Kejadian 9:8-17; Mzm. 25:1-10; I Petrus 3:18-22; Mark. 1:9-15
Pengantar
Apa komentar saudara ketika mendengar kata ‘janji’? Tentu ada yang merasa ‘muak’. Sebab kata janji, ya tinggal janji. Janji ya selalu diingkari. Coba kita lihat disekeliling kita, banyak sekali orang berjanji, namun malah diingkari. Malah berjanji ‘tolak korupsi’, namun menjadi tersangka korupsi. Memang masyarakat kita sedang berada dalam dunia ingkar janji. Karena pengalaman sering diingkari itu, banyak orang yang muak dengan segala macam janji. Percaya dan memegang janji, berarti juga menyediakan diri untuk dikecewakan. Akibatnya, orang menjadi apatisme. Atau masa bodo terhadap semua janji.
Janji Tuhan
Lantas, bagaimana dengan ‘Janji Tuhan’? Memang janji Tuhan sering didengungkan, dikhotbahkan, dan diajarkan. Tentu saja realitas tentang janji dalam hidup sehari-hari akan sangat berpengatuh pada respon jemaaty dalam mempercayai dan memegang janji Tuhan. Bisa dibayangkan betapa sulitnya mengajak orang untuk memegang janji Tuhan di tengah dunia yang ingkar janji. Ya. ‘Janji Tuhan’ bisa kehilangan sakralitas. Belum lagi beberapa gereja mengobral janji bahwa tanggal sekian akan kiamat, dan tidak terbukti.
Sungguh amat berbahaya jika Gereja jadi ‘anti Janji Tuhan’. Sebab sejarah Alkitab mencatat relasi kita dengan-Nya adalah relasi perjanjian. Dengan mengingat ‘Janji Ilahi’, kita dimampukan mengingat kebaikan-Nya. Misalnya janji Tuhan pada jaman Nuh. Setelah penghukuman air bah, Tuhan tidak lagi mengambil solusi hukuman yang membinasakan umat manusia tetapi mengikutsertakan manusia sebagai mitraNya dalam perjanjian keselamatan. Di Kej. 9:12-13, Allah berfirman: "Inilah tanda perjanjian yang Kuadakan antara Aku dan kamu serta segala makhluk yang hidup, yang bersama-sama dengan kamu, turun-temurun, untuk selama-lamanya: Busur-Ku Kutaruh di awan, supaya itu menjadi tanda perjanjian antara Aku dan bumi”. Tanda perjanjian keselamatan Allah yang penuh anugerah dinyatakan melalui simbol busur (qeset). Semula dengan busur yang dilengkapi dengan anak panah dipakai oleh Allah untuk memanah setiap umat yang berdosa, sehingga mereka binasa. Tetapi setelah bumi dibersihkan dari perbuatan dosa, Allah mengambil keputusan untuk menempatkan kasih-karuniaNya yang membaharui kehidupan umat yang berdosa.
Karena itu simbol busur (qeset) yang dilambangkan dalam wujud pelangi bermakna tumbuhnya pengharapan dan keselamatan yang baru. Busur Allah yang pernah membinasakan kehidupan umat kini berubah fungsi menjadi busur senjata Penebus dan Penyelamat bagi umat yang berdosa. Sebagai Penebus dan Penyelamat, Allah menggunakan busur dan senjataNya untuk menjaga dan melindungi umat agar mereka terjaga dari serangan kuasa maut. Itu sebabnya dosa umat yang begitu besar tidak lagi menghalangi kasih-karunia Allah terus bekerja dalam kehidupan ini, sehingga umat dikaruniai pengharapan dan kesempatan untuk bertobat. Sekaligus busur Allah yang ditampilkan dalam bentuk pelangi untuk mengingatkan umat agar mereka selalu ingat akan kasih karunia Allah yang menjaga dan melindungi mereka. Sehingga umat dapat menjaga diri dari dorongan dan daya tarik dunia seperti yang pernah dilakukan oleh orang-orang pada zaman Nuh. Namun dalam praktek hidup betapa sering kita melupakan dan mengabaikan perjanjian keselamatan Allah yang telah dianugerahkan dalam kehidupan kita.
Itu sebabnya perjalanan hidup tidak lagi kita hayati sebagai suatu ziarah iman, tetapi sebagai rangkaian panjang petualangan akan dosa. Padahal relasi khusus yang diikat oleh Allah dalam perjanjianNya bertujuan agar kehidupan kita dapat menjadi suatu ziarah iman di mana kita selalu haus akan kebenaranNya. Tetapi ketika rasa haus kita tidak lagi terarah kepada janji Allah, maka rasa haus kita akan berubah menjadi rasa haus akan kenikmatan dunia ini. Dalam situasi yang demikian, kita perlu bersikap seperti pemazmur yang berkata: “Beritahukanlah jalan-jalan-Mu kepadaku, ya TUHAN, tunjukkanlah itu kepadaku. Bawalah aku berjalan dalam kebenaran-Mu dan ajarlah aku, sebab Engkaulah Allah yang menyelamatkan aku, Engkau kunanti-nantikan sepanjang hari” (Mzm. 25:4-5).
Jangan berpaling pada janji Tuhan
Bagi kita umat yang hidup di era global, saat ini kita telah memiliki akses informasi yang tak terbatas. Sehingga sangat mudah bagi kita untuk memperoleh pengetahuan iman dan firman Tuhan seluas-luasnya. Karena itu kita dapat membuka situs dan “search engine” dari berbagai versi terjemahan Alkitab termasuk isi Alkitab dalam bahasa asli. Kalau perlu kita juga dapat membuka situs yang menyediakan ribuan film atau video yang menayangkan pemberitaan firman dalam berbagai bahasa atau bahasa yang paling kita kuasai. Tetapi apakah semua upaya dan fasilitas akses tersebut menjamin langkah kehidupan kita untuk terus berjalan dalam janji Tuhan?
Jadi apakah masih relevan jikalau pemazmur berkata kepada Tuhan, “orang yang taat pada perjanjian dan hukum-Nya diperlakukan-Nya dengan kasih dan setia” (Mzm 25:10). Janji Tuhan itu pasti terjadi, bukan ‘janji palsu’. Itulah sebanya pemazmur mengajak ditengah beragam kesulitan apapun, berpalinglah pada janji Tuhan. Sebab dengan setia kepada Tuhan, pemazmur mempunyai kekuatan untuk menanti-nantikan Tuhan. Itulah sebabnya, ia bersaksi bahwa: “TUHAN itu baik dan benar; sebab itu Ia menunjukkan jalan kepada orang yang sesat. Ia membimbing orang-orang yang rendah hati menurut hukum, dan Ia mengajarkan jalan-Nya kepada orang-orang yang rendah hati” (Mzm. 25:8). Karena itu janji Tuhan sangatlah menentukan. Apa artinya kita mengetahui banyak hal tentang Allah tetapi tidak mempercayai janji Allah. Apa artinya kita mampu mengakses atau begitu fasih membuka ribuan akses informasi tentang Allah dan karyaNya, tetapi janji Allah tidak kita yakini.
berpaling dari diri kita karena segala dosa yang terus menumpuk dan terpupuk? Jalan kebenaran Tuhan hanya dinyatakan kepada orang-orang yang rendah hati. Spiritualitas kerendahan hati itulah yang menjadi pintu atau akses utama bagi karya keselamatan Allah. Melalui karya penebusan Kristus, Allah mendamaikan diri kita yang berdosa agar dapat menjadi orang-orang yang dibenarkan. Surat I Petr. 3:18 berkata: “Sebab juga Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah; Ia, yang telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia, tetapi yang telah dibangkitkan menurut Roh”.
Karya Penebusan Kristus
Karya penebusan Kristus bagi umat yang berdosa tidak dilakukan dengan cara menghukum atau membinasakan umat dengan air bah sebagaimana yang dilakukan Allah pada zaman Nuh. Tetapi dilakukan Kristus dengan cara menyerahkan diriNya untuk menjadi tebusan bagi umat manusia melalui kematian dan kebangkitanNya. Akar dosa tidak dipotong dengan mematikan kehidupan umat manusia, tetapi dengan cara mengorbankan diriNya. Tepatnya Kristus datang untuk memberi kehidupan agar umat yang berdosa dapat memperoleh hidup dalam kelimpahan rahmat Allah (Yoh. 10:10). Itulah sebabnya dalam ayat 18 dari 1 Petrus 3, kita diminta, orang yang harus menderita karena kebenaran, haruslah tetap tegar seperti Yesus yang pernah mati agar dapat membimbing manusia kepada Allah. Walau Yesus telah menderita mati, Ia dihidupkan kembali. Demikianlah juga orang yang menderita karena kebenaran.
Namun ada masalah dalam 1 Petrus ini, berkenaan dengan ayat 19-20 yang berbunyi: “Dan di dalam Roh itu juga Ia pergi memberitakan Injil kepada roh-roh yang di dalam penjara, yaitu kepada roh-roh mereka yang dahulu pada waktu Nuh tidak taat kepada Allah, ketika Allah tetap menanti dengan sabar waktu Nuh sedang mempersiapkan bahteranya, di mana hanya sedikit, yaitu delapan orang, yang diselamatkan oleh air bah itu”. Ayat ini senada dengan 1 Petrus 4:6, “Itulah sebabnya maka Injil telah diberitakan juga kepada orang-orang mati, supaya mereka, sama seperti semua manusia, dihakimi secara badani; tetapi oleh roh dapat hidup menurut kehendak Allah”. Apakah ayat ini menunjukkan adanya penginjilan bagi orang mati?
Ayat ini harus dilihat dalam terang ayat 18, sebab ayat 19 dan 20 adalah anak kalimat dari ayat 18. Padahal dalam ayat 18 adalah proklamasi kemenangan Yesus, di mana Ia telah melakukan misi terbesar-Nya, sebagai pendamaian atas dosa-dosa seluruh manusia. Maksud utama dari surat ini adalah agar kita semua yang masih hidup, agar memperhatikan yang hidup saja. Sebab pada jaman surat Petrus ini ditulis banyak jemaat yang mempertanyakan keberadaan mereka yang sudah mati, namun surat Petrus menyatakan, bagi mereka yang sudah mati itu urusannya Kristus. Namun setidaknya mereka terhibur, bahwa karya keselamatan Nuh di atas air bah merupakan gambaran awal keselamatan orang Kristen melalui baptisan. Sebagaimana Nuh dan keluarga ‘diselamatkan melalui air’ dari kematian fisik; baptisan menyelamatkan dari kematian kekal. Sama seperti Nuh dan keluarganya dibawa dengan aman –melalui air bah- karena ketaatan mereka terhadap janji Tuhan, demikian juga orang Kristen akan diselematkan. Hal ini nampak dalam baptisan, yang merupakan pengakuan dan ikrar bahwa kita menjadi milik Kristus, dan telah mati dan bangkit bersamaNya.
Memang karya keselamatan Kristus yang memberi hidup pada hakikatnya merupakan perwujudan dari busur (qeset) Allah, sehingga melalui kematian dan kebangkitanNya Dia telah mematahkan kuasa maut/kuasa dosa. Selain itu Kristus juga dengan kematian dan kebangkitanNya telah memanahkan ribuan “anak panah” kasih Allah yang menghancurkan setiap hati yang keras dan mereka yang terbelenggu oleh kuasa dosa. Dengan demikian melalui dan di dalam Kristus, kini terbukalah jalan Tuhan yang membebaskan. Sehingga ketika kita hidup dalam janji Tuhan, maka kita dimampukan oleh kuasa anugerahNya sehingga kita dapat hidup sebagai anak-anak Allah. Ini dikarenakan Yesus tidak lain adalah Anak Allah.
Panggilan
Sebagai Anak Allah, karya Yesus memperdamaikan yang bermusuhan. Hal ini nampak sekali dalam Markus 1 ayat 12, di mana Yesus berada diantara binatang liar dan malaikat melayani-Nya. Situasi ini mau menggambarkan ‘buah karya perdamaian’ dari Yesus. Itulah sebabnya Yesus melanjutkan seruan tentang Kerajaan Allah, sebagaimana yang dilakukan oleh Yohanes Pembaptis. Pada dasarnya, Markus ingin menyatakan bahwa Yesus adalah sosok yang dijanjikan, sekaligus jawaban pengharapan Israel. Dengan demikian melalui ekhadiran Yesus, baik saat di baptis, masa pencobaan dan masa pemberitaan Injil-Nya adalah bagian dari rencana penggenapan janji penyelamatan Allah terhadap Israel.
Tuhan telah menggenapi janji-Nya. Ia datang sendiri ke dunia mengambil rupa manusia yang kita sebut dengan Yesus. Jika Allah telah memenuhi janji-Nya, berarti Allah tidak bohong, tidak ingkar janji tetapi Ia adalah setia kepada janji-Nya. Jika Allah sedemikian setia-Nya bagi kita, sudah selayaknya kita hidup dalam kesetiaan. Memang tidak mudah setia memegang janji, memang tidak mudah setia terhadap iman kita. Namun ingatlah, kesetiaan terhadap janji Tuhan akan mengakibatkan ‘kesejahteraan’ bagi kita semua. Amin.
Pengantar
Apa komentar saudara ketika mendengar kata ‘janji’? Tentu ada yang merasa ‘muak’. Sebab kata janji, ya tinggal janji. Janji ya selalu diingkari. Coba kita lihat disekeliling kita, banyak sekali orang berjanji, namun malah diingkari. Malah berjanji ‘tolak korupsi’, namun menjadi tersangka korupsi. Memang masyarakat kita sedang berada dalam dunia ingkar janji. Karena pengalaman sering diingkari itu, banyak orang yang muak dengan segala macam janji. Percaya dan memegang janji, berarti juga menyediakan diri untuk dikecewakan. Akibatnya, orang menjadi apatisme. Atau masa bodo terhadap semua janji.
Janji Tuhan
Lantas, bagaimana dengan ‘Janji Tuhan’? Memang janji Tuhan sering didengungkan, dikhotbahkan, dan diajarkan. Tentu saja realitas tentang janji dalam hidup sehari-hari akan sangat berpengatuh pada respon jemaaty dalam mempercayai dan memegang janji Tuhan. Bisa dibayangkan betapa sulitnya mengajak orang untuk memegang janji Tuhan di tengah dunia yang ingkar janji. Ya. ‘Janji Tuhan’ bisa kehilangan sakralitas. Belum lagi beberapa gereja mengobral janji bahwa tanggal sekian akan kiamat, dan tidak terbukti.
Sungguh amat berbahaya jika Gereja jadi ‘anti Janji Tuhan’. Sebab sejarah Alkitab mencatat relasi kita dengan-Nya adalah relasi perjanjian. Dengan mengingat ‘Janji Ilahi’, kita dimampukan mengingat kebaikan-Nya. Misalnya janji Tuhan pada jaman Nuh. Setelah penghukuman air bah, Tuhan tidak lagi mengambil solusi hukuman yang membinasakan umat manusia tetapi mengikutsertakan manusia sebagai mitraNya dalam perjanjian keselamatan. Di Kej. 9:12-13, Allah berfirman: "Inilah tanda perjanjian yang Kuadakan antara Aku dan kamu serta segala makhluk yang hidup, yang bersama-sama dengan kamu, turun-temurun, untuk selama-lamanya: Busur-Ku Kutaruh di awan, supaya itu menjadi tanda perjanjian antara Aku dan bumi”. Tanda perjanjian keselamatan Allah yang penuh anugerah dinyatakan melalui simbol busur (qeset). Semula dengan busur yang dilengkapi dengan anak panah dipakai oleh Allah untuk memanah setiap umat yang berdosa, sehingga mereka binasa. Tetapi setelah bumi dibersihkan dari perbuatan dosa, Allah mengambil keputusan untuk menempatkan kasih-karuniaNya yang membaharui kehidupan umat yang berdosa.
Karena itu simbol busur (qeset) yang dilambangkan dalam wujud pelangi bermakna tumbuhnya pengharapan dan keselamatan yang baru. Busur Allah yang pernah membinasakan kehidupan umat kini berubah fungsi menjadi busur senjata Penebus dan Penyelamat bagi umat yang berdosa. Sebagai Penebus dan Penyelamat, Allah menggunakan busur dan senjataNya untuk menjaga dan melindungi umat agar mereka terjaga dari serangan kuasa maut. Itu sebabnya dosa umat yang begitu besar tidak lagi menghalangi kasih-karunia Allah terus bekerja dalam kehidupan ini, sehingga umat dikaruniai pengharapan dan kesempatan untuk bertobat. Sekaligus busur Allah yang ditampilkan dalam bentuk pelangi untuk mengingatkan umat agar mereka selalu ingat akan kasih karunia Allah yang menjaga dan melindungi mereka. Sehingga umat dapat menjaga diri dari dorongan dan daya tarik dunia seperti yang pernah dilakukan oleh orang-orang pada zaman Nuh. Namun dalam praktek hidup betapa sering kita melupakan dan mengabaikan perjanjian keselamatan Allah yang telah dianugerahkan dalam kehidupan kita.
Itu sebabnya perjalanan hidup tidak lagi kita hayati sebagai suatu ziarah iman, tetapi sebagai rangkaian panjang petualangan akan dosa. Padahal relasi khusus yang diikat oleh Allah dalam perjanjianNya bertujuan agar kehidupan kita dapat menjadi suatu ziarah iman di mana kita selalu haus akan kebenaranNya. Tetapi ketika rasa haus kita tidak lagi terarah kepada janji Allah, maka rasa haus kita akan berubah menjadi rasa haus akan kenikmatan dunia ini. Dalam situasi yang demikian, kita perlu bersikap seperti pemazmur yang berkata: “Beritahukanlah jalan-jalan-Mu kepadaku, ya TUHAN, tunjukkanlah itu kepadaku. Bawalah aku berjalan dalam kebenaran-Mu dan ajarlah aku, sebab Engkaulah Allah yang menyelamatkan aku, Engkau kunanti-nantikan sepanjang hari” (Mzm. 25:4-5).
Jangan berpaling pada janji Tuhan
Bagi kita umat yang hidup di era global, saat ini kita telah memiliki akses informasi yang tak terbatas. Sehingga sangat mudah bagi kita untuk memperoleh pengetahuan iman dan firman Tuhan seluas-luasnya. Karena itu kita dapat membuka situs dan “search engine” dari berbagai versi terjemahan Alkitab termasuk isi Alkitab dalam bahasa asli. Kalau perlu kita juga dapat membuka situs yang menyediakan ribuan film atau video yang menayangkan pemberitaan firman dalam berbagai bahasa atau bahasa yang paling kita kuasai. Tetapi apakah semua upaya dan fasilitas akses tersebut menjamin langkah kehidupan kita untuk terus berjalan dalam janji Tuhan?
Jadi apakah masih relevan jikalau pemazmur berkata kepada Tuhan, “orang yang taat pada perjanjian dan hukum-Nya diperlakukan-Nya dengan kasih dan setia” (Mzm 25:10). Janji Tuhan itu pasti terjadi, bukan ‘janji palsu’. Itulah sebanya pemazmur mengajak ditengah beragam kesulitan apapun, berpalinglah pada janji Tuhan. Sebab dengan setia kepada Tuhan, pemazmur mempunyai kekuatan untuk menanti-nantikan Tuhan. Itulah sebabnya, ia bersaksi bahwa: “TUHAN itu baik dan benar; sebab itu Ia menunjukkan jalan kepada orang yang sesat. Ia membimbing orang-orang yang rendah hati menurut hukum, dan Ia mengajarkan jalan-Nya kepada orang-orang yang rendah hati” (Mzm. 25:8). Karena itu janji Tuhan sangatlah menentukan. Apa artinya kita mengetahui banyak hal tentang Allah tetapi tidak mempercayai janji Allah. Apa artinya kita mampu mengakses atau begitu fasih membuka ribuan akses informasi tentang Allah dan karyaNya, tetapi janji Allah tidak kita yakini.
berpaling dari diri kita karena segala dosa yang terus menumpuk dan terpupuk? Jalan kebenaran Tuhan hanya dinyatakan kepada orang-orang yang rendah hati. Spiritualitas kerendahan hati itulah yang menjadi pintu atau akses utama bagi karya keselamatan Allah. Melalui karya penebusan Kristus, Allah mendamaikan diri kita yang berdosa agar dapat menjadi orang-orang yang dibenarkan. Surat I Petr. 3:18 berkata: “Sebab juga Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah; Ia, yang telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia, tetapi yang telah dibangkitkan menurut Roh”.
Karya Penebusan Kristus
Karya penebusan Kristus bagi umat yang berdosa tidak dilakukan dengan cara menghukum atau membinasakan umat dengan air bah sebagaimana yang dilakukan Allah pada zaman Nuh. Tetapi dilakukan Kristus dengan cara menyerahkan diriNya untuk menjadi tebusan bagi umat manusia melalui kematian dan kebangkitanNya. Akar dosa tidak dipotong dengan mematikan kehidupan umat manusia, tetapi dengan cara mengorbankan diriNya. Tepatnya Kristus datang untuk memberi kehidupan agar umat yang berdosa dapat memperoleh hidup dalam kelimpahan rahmat Allah (Yoh. 10:10). Itulah sebabnya dalam ayat 18 dari 1 Petrus 3, kita diminta, orang yang harus menderita karena kebenaran, haruslah tetap tegar seperti Yesus yang pernah mati agar dapat membimbing manusia kepada Allah. Walau Yesus telah menderita mati, Ia dihidupkan kembali. Demikianlah juga orang yang menderita karena kebenaran.
Namun ada masalah dalam 1 Petrus ini, berkenaan dengan ayat 19-20 yang berbunyi: “Dan di dalam Roh itu juga Ia pergi memberitakan Injil kepada roh-roh yang di dalam penjara, yaitu kepada roh-roh mereka yang dahulu pada waktu Nuh tidak taat kepada Allah, ketika Allah tetap menanti dengan sabar waktu Nuh sedang mempersiapkan bahteranya, di mana hanya sedikit, yaitu delapan orang, yang diselamatkan oleh air bah itu”. Ayat ini senada dengan 1 Petrus 4:6, “Itulah sebabnya maka Injil telah diberitakan juga kepada orang-orang mati, supaya mereka, sama seperti semua manusia, dihakimi secara badani; tetapi oleh roh dapat hidup menurut kehendak Allah”. Apakah ayat ini menunjukkan adanya penginjilan bagi orang mati?
Ayat ini harus dilihat dalam terang ayat 18, sebab ayat 19 dan 20 adalah anak kalimat dari ayat 18. Padahal dalam ayat 18 adalah proklamasi kemenangan Yesus, di mana Ia telah melakukan misi terbesar-Nya, sebagai pendamaian atas dosa-dosa seluruh manusia. Maksud utama dari surat ini adalah agar kita semua yang masih hidup, agar memperhatikan yang hidup saja. Sebab pada jaman surat Petrus ini ditulis banyak jemaat yang mempertanyakan keberadaan mereka yang sudah mati, namun surat Petrus menyatakan, bagi mereka yang sudah mati itu urusannya Kristus. Namun setidaknya mereka terhibur, bahwa karya keselamatan Nuh di atas air bah merupakan gambaran awal keselamatan orang Kristen melalui baptisan. Sebagaimana Nuh dan keluarga ‘diselamatkan melalui air’ dari kematian fisik; baptisan menyelamatkan dari kematian kekal. Sama seperti Nuh dan keluarganya dibawa dengan aman –melalui air bah- karena ketaatan mereka terhadap janji Tuhan, demikian juga orang Kristen akan diselematkan. Hal ini nampak dalam baptisan, yang merupakan pengakuan dan ikrar bahwa kita menjadi milik Kristus, dan telah mati dan bangkit bersamaNya.
Memang karya keselamatan Kristus yang memberi hidup pada hakikatnya merupakan perwujudan dari busur (qeset) Allah, sehingga melalui kematian dan kebangkitanNya Dia telah mematahkan kuasa maut/kuasa dosa. Selain itu Kristus juga dengan kematian dan kebangkitanNya telah memanahkan ribuan “anak panah” kasih Allah yang menghancurkan setiap hati yang keras dan mereka yang terbelenggu oleh kuasa dosa. Dengan demikian melalui dan di dalam Kristus, kini terbukalah jalan Tuhan yang membebaskan. Sehingga ketika kita hidup dalam janji Tuhan, maka kita dimampukan oleh kuasa anugerahNya sehingga kita dapat hidup sebagai anak-anak Allah. Ini dikarenakan Yesus tidak lain adalah Anak Allah.
Panggilan
Sebagai Anak Allah, karya Yesus memperdamaikan yang bermusuhan. Hal ini nampak sekali dalam Markus 1 ayat 12, di mana Yesus berada diantara binatang liar dan malaikat melayani-Nya. Situasi ini mau menggambarkan ‘buah karya perdamaian’ dari Yesus. Itulah sebabnya Yesus melanjutkan seruan tentang Kerajaan Allah, sebagaimana yang dilakukan oleh Yohanes Pembaptis. Pada dasarnya, Markus ingin menyatakan bahwa Yesus adalah sosok yang dijanjikan, sekaligus jawaban pengharapan Israel. Dengan demikian melalui ekhadiran Yesus, baik saat di baptis, masa pencobaan dan masa pemberitaan Injil-Nya adalah bagian dari rencana penggenapan janji penyelamatan Allah terhadap Israel.
Tuhan telah menggenapi janji-Nya. Ia datang sendiri ke dunia mengambil rupa manusia yang kita sebut dengan Yesus. Jika Allah telah memenuhi janji-Nya, berarti Allah tidak bohong, tidak ingkar janji tetapi Ia adalah setia kepada janji-Nya. Jika Allah sedemikian setia-Nya bagi kita, sudah selayaknya kita hidup dalam kesetiaan. Memang tidak mudah setia memegang janji, memang tidak mudah setia terhadap iman kita. Namun ingatlah, kesetiaan terhadap janji Tuhan akan mengakibatkan ‘kesejahteraan’ bagi kita semua. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar