikian Tuhan Yesus sungguh-sungguh telah memerankan tugas pelayananNya dengan pengabdian yang sempurna kepada Allah.
Makna pengabdian diri yang seutuhnya kepada Allah terkait langsung dengan pola pengelolaan waktu secara efisien namun tetap menghasilkan pelayanan yang efektif yaitu pelayanan yang berdaya guna bagi banyak orang. Ketika pelayanan kita selalu fokus, yaitu tertuju hanya kepada kemuliaan Kristus dan kehendak Allah maka kita tidak akan mudah menyia-nyiakan waktu untuk bermanja diri dan memikirkan kepentingan diri sendiri. Namun yang kita lakukan justru karena kita sering kurang fokus untuk mengabdikan diri secara penuh.
Panggilan untuk mengabdikan diri kepada Allah di sana-sini masih disertai oleh egoisme diri, sehingga secara kuantitatif pelayanan kita memang cukup banyak tetapi sebenarnya relasi kita dengan Allah tidaklah harmonis. Kita sering mengklaim sedang melakukan pekerjaan Allah, tetapi hati kita jauh dari kasih kepada Allah. Itu sebabnya secara fisik kelihatannya kita sangat sibuk melakukan pekerjaan Tuhan, tetapi sebenarnya kita lakukan untuk melayani diri sendiri. Pelayanan sering dijadikan pelarian. Bukankah lebih terhormat kita dianggap sedang pelayanan kepada Tuhan dari pada kita dianggap tidak memiliki kegiatan apapun? Jika demikian makna pelayanan dan pengabdian diri sering dipakai untuk menyembunyikan kekurangan dan kelemahan diri. Tetapi tidaklah demikian yang dilakukan oleh Tuhan Yesus. Tugas memberitakan Injil dan karya keselamatan Allah sungguh-sungguh dijadikan oleh Tuhan Yesus sebagai misi utamaNya. Itu sebabnya Tuhan Yesus berkata: "Marilah kita pergi ke tempat lain, ke kota-kota yang berdekatan, supaya di sana juga Aku memberitakan Injil, karena untuk itu Aku telah datang" (Mark. 1:38). Atau, teladanilah mertua Petrus, setelah ia disembuhkan oleh Yesus dan berjumpa secara pribadi dengan-Nya, ia merespon anugerah Yesus dengan melayani dan mengabdi kepada Yesus.
Panggilan
Pelayanan sebagai wujud pengabdian diri perlu dilandasi oleh kesadaran iman bahwa sebenarnya diri kita begitu kecil di tengah-tengah alam semesta yang tak terbatas ini. Tetapi Allah berkenan memakai kita untuk melayaniNya. Bahkan di dalam Kristus, Allah yang tak terbatas bersedia menjadi terbatas agar Dia dapat menjangkau dan menyelamatkan kita. Karena itu sebagai orang yang diselamatkan oleh kasih dan anugerah Allah, kita dipanggil untuk rela menjadi hamba bagi semua orang agar kita dapat memenangkan hati mereka bagi kemuliaan Allah. Semua ini terjadi jika kita mengalami ‘perjumpaan dengan-Nya dan kita mau diubah oleh-Nya’.
Jika demikian, apakah kita mau berjumpa dengan Kristus secara pribadi? Bahkan mau diubah oleh-Nya? Selain itu, maukah kita menggunakan waktu yang disediakan oleh Tuhan secara efisien? Apakah pelayanan kita hanya berfokus kepada kemuliaan Kristus? Dan apabila kita sering merasa lemah dan tak berdaya, ingatlah bahwa Allah akan senantiasa menopang kita. Allah berfirman: “Tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah” (Yes. 40:31). Amin.
Pengantar
Apakah yang akan kita lakukan setelah kita mengalami
pertolongan dari Tuhan sehingga terbebas dari penderitaan atau masalah yang begitu berat? Respon kita dapat beragam, misalkan: bersyukur, sukacita, lega, bahagia dan terbuka harapan serta masa depan yang baru. Namun semua perasaan tersebut barulah merupakan awal dari proses kehidupan. Sebab karya keselamatan Allah yang telah kita alami, seharusnya mendorong kita mengalami perubahan hidup.
Pertolongan Allah yang telah kita alami seharusnya mengubah kita. Berita inilah yang disampaikan oleh Yes. 40 kepada umat Israel saat akhir masa pembuangan di Babel. Nabi Yesaya mengajak umat Israel untuk melihat pengalaman masa pembuangan yang begitu lama di Babel sebagai bentuk hukuman Allah atas dosa mereka. Jika sebentar lagi mereka akan bebas dari Babel itu bukan karena hasil usaha manusia. Kelepasan mereka dari Babel bukan karena mereka memiliki kemampuan diplomasi dengan para pejabat Babel. Juga bukan karena pertolongan dari raja Koresy dari Persia yang berhasil mengalahkan Babel pada tahun 536 sM. Tetapi pembebasan mereka dari Babel karena karya keselamatan dan kasih karunia dari Allah. Tepatnya Allah berkenan memakai raja Koresy untuk menjadi alat pembebas dari kekuasaan raja Nebukadnezar sebab Allah telah mengampuni dosa-dosa mereka. Di Yes. 40:1-2, firman Tuhan: “Hiburkanlah, hiburkanlah umat-Ku, demikian firman Allahmu, tenangkanlah hati Yerusalem dan serukanlah kepadanya, bahwa perhambaannya sudah berakhir, bahwa kesalahannya telah diampuni, sebab ia telah menerima hukuman dari tangan TUHAN dua kali lipat karena segala dosanya”. Dasar yang utama dari pembebasan dari Babel adalah karena Allah telah berkenan mengampuni dosa mereka. Pembebasan dan keselamatan mereka semata-mata karena kasih-karunia Allah.
Motivasi perubahan karena bersyukur, tentu sangat berbeda dengan sekedar sebagai kewajiban. Sebab tugas pelayanan yang dilakukan karena sekedar suatu kewajiban akan dianggap sebagai beban. Tugas tersebut tidak akan dilakukan dengan sepenuh hati. Karena itu mereka yang menghayati tugas pelayanan sebagai suatu beban tidak akan pernah mampu bersukacita, mudah menyerah ketika menghadapi kesulitan dan tantangan, serta tidak akan memiliki ide-ide yang kreatif untuk mengembangkan tugas pelayanan. Bukankah begitu banyak di antara kita yang menghayati tugas pelayanan hanya dihayati sebagai suatu kewajiban saja? Dengan sikap mental yang demikian tidak mengherankan jikalau kita sering tidak tahan uji, mudah menyerah dan kehilangan semangat ketika kita menghadapi kesulitan, hambatan dan penolakan.
Penyebab utama dari sikap kita yang mudah menyerah dan kehilangan semangat bukan karena munculnya begitu banyak kesulitan, hambatan dan penolakan saat kita melayani pekerjaan Tuhan; tetapi karena motivasi kita tidak didasari oleh rasa bersyukur atas kasih-karunia Allah yang menyelamatkan kita. Itulah sebabnya, kita harus bertanya lebih dulu, ““Siapakah aku di tengah-tengah alam semesta ini?”
Arahkanlah Matamu Ke Langit
Di Yes. 40:25-26, Allah mengajak umatNya untuk melihat keagungan dan kemuliaanNya yang terpancar di alam semesta ini. Firman Tuhan: “Dengan siapa hendak kamu samakan Aku, seakan-akan Aku seperti dia? firman Yang Mahakudus. Arahkanlah matamu ke langit dan lihatlah: siapa yang menciptakan semua bintang itu dan menyuruh segenap tentara mereka keluar, sambil memanggil nama mereka sekaliannya? Satupun tiada yang tak hadir, oleh sebab Ia maha kuasa dan maha kuat”. Dari penelitian teknologi telekomunikasi pada masa kini kita makin disadarkan akan keluasan jagad raya yang telah diciptakan oleh Allah. Ternyata dalam alam semesta ini terdapat sekitar tiga triliun bintang dalam galaksi yang terbesar. Pada umumnya setiap galaksi berisi 200 hingga 300 milyar bintang, sementara galaksi kecil memiliki 100 milyar bintang. Sedangkan jumlah galaksi di alam semesta sekitar 300 milyar.
Dengan jumlah galaksi yang sedemikian banyak sehingga sangat sulit untuk dihitung dengan alat kalkulator, maka kita dapat melihat bahwa planet bumi sebenarnya hanya seukuran 1 titik maha kecil dalam alam semesta ini. Kalau demikian seberapa besar ukuran manusia? Jangan terkejut kalau kita hanya berukuran lebih kecil dari “mikro-organisme” seperti: virus dan bakteri yang hanya dapat dilihat oleh mikroskop elektkron. Karena itu ketika diri kita merasa hebat dan besar, maka “arahkanlah matamu ke langit”. Ketika kita merasa enggan melayani Allah yang adalah pemilik dan penguasa alam semesta, lihatlah ke langit! Kesadaran akan posisi diri kita di alam semesta sangat diperlukan karena kehadiran kita di dunia ini sesungguhnya bukanlah suatu peristiwa yang kebetulan. Allah telah merencanakan kehidupan dan kehadiran kita agar kita mempermuliakan namaNya dengan bersedia menjadi hambaNya.
Walau dari sudut ukuran kita sama sekali tidak berarti, tetapi sangat ajaib Allah berkenan memandang kita begitu berarti bagiNya. Firman Tuhan: “Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau” (Yes. 43:4a). Tetapi pengalaman hidup sehari-hari justru kita sering merasa Allah tidak peduli dengan diri kita, sebab kita terus-menerus didera oleh berbagai macam persoalan dan penderitaan. Demikian pula sikap umat Israel yang merasa Allah tidak peduli dan membiarkan mereka dihancurkan oleh kerajaan Babel dan dibuang di Babel selama 50 tahun lebih. Di Yes. 40:27, mereka mengungkapkan kekesalannya kepada Tuhan: Mengapakah engkau berkata demikian, hai Yakub, dan berkata begini, hai Israel: "Hidupku tersembunyi dari TUHAN, dan hakku tidak diperhatikan Allahku?" Mereka melupakan satu kenyataan, yaitu dosa dan pemberontakan mereka melawan Allah yang menyebabkan Allah kemudian menyerahkan mereka kepada kerajaan Babel.
Walaupun demikian Allah tetap menyayangi mereka dengan kasih yang tidak pernah putus-putusnya. Anugerah Allah senantiasa menopang mereka sehingga Dia terus-menerus memberi kekuatan dan semangat baru bagi umat yang kehilangan harapan. Allah yang perkasa dan maha-kuasa ternyata sangat peduli dengan umat yang hidupnya seperti rumput (Yes. 40:6). Dengan keadaan umat yang berkeluh-kesah dan merasa haknya tidak diperhatikan oleh Allah, maka Allah kemudian berfirman: “Tidakkah kautahu, dan tidakkah kaudengar? TUHAN ialah Allah kekal yang menciptakan bumi dari ujung ke ujung; Ia tidak menjadi lelah dan tidak menjadi lesu, tidak terduga pengertian-Nya. Dia memberi kekuatan kepada yang lelah dan menambah semangat kepada yang tiada berdaya” (Yes. 40:28-29). Kasih Allah sungguh tanpa syarat dan terus-bekerja melampaui kelemahan serta keberdosaan kita. Sehingga Dia terus berkenan menopang keberlangsungan alam semesta dan kehidupan kita di planet bumi ini.
Padahal menurut perhitungan, seandainya planet bumi ini hancur dan lenyap, tidak akan menimbulkan sesuatu yang berarti bagi tatanan galaksi di alam semesta. Jagad raya ini terlalu luas dan sangat kompleks tidak terbatas, sehingga kehilangan satu planet bernama bumi termasuk umat manusia sebenarnya bukan hal yang luar-biasa. Tetapi kasih Allah yang sungguh luar-biasa. Allah yang adalah sang Pencipta dan Pemelihara alam semesta berkenan “mengabdikan” diriNya untuk memelihara dan menyelamatkan manusia. Dengan pemahaman teologis ini, nabi Yesaya memberikan orientasi dan pemaknaan hidup yang baru terhadap umat Israel agar mereka sungguh-sungguh mempermuliakan nama Allah, berjumpa dengan-Nya dan terjadi perubahan hidup dalam diri manusia sebagai hambaNya yang setia. Sehingga dalam keadaan yang sangat sulit dan penuh derita mereka tidak akan pernah tergoda untuk mengabdikan dirinya atau menyembah kepada “ilah lain” seperti dewa Marduk yang sangat dipuja oleh penduduk kerajaan Babel. Allah menantang umatNya: “Dengan siapa hendak kamu samakan Aku, seakan-akan Aku seperti dia? firman Yang Mahakudus” (Yes. 40:25).
Menjadi Hamba Bagi Semua Orang
Umat yang menyadari makna pelayanan kepada Allah sebagai suatu kehormatan akan bersedia menjadi pembawa kabar baik bagi sesamanya (bdk. Yes. 40:9). Mereka akan dengan sukacita menjadi seorang abdi Allah untuk senantiasa memberitakan pekerjaan Allah yang sungguh ajaib dan menyelamatkan kehidupan setiap umatNya (Mzm. 147:3-6). Apalagi mereka kemudian mengenal karya keselamatan Allah di dalam Yesus Kristus. Maka pastilah mereka akan mencurahkan seluruh waktu, tenaga, pikiran, dan hidup mereka untuk memberitakan karya keselamatan Allah yang agung itu.
Alasan inilah yang mendasari rasul Paulus untuk memberitakan Injil. Bagi rasul Paulus tugas memberitakan Injil pada dasarnya suatu kehormatan dan kemuliaan yang telah dipercayakan oleh Allah kepadanya. Sehingga dia melakukan tugas pemberitaan Injil sebagai suatu keharusan yang datang dari lubuk hatinya yang paling dalam: “Karena jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil” (I Kor. 9:16). Pengabdian diri itulah yang menyebabkan rasul Paulus tidak ingin memperoleh kehormatan dan pujian apapun selain dipercaya oleh Allah untuk memberitakan Injil Kristus.
Bahkan rasul Paulus sama sekali tidak pernah mengharapkan upah untuk kerja kerasnya dalam memberitakan Injil. Padahal kita tahu bahwa rasul Paulus telah mencurahkan seluruh tenaga, pemikiran yang sangat mendalam dan mempertaruhkan hidupnya selama dia mengabdikan diri sebagai pelayan Kristus. Tetapi sama sekali haknya untuk memperoleh upah dilepaskan oleh rasul Paulus dengan penuh kerelaan. Sebab bagi rasul Paulus makna upah yang paling mulia dalam kehidupan ini adalah: “Upahku ialah ini: bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah, dan bahwa aku tidak mempergunakan hakku sebagai pemberita Injil” (I Kor. 9:18).
Selaku abdi Kristus, selain rasul Paulus tidak pernah menuntut upah, dia juga ingin menjadikan dirinya sangat efektif untuk membawa sesama bagi Kristus. Itu sebabnya secara sadar dan sukarela rasul Paulus mau menjadikan dirinya hamba bagi semua orang supaya dia dapat memenangkan sebanyak mungkin orang (I Kor. 9:19). Tepatnya dalam tugasnya untuk memberitakan Injil, rasul Paulus berupaya untuk senantiasa berempati dan menyatu dengan sesama sehingga dia dapat membawa mereka berubah dan percaya kepada Kristus. Itu sebabnya rasul Paulus berkata: “Bagi orang-orang yang lemah aku menjadi seperti orang yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah. Bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka” ( I Kor. 9:22). Dengan demikian, saat melayani bagi rasul Paulus bukan masalah mendapatkan upah atau materi; tetapi lebih dari pada itu ia bersedia menjadi hamba bagi semua orang agar mereka memperoleh keselamatan di dalam Yesus Kristus.
Jadi makna pengabdian sejati tidak pernah menuntut tetapi selalu bersedia melepaskan apa yang menjadi haknya secara sukarela, dan juga bersedia melepaskan kepentingan diri sehingga dia melayani setiap sesamanya dengan segenap hati. Lantas, bagaimanakah kita sebagai abdi Allah dalam pelayanan? Jujur, kita lebih sering banyak menuntut kepada Allah dan sesama, yaitu menuntut memperoleh upah “materi” dan “rohaniah”? Tuntutan upah secara “materi” adalah ketika kita mengharapkan untuk memperoleh penghargaan berupa uang bagi pelayanan yang kita lakukan. Sedang tuntutan upah secara rohaniah adalah saat kita mengharap pujian dari sesama sehingga kita bersikap alergi terhadap semua kritik atau celaan. Padahal jika ini terjadi, kita belum menjadi hamba bagi semua orang. Lebih tepat kita sering menjadikan sesama yang kita layani sebagai hamba untuk kepentingan diri kita.
Efisien Waktu Dan Efektivitas Tugas
Ciri khas dari kesaksian Injil Markus adalah mengisahkan pelayanan Tuhan Yesus dengan keterangan “euthus” yang artinya: “dengan segera”, “sekarang juga” (immediately). Artinya Injil Markus mau menjelaskan bahwa pelayanan Yesus ditandai oleh kesadaran akan waktu yang serba terbatas sehingga dilakukan oleh Tuhan Yesus secara efisien. Di Mark. 1:29 dimunculkan perkataan “euthus” yang tidak terlihat dalam terjemahan Alkitab terbitan LAI. Padahal seharusnya bunyi terjemahan Mark. 1:29 adalah: “Dan dengan segera sekeluarnya Yesus dari rumah ibadat itu Yesus dengan Yakobus dan Yohanes pergi ke rumah Simon dan Andreas”. Sehingga dalam Mark. 1:29-39 kita dapat menyaksikan karya penyelamatan Kristus yang beraneka-ragam hanya dalam satu hari saja! Tuhan Yesus dalam mengabdikan diriNya selaku Messias yang kudus dari Allah sungguh-sungguh efektif dalam menyatakan karya keselamatan Allah. Dia menyembuhkan ibu mertua Petrus, lalu Dia menyembuhkan semua orang yang datang dengan berbagai macam penyakit dan kerasukan setan, kemudian pagi-pagi benar saat hari masih gelap Yesus berdoa, setelah itu Yesus pergi memberitakan Injil ke kota-kota terdekat.
Semua tugas pelayanan itu diselesaikan oleh Tuhan Yesus secara efektif namun tetap efisien dalam waktu. Jadi Injil Markus mau menyaksikan Tuhan Yesus tidak memiliki waktu untuk bersenang-senang bagi diriNya sendiri. Tetapi pada sisi lain Dia juga bukan tipe orang yang mudah dikejar-kejar oleh waktu dan pekerjaan. Itu sebabnya di tengah-tengah pelayanan yang selalu dikerumuni oleh orang banyak, Tuhan Yesus tetap menyisihkan waktu yang khusus untuk berdoa kepada BapaNya. Tuhan Yesus tahu secara persis kapan Dia harus bertindak untuk menyembuhkan atau melepaskan seseorang dari kuasa setan, dan kapan Dia harus berdiam diri dan berkontemplasi. Dengan demikian, dalam mengabdikan diriNya Tuhan Yesus tidak sekedar melakukan suatu tindakan yang sifatnya “aktivisme”, tetapi semuanya ditempatkan kerangka waktu dan perencanaan Allah. Efisiensi waktu dalam pelayananNya didasarkan kepada ketaatan Dia melakukan kehendak BapaNya yang di sorga. Dengan demikian Tuhan Yesus sungguh-sungguh telah memerankan tugas pelayananNya dengan pengabdian yang sempurna kepada Allah.
Makna pengabdian diri yang seutuhnya kepada Allah terkait langsung dengan pola pengelolaan waktu secara efisien namun tetap menghasilkan pelayanan yang efektif yaitu pelayanan yang berdaya guna bagi banyak orang. Ketika pelayanan kita selalu fokus, yaitu tertuju hanya kepada kemuliaan Kristus dan kehendak Allah maka kita tidak akan mudah menyia-nyiakan waktu untuk bermanja diri dan memikirkan kepentingan diri sendiri. Namun yang kita lakukan justru karena kita sering kurang fokus untuk mengabdikan diri secara penuh.
Panggilan untuk mengabdikan diri kepada Allah di sana-sini masih disertai oleh egoisme diri, sehingga secara kuantitatif pelayanan kita memang cukup banyak tetapi sebenarnya relasi kita dengan Allah tidaklah harmonis. Kita sering mengklaim sedang melakukan pekerjaan Allah, tetapi hati kita jauh dari kasih kepada Allah. Itu sebabnya secara fisik kelihatannya kita sangat sibuk melakukan pekerjaan Tuhan, tetapi sebenarnya kita lakukan untuk melayani diri sendiri. Pelayanan sering dijadikan pelarian. Bukankah lebih terhormat kita dianggap sedang pelayanan kepada Tuhan dari pada kita dianggap tidak memiliki kegiatan apapun? Jika demikian makna pelayanan dan pengabdian diri sering dipakai untuk menyembunyikan kekurangan dan kelemahan diri. Tetapi tidaklah demikian yang dilakukan oleh Tuhan Yesus. Tugas memberitakan Injil dan karya keselamatan Allah sungguh-sungguh dijadikan oleh Tuhan Yesus sebagai misi utamaNya. Itu sebabnya Tuhan Yesus berkata: "Marilah kita pergi ke tempat lain, ke kota-kota yang berdekatan, supaya di sana juga Aku memberitakan Injil, karena untuk itu Aku telah datang" (Mark. 1:38). Atau, teladanilah mertua Petrus, setelah ia disembuhkan oleh Yesus dan berjumpa secara pribadi dengan-Nya, ia merespon anugerah Yesus dengan melayani dan mengabdi kepada Yesus.
Panggilan
Pelayanan sebagai wujud pengabdian diri perlu dilandasi oleh kesadaran iman bahwa sebenarnya diri kita begitu kecil di tengah-tengah alam semesta yang tak terbatas ini. Tetapi Allah berkenan memakai kita untuk melayaniNya. Bahkan di dalam Kristus, Allah yang tak terbatas bersedia menjadi terbatas agar Dia dapat menjangkau dan menyelamatkan kita. Karena itu sebagai orang yang diselamatkan oleh kasih dan anugerah Allah, kita dipanggil untuk rela menjadi hamba bagi semua orang agar kita dapat memenangkan hati mereka bagi kemuliaan Allah. Semua ini terjadi jika kita mengalami ‘perjumpaan dengan-Nya dan kita mau diubah oleh-Nya’.
Jika demikian, apakah kita mau berjumpa dengan Kristus secara pribadi? Bahkan mau diubah oleh-Nya? Selain itu, maukah kita menggunakan waktu yang disediakan oleh Tuhan secara efisien? Apakah pelayanan kita hanya berfokus kepada kemuliaan Kristus? Dan apabila kita sering merasa lemah dan tak berdaya, ingatlah bahwa Allah akan senantiasa menopang kita. Allah berfirman: “Tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah” (Yes. 40:31). Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar