Kejadian 17:1-7, 15-16; Mzm. 22:23-31; Roma 4:13-25; Markus 8:31-38
Pengantar
Kata ‘salib’ bukan kata asing bagi kita, apalagi ‘benda salib’ seperti ini (sambil menunjukkan benda salib). Bahkan salib ini merupakan lambang identitas Kristen. Salib ini bisa terbuat dari apapun, mulai dari: kayu, besi, perak bahkan sampai emas. Coba perhatikan, bagaimana jika salib ini terbuat dari emas? Tentu akan ada kesan ‘indah, mahal ataupun glamour’. Bagaimana juga jika salib ini kita taruh di dinding? Tentu hanya akan menjadi ‘hiasan, pajangan ataupun asesoris di rumah kita saja’. Ada pertanyaan yang agak nakal, mungkinkan ada pergeseran makna di dalam hati kita, untuk lebih memilih ‘salib yang indah, ringan, bagus, mahal’ daripada ‘salib yang berat, melukai dan menyimbolkan makna penderitaan?’
Ada sebuah ilustrasi yang menarik tentang salib dari teolog Jepang, Kosuke Koyama. Dalam bukunya, “Tidak Ada Gagang Pada salib”, ia menuliskan bahwa “mengikut Kristus, berarti berjalan di salib. Salib bukan tas, rantang makanan atau ember yang punya gagang (pegangan) dan bisa di tenteng. Salib tidak punya gagang: harus dipikul. Karena itu, ikut Yesus tidak berarti jalan kita menjadi mulus tanpa penderitaan. Sebaliknya, salib adalah penderitaan. Seraya melintasi jalanan panjang menuju surga, kita memikul salib kita. Kita tidak mungkin memikul salib sambil korupsi, sambil menghalalkan segala cara. Coba kita bayangkan: jika pada saat memikul salib, karena lelah di tengah jalan kita memotongnya sedikit, lalu kemudian kita potong lagi, maka pada akhir perjalanan yang kita pikul bukan lagi salib, tetapi hanya potongan kayu. Tentu, kita tidak ikut masuk ke pesta sukacita sorgawi tanpa salib yang utuh, salib yang tak bergagang.”
Jalan penderitaan
Dengan demikian, mau tidak mau, ketika seseorang mengaku menjadi murid Kristus, ia harus mau ‘memikul salib’, atau mau menderita bersama Kristus. Hal inilah yang dikatakan oleh Yesus kepada murid-muridNya. Ketika Yesus dan para murid berada di Kaisarea-Filipi, sebuah kota yang terletak di Utara, di kaki gunung Hermon di daerah yang netral. Memang percakapan tentang siapa diri-Nya tidak dilakukan di Galilea, tempat asal-Nya. Bukan juga di Yudea, wilayah keyahudian resmi. Tidak pula di Samaria, yang tidak menerima keyahudian resmi, melainkan di luar semua itu, di daerah yang netral.
Di Kaisarea-Filipi, tempat yang netral itu, para murid memperbincangkan 3 macam pandangan mengenai Yesus: (1) anggapan orang banyak, (2) anggapan dari lingkup yang lebih khusus, ahli Taurat dan orang Farisi, dan (3) anggapan para murid sendiri. Jika kita mengikuti alur narasi Markus hingga pasal 8, kita akan melihat dengan jelas besarnya harapan dan keinginan di berbagai kalangan. Yesus dibayangkan, seperti: sosok Yohanes Pembaptis, Elia dan Nabi lain. Namun pandangan para murid diwakili oleh Petrus, yang berkata bahwa Yesus adalah Mesias. Yesus meminta agar Petrus tidak menyebar-luaskan gagasannya itu. Yesus malah membicarakan Diri-Nya dengan ungkapan “Anak Manusia”. Gambaran Anak Manusia menegaskan bahwa Yesus akan menanggung penderitaan, sampai mati di kayu salib. Secara jelas, Injil Markus menyatakan bahwa Ia akan diserahkan oleh para pemimpin agama untuk menderita, dan mati di kayu salib.
Lantas, bagaimana reaksi para muridNya setelah tahu bahwa Yesus akan menderita? Petrus berkata bahwa Yesus itu tokoh yang mulia, berkuasa, dan hakim bagi orang yang hidup dan mati. Itulah sebabnya, Petrus menegaskan mana boleh Anak Manusia itu menderita dan dibunuh! Atas nama teman-temannya (ayat 33), Petrus juga membantah ucapan Yesus yang menurut Petrus jelas suatu kekeliruan (ayat 32). Yesus pun segera membentak pendapat Petrus sebagai sesat! Malah Petrus dicaci maki sebagai ‘Iblis’ yang ingin menyelewengkan Yesus dari rencana Allah.
Bagi Yesus, apa yang dikatakan Petrus bertolak belakang dengan rencana Allah. Sebab sebagai Anak Manusia, Yesus harus mau menderita dan mati untuk menebus dosa manusia. Bagi Yesus, kehadiranNya di dunia ini adalah untuk menebus dosa manusia lewat penderitaanNya. Maka kepada para pengikutNya, Yesus juga memberikan salib yang harus dipikulnya. Hal ini tampak sekali dalam ayat 34, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.”
Dari ayat tersebut setidaknya ada 3 syarat menjadi pengikut Kristus, “menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Yesus”. Ini syarat bukan paksaan. Itulah sebabnya menjadi pengikut Yesus bukan karena paksaan, tapi harus dengan kerelaan. Sebab bila rela kita akan bisa melakukan ketiga hal tersebut. Sehingga mengikuti Yesus sebenarnya bukan ‘supaya sukses, kaya, terberkati’ tetapi supaya kita ‘menyangkal diri, merendahkan hati, dan meniadakan keberadaan kita untuk kehidupan orang lain.’ Penyangkalan diri merupakan sebuah sikap untuk tidak egois. Menyangkal diri dengan demikian berarti melupakan diri sendiri untuk siap berkorban bagi yang lain.
Setia pada janji
Memang jalan penderitaan Yesus tidak mudah, demikian juga menjadi pengikut Yesus. Tetapi, Yesus dengan setia menjalaninya. Kesetiaan Yesus kepada Allah mengingatkan kita kepada Abraham, yang juga setia menantikan janji Allah, meskipun melalui beragam penderitaan. Janji memang tema sentral dari narasi Abraham mulai dari pasal 12-25 di kitab Kejadian. Berulang kali Allah menyampaikan janji-Nya tentang tanah perjanjian dan keturunan. Janji-janji ini diucapkan Allah sebagai orang pertama, dan kebanyakan dari janji itu secara langsung ditujukan kepada Abraham. Dalam Kejadian 17:1-7 berintikan tentang keturunan yang ditujukan kepada Abraham.
Janji ini pada dasarnya tidak baru. Bahkan telah diberikan pada pasal 12, 13, 15 dan 16. Meski demikian dalam pasal 17 ini ada unsur baru yang penting untuk dicatat, terutama: adanya pengulangan sebanyak 13 kali untuk kata keturunan, ada pemahaman yang lebih luas tentang para bangsa, peneguhan perjanjian Allah bahwa Ia akan menjadi Allah Abraham dan keturunannya, dan Allah memberikan nama baru bagi Abraham, Sarai dan memperkenalkan nama-Nya sebagai El-Shaddai.
Mungkin hal yang paling mencolok adalah janji Allah kepada Sarai (Kej 17:15-16). Sarai menjadi bagian janji Allah tentang seorang putra dan keturunannya. Sebelumnya, Sarai memahami bahwa dia tidak perlu menjadi ibu yang melahirkan anak yang dijanjikan kepada Abram. Oleh karena itu, ia memakai cara adat untuk mendapatkan anak-anak, yaitu memberikan Hagar, budak perempuan untuk ditiduri Abram (Kej 16:1-6). Karena adanya perjanjian dengan Allah inilah, Sarai menjadi satu-satunya wanita dalam Alkitab yang namanya diubah oleh Tuhan.
Hal yang sama dilakukan oleh Allah kepada Abram, yang namanya juga diganti. Abram memiliki arti ‘bapa yang terhormat’, dan Abraham berarti ‘bapa bagi banyak orang’. Dengan mengubah nama, Allah memampukan Abraham untuk memulai hidup baru, dan menjadi seperti apa yang dinyatakan oleh namanya yang baru. Abraham dan keluarganya dikelilingi dengan janji-janji ilahi. Untuk tetap hidup dalam berbagai janji itu, Abraham membutuhkan iman. Hanya dengan iman seseorang memiliki kesetiaan kepada janji ilahi.
Kesetiaan pada janji, itulah yang dilakukan oleh Yesus dalam menempuh penderitaan. Secara puitis gambaran ini diceritakan dalam Mazmur 22, yang dikutip oleh Yesus dalam penderitaanNya. Mazmur 22 adalah nyanyian pujian kepada Allah, karena Allah demikian murah dan penuh kasih setia. Allah mendengar tangisan pemazmur, dan Allah tidak menghina orang yang menderita. Bahkan pujian ini juga dinaikkan oleh, “semua orang yang turun ke dalam debu, dan orang yang tidak dapat menyambung hidup”. (ayat 30a). itulah sebabnya, ditengah penderitaannya pemazmur tetap memuji nama Tuhan, “Allahku, Allahku….”
Kesetiaan kepada janji Allah, akan membuat kita kuat dalam menjalani penderitaan. Bahkan kesetiaan kepada janji Allah memungkinkan kita menerima anugerah keselamatan. Hal ini tampak sekali dalam Roma 4. Di Roma 4, rasul Paulus membela diri sebab dituduh terlalu mudah memberikan syarat bagi non-Yahudi untuk percaya kepada Kristus. Ini dikarenakan Paulus tidak memaksa mereka menjadi seperti orang Yahudi dan mentaati Taurat atau sunat. Menurut Paulus, sebelum Taurat Musa, Allah telah memberikan iman kepada Abraham yang lebih mendasar dan luas. Paulus balik bertanya, “Bagaimana Abraham dapat menjadi sahabat Allah dan mengapa ia diangkat menjadi contoh bagi orang beriman? Apakah karena ia percaya akan janji-janji Allah ataukah karena ia telah menerima sunat dalam tubuhnya? Kita menjadi sahabat Allah jika kita percaya pada janji-janji-Nya”.
Memang manusia dibenarkan oleh iman, seperti imannya Abraham. Abraham dibenarkan oleh Tuhan karena ia percaya bahwa Allah akan memenuhi janji-Nya (Roma 4:1-5). Abraham diberikan janji tentang keturunan, bukan karena ia telah melakukan hukum Taurat, tetapi karena iman. Jika Abraham mendapatkan janji keturunan itu karena hukum Taurat, maka ia belum tentu akan menerima janji Allah itu, karena Taurat itu justru membebani.
Panggilan
Janji Tuhan kepada abraham diberikan berdasarkan kasih Allah. Paulus menegaskan ini dalam ayat 23-24, “….hal ini diperhitungkan kepadanya…”. Ini tidak ditulis untuk Abraham saja, tetapi ditulis untuk kita. Itulah sebabnya, Paulus menyatakan bahwa ‘kita dibenarkan melalui iman, dan bukan melalui kesetiaan pada hukum-hukum agama secara hurufiah.’ Hanya karena iman, kita selamat. Inilah yang juga menjadi semboyan Protestan. Dalam Protestan kita mengenal semboyan ‘sola fide, sola gracia, sola scritura’, atau ‘hanya karena iman, hanya karena anugerah, hanya karena Alkitab’. Keselamatan yang kita terima bukan karena kita baik, bukan karena kita soleh, melainkan karena kita beriman kepada Tuhan Yesus. itulah sebabnya mengimani Yesus harus kita lakukan sampai kapan pun dan dalam keadaan bagaimana pun.
Jika Paulus mengajak kita tetap beriman, maka sudah selayaknya kita juga memikul salib. Ya, berani memikul salib, seperti Yesus mau menempuh jalan penderitaan. Ini dikarenakan setiap pengikut Kristus akan memikul salibnya sendiri, yaitu ‘menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Yesus’. Dalam memikul salib dibutuhkan kesetiaan, sebab hanya orang-orang yang setia yang bisa memikul salib sampai akhir hayat. Jelas ini tidak mudah, sebab fakta di lingkungan banyak juga orang yang ‘merasa berat, jodohnya sulit, demi kejar karir, demi kejar uang’, lalu menjual salib dengan cara tidak mau lagi menjadi pengikut Kristus. Jika ini terjadi sama halnya ia menolak keselamatan yang telah ia terima. Memang menjadi pengikut Kristus harus setia menghadapi tantangan, sebab perjalanan penderitaan selalu ada. Yang setialah yang berhasil. Amin
Pengantar
Kata ‘salib’ bukan kata asing bagi kita, apalagi ‘benda salib’ seperti ini (sambil menunjukkan benda salib). Bahkan salib ini merupakan lambang identitas Kristen. Salib ini bisa terbuat dari apapun, mulai dari: kayu, besi, perak bahkan sampai emas. Coba perhatikan, bagaimana jika salib ini terbuat dari emas? Tentu akan ada kesan ‘indah, mahal ataupun glamour’. Bagaimana juga jika salib ini kita taruh di dinding? Tentu hanya akan menjadi ‘hiasan, pajangan ataupun asesoris di rumah kita saja’. Ada pertanyaan yang agak nakal, mungkinkan ada pergeseran makna di dalam hati kita, untuk lebih memilih ‘salib yang indah, ringan, bagus, mahal’ daripada ‘salib yang berat, melukai dan menyimbolkan makna penderitaan?’
Ada sebuah ilustrasi yang menarik tentang salib dari teolog Jepang, Kosuke Koyama. Dalam bukunya, “Tidak Ada Gagang Pada salib”, ia menuliskan bahwa “mengikut Kristus, berarti berjalan di salib. Salib bukan tas, rantang makanan atau ember yang punya gagang (pegangan) dan bisa di tenteng. Salib tidak punya gagang: harus dipikul. Karena itu, ikut Yesus tidak berarti jalan kita menjadi mulus tanpa penderitaan. Sebaliknya, salib adalah penderitaan. Seraya melintasi jalanan panjang menuju surga, kita memikul salib kita. Kita tidak mungkin memikul salib sambil korupsi, sambil menghalalkan segala cara. Coba kita bayangkan: jika pada saat memikul salib, karena lelah di tengah jalan kita memotongnya sedikit, lalu kemudian kita potong lagi, maka pada akhir perjalanan yang kita pikul bukan lagi salib, tetapi hanya potongan kayu. Tentu, kita tidak ikut masuk ke pesta sukacita sorgawi tanpa salib yang utuh, salib yang tak bergagang.”
Jalan penderitaan
Dengan demikian, mau tidak mau, ketika seseorang mengaku menjadi murid Kristus, ia harus mau ‘memikul salib’, atau mau menderita bersama Kristus. Hal inilah yang dikatakan oleh Yesus kepada murid-muridNya. Ketika Yesus dan para murid berada di Kaisarea-Filipi, sebuah kota yang terletak di Utara, di kaki gunung Hermon di daerah yang netral. Memang percakapan tentang siapa diri-Nya tidak dilakukan di Galilea, tempat asal-Nya. Bukan juga di Yudea, wilayah keyahudian resmi. Tidak pula di Samaria, yang tidak menerima keyahudian resmi, melainkan di luar semua itu, di daerah yang netral.
Di Kaisarea-Filipi, tempat yang netral itu, para murid memperbincangkan 3 macam pandangan mengenai Yesus: (1) anggapan orang banyak, (2) anggapan dari lingkup yang lebih khusus, ahli Taurat dan orang Farisi, dan (3) anggapan para murid sendiri. Jika kita mengikuti alur narasi Markus hingga pasal 8, kita akan melihat dengan jelas besarnya harapan dan keinginan di berbagai kalangan. Yesus dibayangkan, seperti: sosok Yohanes Pembaptis, Elia dan Nabi lain. Namun pandangan para murid diwakili oleh Petrus, yang berkata bahwa Yesus adalah Mesias. Yesus meminta agar Petrus tidak menyebar-luaskan gagasannya itu. Yesus malah membicarakan Diri-Nya dengan ungkapan “Anak Manusia”. Gambaran Anak Manusia menegaskan bahwa Yesus akan menanggung penderitaan, sampai mati di kayu salib. Secara jelas, Injil Markus menyatakan bahwa Ia akan diserahkan oleh para pemimpin agama untuk menderita, dan mati di kayu salib.
Lantas, bagaimana reaksi para muridNya setelah tahu bahwa Yesus akan menderita? Petrus berkata bahwa Yesus itu tokoh yang mulia, berkuasa, dan hakim bagi orang yang hidup dan mati. Itulah sebabnya, Petrus menegaskan mana boleh Anak Manusia itu menderita dan dibunuh! Atas nama teman-temannya (ayat 33), Petrus juga membantah ucapan Yesus yang menurut Petrus jelas suatu kekeliruan (ayat 32). Yesus pun segera membentak pendapat Petrus sebagai sesat! Malah Petrus dicaci maki sebagai ‘Iblis’ yang ingin menyelewengkan Yesus dari rencana Allah.
Bagi Yesus, apa yang dikatakan Petrus bertolak belakang dengan rencana Allah. Sebab sebagai Anak Manusia, Yesus harus mau menderita dan mati untuk menebus dosa manusia. Bagi Yesus, kehadiranNya di dunia ini adalah untuk menebus dosa manusia lewat penderitaanNya. Maka kepada para pengikutNya, Yesus juga memberikan salib yang harus dipikulnya. Hal ini tampak sekali dalam ayat 34, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.”
Dari ayat tersebut setidaknya ada 3 syarat menjadi pengikut Kristus, “menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Yesus”. Ini syarat bukan paksaan. Itulah sebabnya menjadi pengikut Yesus bukan karena paksaan, tapi harus dengan kerelaan. Sebab bila rela kita akan bisa melakukan ketiga hal tersebut. Sehingga mengikuti Yesus sebenarnya bukan ‘supaya sukses, kaya, terberkati’ tetapi supaya kita ‘menyangkal diri, merendahkan hati, dan meniadakan keberadaan kita untuk kehidupan orang lain.’ Penyangkalan diri merupakan sebuah sikap untuk tidak egois. Menyangkal diri dengan demikian berarti melupakan diri sendiri untuk siap berkorban bagi yang lain.
Setia pada janji
Memang jalan penderitaan Yesus tidak mudah, demikian juga menjadi pengikut Yesus. Tetapi, Yesus dengan setia menjalaninya. Kesetiaan Yesus kepada Allah mengingatkan kita kepada Abraham, yang juga setia menantikan janji Allah, meskipun melalui beragam penderitaan. Janji memang tema sentral dari narasi Abraham mulai dari pasal 12-25 di kitab Kejadian. Berulang kali Allah menyampaikan janji-Nya tentang tanah perjanjian dan keturunan. Janji-janji ini diucapkan Allah sebagai orang pertama, dan kebanyakan dari janji itu secara langsung ditujukan kepada Abraham. Dalam Kejadian 17:1-7 berintikan tentang keturunan yang ditujukan kepada Abraham.
Janji ini pada dasarnya tidak baru. Bahkan telah diberikan pada pasal 12, 13, 15 dan 16. Meski demikian dalam pasal 17 ini ada unsur baru yang penting untuk dicatat, terutama: adanya pengulangan sebanyak 13 kali untuk kata keturunan, ada pemahaman yang lebih luas tentang para bangsa, peneguhan perjanjian Allah bahwa Ia akan menjadi Allah Abraham dan keturunannya, dan Allah memberikan nama baru bagi Abraham, Sarai dan memperkenalkan nama-Nya sebagai El-Shaddai.
Mungkin hal yang paling mencolok adalah janji Allah kepada Sarai (Kej 17:15-16). Sarai menjadi bagian janji Allah tentang seorang putra dan keturunannya. Sebelumnya, Sarai memahami bahwa dia tidak perlu menjadi ibu yang melahirkan anak yang dijanjikan kepada Abram. Oleh karena itu, ia memakai cara adat untuk mendapatkan anak-anak, yaitu memberikan Hagar, budak perempuan untuk ditiduri Abram (Kej 16:1-6). Karena adanya perjanjian dengan Allah inilah, Sarai menjadi satu-satunya wanita dalam Alkitab yang namanya diubah oleh Tuhan.
Hal yang sama dilakukan oleh Allah kepada Abram, yang namanya juga diganti. Abram memiliki arti ‘bapa yang terhormat’, dan Abraham berarti ‘bapa bagi banyak orang’. Dengan mengubah nama, Allah memampukan Abraham untuk memulai hidup baru, dan menjadi seperti apa yang dinyatakan oleh namanya yang baru. Abraham dan keluarganya dikelilingi dengan janji-janji ilahi. Untuk tetap hidup dalam berbagai janji itu, Abraham membutuhkan iman. Hanya dengan iman seseorang memiliki kesetiaan kepada janji ilahi.
Kesetiaan pada janji, itulah yang dilakukan oleh Yesus dalam menempuh penderitaan. Secara puitis gambaran ini diceritakan dalam Mazmur 22, yang dikutip oleh Yesus dalam penderitaanNya. Mazmur 22 adalah nyanyian pujian kepada Allah, karena Allah demikian murah dan penuh kasih setia. Allah mendengar tangisan pemazmur, dan Allah tidak menghina orang yang menderita. Bahkan pujian ini juga dinaikkan oleh, “semua orang yang turun ke dalam debu, dan orang yang tidak dapat menyambung hidup”. (ayat 30a). itulah sebabnya, ditengah penderitaannya pemazmur tetap memuji nama Tuhan, “Allahku, Allahku….”
Kesetiaan kepada janji Allah, akan membuat kita kuat dalam menjalani penderitaan. Bahkan kesetiaan kepada janji Allah memungkinkan kita menerima anugerah keselamatan. Hal ini tampak sekali dalam Roma 4. Di Roma 4, rasul Paulus membela diri sebab dituduh terlalu mudah memberikan syarat bagi non-Yahudi untuk percaya kepada Kristus. Ini dikarenakan Paulus tidak memaksa mereka menjadi seperti orang Yahudi dan mentaati Taurat atau sunat. Menurut Paulus, sebelum Taurat Musa, Allah telah memberikan iman kepada Abraham yang lebih mendasar dan luas. Paulus balik bertanya, “Bagaimana Abraham dapat menjadi sahabat Allah dan mengapa ia diangkat menjadi contoh bagi orang beriman? Apakah karena ia percaya akan janji-janji Allah ataukah karena ia telah menerima sunat dalam tubuhnya? Kita menjadi sahabat Allah jika kita percaya pada janji-janji-Nya”.
Memang manusia dibenarkan oleh iman, seperti imannya Abraham. Abraham dibenarkan oleh Tuhan karena ia percaya bahwa Allah akan memenuhi janji-Nya (Roma 4:1-5). Abraham diberikan janji tentang keturunan, bukan karena ia telah melakukan hukum Taurat, tetapi karena iman. Jika Abraham mendapatkan janji keturunan itu karena hukum Taurat, maka ia belum tentu akan menerima janji Allah itu, karena Taurat itu justru membebani.
Panggilan
Janji Tuhan kepada abraham diberikan berdasarkan kasih Allah. Paulus menegaskan ini dalam ayat 23-24, “….hal ini diperhitungkan kepadanya…”. Ini tidak ditulis untuk Abraham saja, tetapi ditulis untuk kita. Itulah sebabnya, Paulus menyatakan bahwa ‘kita dibenarkan melalui iman, dan bukan melalui kesetiaan pada hukum-hukum agama secara hurufiah.’ Hanya karena iman, kita selamat. Inilah yang juga menjadi semboyan Protestan. Dalam Protestan kita mengenal semboyan ‘sola fide, sola gracia, sola scritura’, atau ‘hanya karena iman, hanya karena anugerah, hanya karena Alkitab’. Keselamatan yang kita terima bukan karena kita baik, bukan karena kita soleh, melainkan karena kita beriman kepada Tuhan Yesus. itulah sebabnya mengimani Yesus harus kita lakukan sampai kapan pun dan dalam keadaan bagaimana pun.
Jika Paulus mengajak kita tetap beriman, maka sudah selayaknya kita juga memikul salib. Ya, berani memikul salib, seperti Yesus mau menempuh jalan penderitaan. Ini dikarenakan setiap pengikut Kristus akan memikul salibnya sendiri, yaitu ‘menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Yesus’. Dalam memikul salib dibutuhkan kesetiaan, sebab hanya orang-orang yang setia yang bisa memikul salib sampai akhir hayat. Jelas ini tidak mudah, sebab fakta di lingkungan banyak juga orang yang ‘merasa berat, jodohnya sulit, demi kejar karir, demi kejar uang’, lalu menjual salib dengan cara tidak mau lagi menjadi pengikut Kristus. Jika ini terjadi sama halnya ia menolak keselamatan yang telah ia terima. Memang menjadi pengikut Kristus harus setia menghadapi tantangan, sebab perjalanan penderitaan selalu ada. Yang setialah yang berhasil. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar