Ulangan 18:15-20, Mazmur 111; 1 Korintus 8:1-13; Markus 1:21-28
Pengantar
Dalam Alkitab Perjanjian Lama terdapat begitu banyak nubuat tentang kedatangan Messias. Salah satunya adalah kitab Ulangan. Tetapi nubuat di kitab Ulangan pasal 18:15-20 sebenarnya memiliki tempat yang khusus. Nubuat di kitab Ulangan bukanlah janji tentang kedatangan seorang raja Israel atau seorang penguasa seperti Daud, melainkan kedatangan seorang “Musa Baru”. Di Ul. 18:15, Musa menyampaikan nubuatnya tentang seorang nabi seperti dia, yaitu: “Seorang nabi dari tengah-tengahmu, dari antara saudara-saudaramu, sama seperti aku, akan dibangkitkan bagimu oleh TUHAN, Allahmu; dialah yang harus kamu dengarkan”.
Ciri sang “Musa Baru” disebut oleh Musa yaitu “sama seperti aku”. Maka akan ada persamaan ciri antara nabi Musa yang membawa Israel dari perhambaan bangsa Mesir dengan “Musa Baru” yang kelak dibangkitkan oleh Allah. Sang “Musa Baru” tersebut tidak lain adalah Yesus Kristus. Adapun persamaan Musa dengan Yesus adalah:
Kalaupun Alkitab menyebut Musa sebagai seorang “nabi”, yang diperkenan melihat ‘wajah Allah”, sehingga memiliki relasi intim dengan Allah. Tetapi, ‘Musa Baru’ atau Yesus, adalah “Firman Allah yang menjadi manusia”. Kuasa Yesus, jauh melebihi nabi, melebihi Musa, sebab Dia adalah Allah menjelma menjadi manusia.
Pengajaran Yang Penuh Kuasa
Berulangkali kitab Injil-Injil memberi kesaksian tentang pengajaran Yesus yang disampaikan dengan penuh kuasa. Orang banyak menjadi sangat takjub sebab: “Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat mereka” (Mat. 7:28-29). Demikian pula saat Yesus pergi ke Kapernaum dan mengajar di sinagoge, Injil Markus memberi kesaksian: “Mereka takjub mendengar pengajaran-Nya, sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat” (Mark. 1:21-22).
Pengertian “berkuasa” (exousia) menunjuk kepada arti: power (kuasa), authority (otoritas), weight (berbobot). Dengan perkataan lain, pengajaran Tuhan Yesus senantiasa mampu menyentuh dan membaharui setiap orang yang mendengarNya. Tuhan Yesus tetap berpegang kepada hukum Taurat, namun di sisi lain Dia memperdalam Taurat, sehingga menghasilkan esensi etis-moril yang baru. Misalnya arti membunuh bukan hanya suatu perbuatan jahat yang membinasakan hidup orang lain, tetapi juga kemarahan dipahami oleh Tuhan Yesus sebagai sumber dari kejahatan (Mat. 5:22). Di sinilah letak perbedaan antara Yesus dengan Musa. Sebab Musa lebih mengedepankan ketaatan kepada hukum Taurat sebagai sumber keselamatan, sedangkan Tuhan Yesus lebih mengedepankan relasi dengan Allah melalui ketaatan iman kepada diriNya - sang Firman Allah.
Di Ul. 18:18, Musa menubuatkan bahwa Allah telah meletakkan seluruh firmanNya di dalam mulut sang “Musa Baru” sehingga melalui Dia, manusia dapat mengetahui seluruh kehendak Allah. Dengan nubuat tersebut Musa mau menyatakan bahwa melalui sang “Musa Baru”, Allah telah menyatakan seluruh firmanNya secara menyeluruh sehingga yang diucapkan oleh sang “Musa Baru” adalah berasal dari Allah. Dengan pengertian ini Injil Yohanes menyatakan Yesus sebagai “jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh. 14:6). Sebab Yesus bukan sekedar berperan sebagai: “penunjuk jalan, penunjuk kebenaran dan penunjuk kehidupan”. Tetapi Dialah sang Penyata (Penyingkap) diri Allah. Itu sebabnya Musa berkata: “Orang yang tidak mendengarkan segala firman-Ku yang akan diucapkan nabi itu demi nama-Ku, dari padanya akan Kutuntut pertanggungjawaban” (Ul. 18:19). Daya kuasa firman Allah yang dinyatakan oleh Tuhan Yesus tidak hanya meliputi dimensi etis-moril saja, tetapi juga menyangkut keselamatan dan hidup kekal. Sehingga apabila manusia mengabaikan firman yang diucapkanNya, Allah akan menuntut pertanggungjawaban.
Pertanggungjawaban Etis
Pengajaran Yesus berkaitan langsung dengan Allah dan sesama. Sehingga seringkali Yesus bertanya, apakah kita cukup peka dengan orang lain? Sebab, manusia seringkali takabur. Ia merasa ‘tahu tentang kebenaran Allah’, namun tetap melukai sesama. Di surat I Kor. 8:1-13 rasul Paulus mengingatkan jemaat Korintus agar mereka tanggap secara etis dengan masalah makan daging persembahan. Sebab pada zaman itu daging yang telah dipersembahkan kepada para dewa dapat dijual bebas. Bahkan mereka dapat membeli dan makan daging tersebut di kuil tertentu. Sebagai orang beriman, kita percaya bahwa tidak ada berhala dan hanya ada satu Allah saja (I Kor. 8:4-5). Beberapa anggota jemaat di Korintus juga mengamini satu-satunya Allah yang hidup di dalam Kristus, sehingga mereka merasa bebas makan daging yang telah dipersembahkan berhala sebab dalam hati mereka tidak mengakui kuasa para dewa.
Dari satu sudut tentunya tindakan mereka benar. Sebab makanan tidak akan pernah dapat mempengaruhi iman atau relasi kita dengan Allah (I Kor. 8:8). Tetapi mereka sering mengabaikan dampak dari tindakan mereka, khususnya kepada anggota jemaat yang memiliki hati-nurani yang lemah. Akibatnya tindakan beberapa orang anggota jemaat tersebut menjadi batu sandungan. Mereka yang memiliki hati-nurani yang lemah segera mengikuti jejak dari anggota jemaat yang makan daging yang telah dipersembahkan kepada dewa. Itu sebabnya rasul Paulus memberi nasihat dan teguran: “Jika engkau secara demikian berdosa terhadap saudara-saudaramu dan melukai hati nurani mereka yang lemah, engkau pada hakekatnya berdosa terhadap Kristus” (I Kor. 8:12).
Memang sikap takjub kita terhadap pengajaran Kristus yang berkuasa dapat membuat kita lengah dengan menganggap semua orang berpikir seperti kita berpikir. Kadangkala dengan “pengetahuan” kita yang cukup mendalam terhadap kebenaran Kristus dapat membuat kita dangkal dalam memahami kondisi riel sesama, sehingga kita tidak bersikap arif dalam memberlakukan “kebebasan” kita. Padahal pengetahuan yang mendalam terhadap kebenaran Kristus seharusnya ditandai oleh kepekaan nurani kita kepada perasaan atau hati-nurani orang lain. Nilai-nilai etis Kerajaan Allah yang telah diajarkan oleh Kristus wajiblah dikomunikasikan secara benar agar dapat terwujud dalam kehidupan bersama dengan sesama. Seharusnya kita mau belajar kepada Tuhan Yesus, yang walaupun Anak Allah dan inkarnasi dari sang Firman, Dia bersedia menyembunyikan kemuliaanNya agar umat manusia dapat berelasi dengan Dia. Itu sebabnya Tuhan Yesus menggunakan kata-kata yang selalu dapat dimengerti oleh orang banyak. Ilustrasi atau contoh-contoh yang dipakai oleh Tuhan Yesus bukan berasal dari pengalamanNya di sorga, tetapi dari pengalamanNya di bumi.
Pemulihan dan Pengudusan
Kuasa terbesar yang dinyatakan oleh Tuhan Yesus bukan hanya dalam bentuk pengajaran tentang nilai-nilai etis Kerajaan Sorga, tetapi juga dinyatakan dalam firmanNya yang penuh kuasa untuk menghardik dan mengusir roh jahat yang merasuki seseorang. Saat Yesus melihat seorang yang sedang dirasuk oleh roh jahat, Dia berkata: “Diam, keluarlah dari padanya!” (Mark. 1:25). Padahal kalau kita simak, justru roh jahat tersebut mengenali jati-diri Yesus yang sesungguhnya sebagai Anak Allah. Roh jahat tersebut membuat suatu pernyataan: "Apa urusan-Mu dengan kami, hai Yesus orang Nazaret? Engkau datang hendak membinasakan kami? Aku tahu siapa Engkau: Yang Kudus dari Allah" (Mark. 1:24). Orang-orang yang berjumpa dengan Yesus pada saat itu tidak pernah tahu jati-diri Yesus yang sesungguhnya. Tetapi roh jahat tersebut segera mengenali Yesus sebagai “yang kudus dari Allah” dan memiliki otoritas untuk membinasakan roh-roh jahat.
Dengan kata lain, roh jahat tersebut mengenali dengan baik kuasa ilahi Tuhan Yesus sebagai Anak Allah. Mereka tahu bahwa Tuhan Yesus memiliki kuasa Allah yang tidak terbatas. Tetapi tidak berarti Tuhan Yesus kemudian menjadi bersimpati dan membiarkan roh jahat tersebut menguasai manusia. Dengan perkataan lain walau para setan memiliki pengetahuan yang benar tentang diri Yesus selaku Anak Allah, Tuhan Yesus tidak membenarkan segala tindakan dan perilaku roh jahat tersebut. Sebab apa artinya seseorang memiliki pengetahuan yang benar dan cukup lengkap tentang diri Yesus, tetapi dipakai untuk membelenggu dan menguasai orang lain? Pengertian “kerasukan setan” menunjuk kepada situasi di mana roh jahat berhasil mengikat dan membelenggu jiwa dan kesadaran seseorang, sehingga dia tidak dapat bertindak secara bebas sesuai dengan hati-nurani dan pikiran yang sehat. Karena itu kita tidak pernah mendengar istilah “kerasukan Roh Kudus”, tetapi lazim disebut oleh Alkitab: “dipenuhi oleh Roh Kudus”. Karena arti “dipenuhi oleh Roh Kudus” tidak pernah meniadakan kebebasan, kesadaran, hati-nurani dan identitas diri seseorang. Sebab peran dari Roh Kudus adalah menguduskan setiap kesadaran, hati-nurani dan identitas diri kita sehingga dapat benar di hadapan Allah dan sesama. Jika demikian, apakah kehadiran dan pengetahuan kita tentang kuasa kebenaran Kristus juga membawa efek yang membebaskan dan memulihkan sesama?
Pemazmur mengungkapkan kesaksian imannya yang dilandasi oleh hati dan jiwa yang diperbaharui oleh karya keselamatan Allah, yaitu: “Haleluya! Aku mau bersyukur kepada TUHAN dengan segenap hati, dalam lingkungan orang-orang benar dan dalam jemaah. Besar perbuatan-perbuatan TUHAN, layak diselidiki oleh semua orang yang menyukainya” (Mzm. 111:1-2). Kesaksian iman yang dinyatakan oleh pemazmur tersebut dilakukan dengan segenap hati dan segenap jiwanya. Perbuatan atau karya Allah yang besar tidak hanya dipahami oleh pemazmur secara akaliah belaka, tetapi diresponnya dengan iman yang terbuka; yaitu iman yang terus dipulihkan dan dikuduskan. Jadi kita akan dimampukan untuk melakukan karya keselamatan Allah yang memulihkan dan menguduskan sesama di sekitar kita, manakala kita mengalami secara pribadi pemulihan dan pengudusan Allah dalam kehidupan kita.
Pergumulan dan permasalahan yang berat sering membuat daya tahan spiritualitas kita menjadi lemah. Itu sebabnya kita mudah “dirasuki” oleh roh-roh dunia. Kita tidak mungkin dapat mengusir roh-roh dunia dengan “pengetahuan kebenaran” tentang Kristus, tetapi kita akan dapat mengalahkan kuasa roh-roh jahat yang merasuki diri kita ketika hidup kita diperbaharui oleh kebenaran hidup Kristus.
Panggilan
Kristus adalah sang “Musa Baru”. Sayangnya nubuat Musa tersebut sering dipakai untuk menjauhkan manusia dari Kristus dengan mengasumsikan: sang “Musa Baru” bukanlah Kristus tetapi menunjuk kepada “tokoh atau nabi lain”. Padahal kesamaan Yesus Kristus dengan Musa adalah relasi personal yang sangat khusus dengan Allah. Lebih dari pada itu hanya Yesus Kristus saja yang memiliki hubungan intim dan tiada taranya dengan Allah sehingga diungkapkan dengan metafor “duduk di pangkuan Bapa” (Yoh. 1:18).
Karena itu pengetahuan kita tentang kebenaran Kristus tidak boleh berhenti sampai di tingkat kognitif belaka, tetapi seharusnya membawa pembaharuan yang menyeluruh terhadap spiritualitas dan kepribadian kita. Jikalau pengetahuan kebenaran tentang Kristus hanya berhenti di tingkat intelektualitas, maka kehidupan kita masih rentan untuk dirasuki oleh roh-roh jahat dalam dunia ini. Jika demikian, bagaimanakah relasi kita dengan Kristus? Apakah kuasa Kristus masih sebatas kepada perasaan takjub akan pengajaranNya yang berkuasa? Ataukah kehidupan kita telah diubahkan oleh hidupNya yang berkuasa? Amin.
Pengantar
Dalam Alkitab Perjanjian Lama terdapat begitu banyak nubuat tentang kedatangan Messias. Salah satunya adalah kitab Ulangan. Tetapi nubuat di kitab Ulangan pasal 18:15-20 sebenarnya memiliki tempat yang khusus. Nubuat di kitab Ulangan bukanlah janji tentang kedatangan seorang raja Israel atau seorang penguasa seperti Daud, melainkan kedatangan seorang “Musa Baru”. Di Ul. 18:15, Musa menyampaikan nubuatnya tentang seorang nabi seperti dia, yaitu: “Seorang nabi dari tengah-tengahmu, dari antara saudara-saudaramu, sama seperti aku, akan dibangkitkan bagimu oleh TUHAN, Allahmu; dialah yang harus kamu dengarkan”.
Ciri sang “Musa Baru” disebut oleh Musa yaitu “sama seperti aku”. Maka akan ada persamaan ciri antara nabi Musa yang membawa Israel dari perhambaan bangsa Mesir dengan “Musa Baru” yang kelak dibangkitkan oleh Allah. Sang “Musa Baru” tersebut tidak lain adalah Yesus Kristus. Adapun persamaan Musa dengan Yesus adalah:
- Musa dipakai oleh Allah untuk membebaskan umat Israel dari perbudakan Mesir, dan Yesus menjadi pembebas manusia dari perbudakan dosa.
- Kisah kelahiran Musa ditandai dengan pembunuhan massal bayi laki-laki Israel dengan cara melempar mereka ke sungai Nil, dan kelahiran Kristus ditandai pula oleh pembunuhan bayi laki-laki yang dilakukan oleh Herodes.
- Musa harus mengalami kematian di gunung Nebo menjelang umat Israel ke tanah terjanji, dan Yesus juga harus mengalami kematian di bukit Golgota dalam usia sangat muda.
- Satu hal lagi sebagai ciri khusus, kedua-duanya memiliki relasi personalnya yang sangat khusus dan intim dengan Allah.
Kalaupun Alkitab menyebut Musa sebagai seorang “nabi”, yang diperkenan melihat ‘wajah Allah”, sehingga memiliki relasi intim dengan Allah. Tetapi, ‘Musa Baru’ atau Yesus, adalah “Firman Allah yang menjadi manusia”. Kuasa Yesus, jauh melebihi nabi, melebihi Musa, sebab Dia adalah Allah menjelma menjadi manusia.
Pengajaran Yang Penuh Kuasa
Berulangkali kitab Injil-Injil memberi kesaksian tentang pengajaran Yesus yang disampaikan dengan penuh kuasa. Orang banyak menjadi sangat takjub sebab: “Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat mereka” (Mat. 7:28-29). Demikian pula saat Yesus pergi ke Kapernaum dan mengajar di sinagoge, Injil Markus memberi kesaksian: “Mereka takjub mendengar pengajaran-Nya, sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat” (Mark. 1:21-22).
Pengertian “berkuasa” (exousia) menunjuk kepada arti: power (kuasa), authority (otoritas), weight (berbobot). Dengan perkataan lain, pengajaran Tuhan Yesus senantiasa mampu menyentuh dan membaharui setiap orang yang mendengarNya. Tuhan Yesus tetap berpegang kepada hukum Taurat, namun di sisi lain Dia memperdalam Taurat, sehingga menghasilkan esensi etis-moril yang baru. Misalnya arti membunuh bukan hanya suatu perbuatan jahat yang membinasakan hidup orang lain, tetapi juga kemarahan dipahami oleh Tuhan Yesus sebagai sumber dari kejahatan (Mat. 5:22). Di sinilah letak perbedaan antara Yesus dengan Musa. Sebab Musa lebih mengedepankan ketaatan kepada hukum Taurat sebagai sumber keselamatan, sedangkan Tuhan Yesus lebih mengedepankan relasi dengan Allah melalui ketaatan iman kepada diriNya - sang Firman Allah.
Di Ul. 18:18, Musa menubuatkan bahwa Allah telah meletakkan seluruh firmanNya di dalam mulut sang “Musa Baru” sehingga melalui Dia, manusia dapat mengetahui seluruh kehendak Allah. Dengan nubuat tersebut Musa mau menyatakan bahwa melalui sang “Musa Baru”, Allah telah menyatakan seluruh firmanNya secara menyeluruh sehingga yang diucapkan oleh sang “Musa Baru” adalah berasal dari Allah. Dengan pengertian ini Injil Yohanes menyatakan Yesus sebagai “jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh. 14:6). Sebab Yesus bukan sekedar berperan sebagai: “penunjuk jalan, penunjuk kebenaran dan penunjuk kehidupan”. Tetapi Dialah sang Penyata (Penyingkap) diri Allah. Itu sebabnya Musa berkata: “Orang yang tidak mendengarkan segala firman-Ku yang akan diucapkan nabi itu demi nama-Ku, dari padanya akan Kutuntut pertanggungjawaban” (Ul. 18:19). Daya kuasa firman Allah yang dinyatakan oleh Tuhan Yesus tidak hanya meliputi dimensi etis-moril saja, tetapi juga menyangkut keselamatan dan hidup kekal. Sehingga apabila manusia mengabaikan firman yang diucapkanNya, Allah akan menuntut pertanggungjawaban.
Pertanggungjawaban Etis
Pengajaran Yesus berkaitan langsung dengan Allah dan sesama. Sehingga seringkali Yesus bertanya, apakah kita cukup peka dengan orang lain? Sebab, manusia seringkali takabur. Ia merasa ‘tahu tentang kebenaran Allah’, namun tetap melukai sesama. Di surat I Kor. 8:1-13 rasul Paulus mengingatkan jemaat Korintus agar mereka tanggap secara etis dengan masalah makan daging persembahan. Sebab pada zaman itu daging yang telah dipersembahkan kepada para dewa dapat dijual bebas. Bahkan mereka dapat membeli dan makan daging tersebut di kuil tertentu. Sebagai orang beriman, kita percaya bahwa tidak ada berhala dan hanya ada satu Allah saja (I Kor. 8:4-5). Beberapa anggota jemaat di Korintus juga mengamini satu-satunya Allah yang hidup di dalam Kristus, sehingga mereka merasa bebas makan daging yang telah dipersembahkan berhala sebab dalam hati mereka tidak mengakui kuasa para dewa.
Dari satu sudut tentunya tindakan mereka benar. Sebab makanan tidak akan pernah dapat mempengaruhi iman atau relasi kita dengan Allah (I Kor. 8:8). Tetapi mereka sering mengabaikan dampak dari tindakan mereka, khususnya kepada anggota jemaat yang memiliki hati-nurani yang lemah. Akibatnya tindakan beberapa orang anggota jemaat tersebut menjadi batu sandungan. Mereka yang memiliki hati-nurani yang lemah segera mengikuti jejak dari anggota jemaat yang makan daging yang telah dipersembahkan kepada dewa. Itu sebabnya rasul Paulus memberi nasihat dan teguran: “Jika engkau secara demikian berdosa terhadap saudara-saudaramu dan melukai hati nurani mereka yang lemah, engkau pada hakekatnya berdosa terhadap Kristus” (I Kor. 8:12).
Memang sikap takjub kita terhadap pengajaran Kristus yang berkuasa dapat membuat kita lengah dengan menganggap semua orang berpikir seperti kita berpikir. Kadangkala dengan “pengetahuan” kita yang cukup mendalam terhadap kebenaran Kristus dapat membuat kita dangkal dalam memahami kondisi riel sesama, sehingga kita tidak bersikap arif dalam memberlakukan “kebebasan” kita. Padahal pengetahuan yang mendalam terhadap kebenaran Kristus seharusnya ditandai oleh kepekaan nurani kita kepada perasaan atau hati-nurani orang lain. Nilai-nilai etis Kerajaan Allah yang telah diajarkan oleh Kristus wajiblah dikomunikasikan secara benar agar dapat terwujud dalam kehidupan bersama dengan sesama. Seharusnya kita mau belajar kepada Tuhan Yesus, yang walaupun Anak Allah dan inkarnasi dari sang Firman, Dia bersedia menyembunyikan kemuliaanNya agar umat manusia dapat berelasi dengan Dia. Itu sebabnya Tuhan Yesus menggunakan kata-kata yang selalu dapat dimengerti oleh orang banyak. Ilustrasi atau contoh-contoh yang dipakai oleh Tuhan Yesus bukan berasal dari pengalamanNya di sorga, tetapi dari pengalamanNya di bumi.
Pemulihan dan Pengudusan
Kuasa terbesar yang dinyatakan oleh Tuhan Yesus bukan hanya dalam bentuk pengajaran tentang nilai-nilai etis Kerajaan Sorga, tetapi juga dinyatakan dalam firmanNya yang penuh kuasa untuk menghardik dan mengusir roh jahat yang merasuki seseorang. Saat Yesus melihat seorang yang sedang dirasuk oleh roh jahat, Dia berkata: “Diam, keluarlah dari padanya!” (Mark. 1:25). Padahal kalau kita simak, justru roh jahat tersebut mengenali jati-diri Yesus yang sesungguhnya sebagai Anak Allah. Roh jahat tersebut membuat suatu pernyataan: "Apa urusan-Mu dengan kami, hai Yesus orang Nazaret? Engkau datang hendak membinasakan kami? Aku tahu siapa Engkau: Yang Kudus dari Allah" (Mark. 1:24). Orang-orang yang berjumpa dengan Yesus pada saat itu tidak pernah tahu jati-diri Yesus yang sesungguhnya. Tetapi roh jahat tersebut segera mengenali Yesus sebagai “yang kudus dari Allah” dan memiliki otoritas untuk membinasakan roh-roh jahat.
Dengan kata lain, roh jahat tersebut mengenali dengan baik kuasa ilahi Tuhan Yesus sebagai Anak Allah. Mereka tahu bahwa Tuhan Yesus memiliki kuasa Allah yang tidak terbatas. Tetapi tidak berarti Tuhan Yesus kemudian menjadi bersimpati dan membiarkan roh jahat tersebut menguasai manusia. Dengan perkataan lain walau para setan memiliki pengetahuan yang benar tentang diri Yesus selaku Anak Allah, Tuhan Yesus tidak membenarkan segala tindakan dan perilaku roh jahat tersebut. Sebab apa artinya seseorang memiliki pengetahuan yang benar dan cukup lengkap tentang diri Yesus, tetapi dipakai untuk membelenggu dan menguasai orang lain? Pengertian “kerasukan setan” menunjuk kepada situasi di mana roh jahat berhasil mengikat dan membelenggu jiwa dan kesadaran seseorang, sehingga dia tidak dapat bertindak secara bebas sesuai dengan hati-nurani dan pikiran yang sehat. Karena itu kita tidak pernah mendengar istilah “kerasukan Roh Kudus”, tetapi lazim disebut oleh Alkitab: “dipenuhi oleh Roh Kudus”. Karena arti “dipenuhi oleh Roh Kudus” tidak pernah meniadakan kebebasan, kesadaran, hati-nurani dan identitas diri seseorang. Sebab peran dari Roh Kudus adalah menguduskan setiap kesadaran, hati-nurani dan identitas diri kita sehingga dapat benar di hadapan Allah dan sesama. Jika demikian, apakah kehadiran dan pengetahuan kita tentang kuasa kebenaran Kristus juga membawa efek yang membebaskan dan memulihkan sesama?
Pemazmur mengungkapkan kesaksian imannya yang dilandasi oleh hati dan jiwa yang diperbaharui oleh karya keselamatan Allah, yaitu: “Haleluya! Aku mau bersyukur kepada TUHAN dengan segenap hati, dalam lingkungan orang-orang benar dan dalam jemaah. Besar perbuatan-perbuatan TUHAN, layak diselidiki oleh semua orang yang menyukainya” (Mzm. 111:1-2). Kesaksian iman yang dinyatakan oleh pemazmur tersebut dilakukan dengan segenap hati dan segenap jiwanya. Perbuatan atau karya Allah yang besar tidak hanya dipahami oleh pemazmur secara akaliah belaka, tetapi diresponnya dengan iman yang terbuka; yaitu iman yang terus dipulihkan dan dikuduskan. Jadi kita akan dimampukan untuk melakukan karya keselamatan Allah yang memulihkan dan menguduskan sesama di sekitar kita, manakala kita mengalami secara pribadi pemulihan dan pengudusan Allah dalam kehidupan kita.
Pergumulan dan permasalahan yang berat sering membuat daya tahan spiritualitas kita menjadi lemah. Itu sebabnya kita mudah “dirasuki” oleh roh-roh dunia. Kita tidak mungkin dapat mengusir roh-roh dunia dengan “pengetahuan kebenaran” tentang Kristus, tetapi kita akan dapat mengalahkan kuasa roh-roh jahat yang merasuki diri kita ketika hidup kita diperbaharui oleh kebenaran hidup Kristus.
Panggilan
Kristus adalah sang “Musa Baru”. Sayangnya nubuat Musa tersebut sering dipakai untuk menjauhkan manusia dari Kristus dengan mengasumsikan: sang “Musa Baru” bukanlah Kristus tetapi menunjuk kepada “tokoh atau nabi lain”. Padahal kesamaan Yesus Kristus dengan Musa adalah relasi personal yang sangat khusus dengan Allah. Lebih dari pada itu hanya Yesus Kristus saja yang memiliki hubungan intim dan tiada taranya dengan Allah sehingga diungkapkan dengan metafor “duduk di pangkuan Bapa” (Yoh. 1:18).
Karena itu pengetahuan kita tentang kebenaran Kristus tidak boleh berhenti sampai di tingkat kognitif belaka, tetapi seharusnya membawa pembaharuan yang menyeluruh terhadap spiritualitas dan kepribadian kita. Jikalau pengetahuan kebenaran tentang Kristus hanya berhenti di tingkat intelektualitas, maka kehidupan kita masih rentan untuk dirasuki oleh roh-roh jahat dalam dunia ini. Jika demikian, bagaimanakah relasi kita dengan Kristus? Apakah kuasa Kristus masih sebatas kepada perasaan takjub akan pengajaranNya yang berkuasa? Ataukah kehidupan kita telah diubahkan oleh hidupNya yang berkuasa? Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar