Kis. 8:26-40; Mzm. 22:26-32; I Yoh. 4:7-21; Yoh. 15:1-8
Pengantar
Siapakah di antara kita yang tidak menyukai situasi yang serba aman? Memang keadaan aman membuat kita damai, bersikap dengan bijak dan juga harmonis. Sehingga apabila kita telah menikmati situasi yang serba aman dan nyaman, maka kita tidak ingin terganggu sedikitpun. Kita tidak ingin keluar dari “zona aman” tersebut. Kalau perlu kita akan selalu berupaya agar “zona aman” tersebut semakin hari semakin menguat. Dengan cara, kita akan lebih berupaya agar kita memiliki lingkungan yang lebih eksklusif, misalkan: orang-orang yang se-“level”, se-“pendidikan”, se-“agama”, se-“etnis”, se-“hobi”, sosial-ekonomi yang sama, dan sebagainya. Kebutuhan akan lingkungan orang-orang yang se-“level” pada satu pihak dapat meningkatkan kualitas keakraban dan mutu kehidupan kita. Sebab pergaulan dengan orang-orang yang se-“level” tersebut kita dimampukan untuk menjalin komunikasi yang relatif lebih mudah dan lancar. Konflik dan kesalahpahaman sedikit banyak bisa dihindari dari pada kita harus menghadapi sesama yang serba berbeda. Tetapi pada pihak lain, apakah dibenarkan pergaulan kita sehari-hari hanya terbatas oleh orang-orang yang setingkat saja? Ingatlah, masyarakat kita adalah masyarakat yang serba majemuk dan karena itu tidaklah perlu kita terkungkung oleh “zona aman”.
Buah ketaatan, keluar zona aman
Seandainya Filipus sebagai murid Kristus lebih menyukai rasa aman, maka dia akan memilih selalu tinggal di rumah dan berinteraksi dengan orang-orang yang dia sukai. Tetapi karena ketaatannya pada Kristus, Filipus peka dengan panggilan Tuhan. Filipus mendengar suara Roh yang berkata agar dia segera bangun dan berangkat ke sebelah selatan menurut jalan yang turun dari Yerusalem ke Gaza. Secara manusiawi betapa sulit bagi setiap orang untuk meninggalkan tempat kediamannya dan melakukan perjalanan ke suatu tempat yang tidak terlalu dikenal. Apalagi tempat yang dimaksud oleh Roh tersebut adalah suatu tempat yang sunyi (Kis. 8:26). Siapakah di antara kita yang ingin pergi ke tempat yang sunyi hanya untuk menjumpai seseorang yang tidak dikenal? Dari sudut kepentingan apapun sebenarnya kita enggan alias tidak bersedia. Selain itu juga timbul perasaan takut untuk menjumpai dan bercakap-cakap dengan seorang asing di suatu tempat yang sunyi. Seandainya Filipus tidak digerakkan oleh ketaatannya kepada Kristus, maka dia tidak akan mau pergi ke suatu tempat yang sunyi dan menjumpai seseorang yang belum pernah dikenalnya.
Ternyata ketika Filipus sampai di tempat yang sunyi itu, dia menjumpai seorang Etiopia duduk di atas kereta kudanya. Dari penampilannya Filipus mengetahui bahwa orang Etiopia tersebut adalah seorang sida-sida, yakni orang yang sengaja dikebiri. Menurut peraturan di negeri Etiopia, seorang pria yang bekerja melayani seorang ratu, dia harus dikebiri. Dengan demikian, bagi seorang sida-sida tidak ada lagi keinginan untuk tertarik dan berhubungan seksual dengan seorang wanita. Sida-sida dari Etiopia yang dijumpai oleh Filipus tersebut sebenarnya memiliki jabatan yang cukup tinggi. Dia menjadi kepala perbendaharaan istana. Sebagai seorang pejabat tinggi, dia memiliki fasilitas bepergian jarak jauh dengan kereta pribadi ke Yerusalem untuk beribadah. Tampaknya sida-sida tersebut seorang simpatisan agama Yahudi. Itu sebabnya dia memiliki kumpulan kitab Suci, yang salah satunya adalah kitab nabi Yesaya.
Tetapi dengan kondisi fisiknya sebagai seorang sida-sida yang telah dikebiri, dapatkah dia diterima dalam komunitas umat Yahudi? Sebab untuk terhisab dalam persekutuan umat Israel, seseorang harus bersedia untuk disunat. Tetapi bagaimana mungkin dia harus disunat menurut hukum Taurat? Dengan kondisi fisiknya sebagai seorang yang dikebiri, maka tidak ada lagi bagian dari tubuhnya yang dapat disunat. Jadi dia tidak mungkin dapat terhisab dalam komunitas umat Allah. Sehingga setiap orang yang dikebiri secara hukum berada di luar lingkungan umat Allah.
Tetapi dia tertarik untuk membaca ayat-ayat Kitab Suci khususnya dengan ayat nubuat tentang hamba Tuhan yang menjadi seekor anak domba untuk dibawa ke pembantaian. Namun ayat dari Yes. 53:7-8 tersebut tetap tidak dimengertinya. Saat itulah Filipus digerakkan oleh Roh Kudus untuk menghampiri sida-sida tersebut. Ternyata sida-sida dari Etiopia tersebut sangat bersukacita dengan sapaan Filipus. Sehingga di atas kereta yang sedang berjalan terjadilah percakapan Filipus yang membukakan mata hati sida-sida. Dia diteguhkan bahwa yang dimaksud oleh nabi Yesaya tentang hamba Tuhan yang dibawa ke tempat pembantaian pada hakikatnya menunjuk kepada diri Yesus Kristus. Akhirnya sida-sida tersebut percaya bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah, dan dia mohon kepada Filipus agar dibaptiskan. Dari kesaksian tersebut, kita dapat melihat bahwa kasih Kristus selalu mampu menjadikan apa yang tidak mungkin (impossible) menjadi serba mungkin (possible). Walau dari sudut hukum Taurat yang sebenarnya tidak memungkinkan seorang yang telah dikebiri menjadi umat Allah, kini mereka dimungkinkan untuk menjadi umat Allah di dalam Yesus Kristus. Sebab yang dibutuhkan oleh setiap orang yang percaya kepada Kristus bukanlah sunat lahiriah, tetapi sunat rohaniah. Kasih Kristus senantiasa merangkul setiap orang yang sebelumnya tidak terjangkau oleh peraturan dan hukum agama.
Jadi jikalau kasih Kristus senantiasa merangkul setiap orang yang semula tidak terjangkau, maka seharusnya setiap umat yang percaya bersedia menjadi alat di tangan Kristus. Caranya? Ya, dengan ketaatannya mau pergi keluar dan berelasi dengan setiap sesama yang sedang haus mendengar berita keselamatan. Dengan ketaatan yang mau keluar dari ‘zona aman’ menemui “orang asing”, tentu akan diubah diubah menjadi sesama yang sungguh-sungguh dikenal. Bahkan setiap orang Kristen dipanggil untuk berbuah. Tak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan juga bagi orang lain. Itu berarti, setiap pengikut Kristus dipanggil untuk menyatakan Kabar Baik yang telah dialaminya kepada orang-orang di sekitarnya. Dan semuanya itu hanya mungkin terjadi ketika mereka tetap hidup di dalam Yesus, sebagaimana Filipus yang berbagi Kabar Baik kepada sida-sida dari Etiopia.
Inilah makna dari berbuah, yaitu mau membagikan kasih yang telah diterima. Berbuah juga berarti tidak hanya hidup untuk diri sendiri, melainkan hidup untuk orang lain. Akibatnya, hidup kita akan menjadi selalu berbuah lebat dan memberkati siapapun. Hidup yang seperti ini bisa saja terjadi dengan satu syarat, yaitu: tinggal di dalam Kristus.
Bertumpu Kepada Pokok Anggur
Itulah sebabnya, dalam Yoh. 15:5, Tuhan Yesus berkata, “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa”. Hubungan antara pokok anggur dengan ranting-rantingnya merupakan suatu gambaran yang menunjukkan suatu ikatan yang tidak terpisahkan. Apabila ranting tersebut putus dan terlepas dari pokok anggur yakni Kristus, maka dia akan segera layu dan mati. Demikian pula apabila umat manusia keluar dari relasinya dengan Kristus, maka mereka akan mati dan tidak dapat menghasilkan buah atau hidup yang bermakna.
Dengan perkataan lain, sumber kehidupan dan keselamatan pada hakikatnya terletak pada diri Kristus yang adalah pokok anggur. Perasaan aman, sejahtera, bahagia dan selamat hanya berada di dalam diri Kristus. Itu sebabnya setiap orang yang taat kepada Kristus tidak akan mengalami ketakutan yang sifatnya duniawi. Mereka telah menerima pengampunan dan pendamaian dengan Allah.
Di sinilah, kita selalu saja diingatkan bahwa segala ketakutan dan kecemasan yang kita alami bukan hanya berkaitan dengan segala peristiwa yang sedang terjadi saat ini, tetapi juga dengan apa yang akan terjadi. Sesungguhnya dalam hati setiap orang muncul suatu perasaan takut khususnya pada saat dia menghadapi ajal: “ke manakah aku akan pergi setelah ini?” Di sinilah kita selaku manusia selalu ingin mengetahui dengan persis ke mana kita akan pergi?
Namun dari sabda Kristus kita diingatkan bahwa setiap orang tidak akan sanggup menghadap takhta pengadilan Allah dengan kekuatan dan kebenarannya sendiri. Tuhan Yesus berkata, “Barangsiapa tidak tinggal di dalam Aku, ia dibuang ke luar seperti ranting dan menjadi kering, kemudian dikumpulkan orang dan dicampakkan ke dalam api lalu dibakar” (Yoh. 15:6). Di sini nampak sekali buah ketaatan seseorang pada kasih Kristus. Selama kita masih berpaut dengan Kristus, maka akan selalu hidup dan berkelimpahan. Namun sebaliknya, yang tidak taat akan mengalami kengerian atau penghukuman. Apabila manusia menolak Kristus di masa kini, maka dia akan kehilangan keselamatan di masa mendatang.
Dengan demikian keputusan etis-iman terhadap tawaran keselamatan Kristus perlu diambil saat manusia hidup di masa kini. Sikap yang sering menunda untuk menyambut Kristus sebenarnya menunjukkan bahwa dia tidak serius dengan anugerah keselamatan Allah di masa kini. Karena barangsiapa yang tidak tinggal di dalam Kristus, dia akan dibuang ke luar seperti ranting yang kering lalu dibakar. Karena itu ketakutan kita di saat ajal sebenarnya merupakan kulminasi dari seluruh ketidakpercayaan kita di masa lalu. Sebab setiap orang yang percaya dan mengenal kasih Kristus tidak akan mengalami ketakutan. Surat I Yoh. 4:18 berkata: “Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih”. Di dalam kasih Kristus yang sempurna, kita telah dibebaskan dari perasaan bersalah dan ancaman hukuman Allah.
Dengan demikian betapa pentingnya kepastian keselamatan di masa mendatang. Sebab sikap yang ragu dan tidak pasti akan keselamatan di masa mendatang dapat mendorong diri kita untuk merelatifkan nilai-nilai kehidupan di masa kini. Akibatnya jalan kehidupan kita selalu terombang-ambing dan tidak pernah menemukan tempat tumpuan yang seharusnya. Padahal segala sesuatu yang serba relatif dan terus menerus terombang-ambingkan di antara berbagai “kebenaran” pada hakikatnya tidak pernah mampu untuk membawa kita kepada suatu pendalaman makna. Itu sebabnya cukup banyak orang yang merasa hidupnya hampa dan tidak berharga. Dia tidak tahu mengapa hidup di masa kini? Dia juga tidak tahu apa artinya bekerja selain untuk mencari uang dan mencukupi berbagai kebutuhan sehari-hari.
Tetapi bagi orang yang telah memperoleh kepastian keselamatan di masa mendatang, dia juga diyakinkan bahwa nilai-nilai iman yang dia hayati saat ini merupakan sesuatu yang mulia dan perlu diwujudnyatakan secara konkret. Pola kehidupannya menjadi lebih efisien dan efektif. Tidak ada lagi suatu keragu-raguan. Juga tidak ada ketakutan eksistensial akan keselamatan di masa mendatang. Sebab semuanya dilabuhkan secara kokoh dalam relasi personal dengan Tuhan Yesus. Surat I Yoh. 4:17 berkata, “Dalam hal inilah kasih Allah sempurna di dalam kita, yaitu kalau kita mempunyai keberanian percaya pada hari penghakiman, karena sama seperti Dia, kita juga ada di dalam dunia ini”. Iman kepada Kristus membebaskan kita dari kuasa dosa di masa kini, tetapi juga memberi kepastian keselamatan di masa mendatang.
Panggilan
Belajarlah dari buah ketaatan Kristus. Dimana Tuhan Yesus telah menyerahkan nyawaNya bagi kita. Dia telah meninggalkan zona amanNya di sorga agar dapat menjumpai dan hadir di tengah-tengah kehidupan dan pergumulan kita. Sebagai umat percaya kita dipanggil untuk menempatkan seluruh hidup kita di dalam ikatan relasi kasihNya. Sehingga kita dimampukan untuk selalu peka terhadap kehendak RohNya, yang mana Dia memanggil kita untuk memberitakan karya keselamatan Allah kepada sesama yang selama ini tidak terjangkau. Kristus juga memanggil kita agar selalu hidup dalam ketaatan kepada-Nya. Jika kita hidup seperti ranting yang terkait erat dengan pokok anggur, maka kita akan mengalami damai-sejahtera dan keselamatan yang tidak dapat diberikan oleh dunia. Karena itu kasih Kristus juga akan membebaskan diri kita dari ancaman murka Allah. KasihNya menjamin keselamatan kita, sehingga kita dapat berdiri di hadapan takhta pengadilan Allah. Jika demikian, apakah kehidupan saudara dipenuhi oleh ketaatan kepadaNya? Ataukah kehidupan saudara dipenuhi oleh berbagai ketakutan sebagai akibat ketidaktaatan kepada-Nya? Amin.
Pengantar
Siapakah di antara kita yang tidak menyukai situasi yang serba aman? Memang keadaan aman membuat kita damai, bersikap dengan bijak dan juga harmonis. Sehingga apabila kita telah menikmati situasi yang serba aman dan nyaman, maka kita tidak ingin terganggu sedikitpun. Kita tidak ingin keluar dari “zona aman” tersebut. Kalau perlu kita akan selalu berupaya agar “zona aman” tersebut semakin hari semakin menguat. Dengan cara, kita akan lebih berupaya agar kita memiliki lingkungan yang lebih eksklusif, misalkan: orang-orang yang se-“level”, se-“pendidikan”, se-“agama”, se-“etnis”, se-“hobi”, sosial-ekonomi yang sama, dan sebagainya. Kebutuhan akan lingkungan orang-orang yang se-“level” pada satu pihak dapat meningkatkan kualitas keakraban dan mutu kehidupan kita. Sebab pergaulan dengan orang-orang yang se-“level” tersebut kita dimampukan untuk menjalin komunikasi yang relatif lebih mudah dan lancar. Konflik dan kesalahpahaman sedikit banyak bisa dihindari dari pada kita harus menghadapi sesama yang serba berbeda. Tetapi pada pihak lain, apakah dibenarkan pergaulan kita sehari-hari hanya terbatas oleh orang-orang yang setingkat saja? Ingatlah, masyarakat kita adalah masyarakat yang serba majemuk dan karena itu tidaklah perlu kita terkungkung oleh “zona aman”.
Buah ketaatan, keluar zona aman
Seandainya Filipus sebagai murid Kristus lebih menyukai rasa aman, maka dia akan memilih selalu tinggal di rumah dan berinteraksi dengan orang-orang yang dia sukai. Tetapi karena ketaatannya pada Kristus, Filipus peka dengan panggilan Tuhan. Filipus mendengar suara Roh yang berkata agar dia segera bangun dan berangkat ke sebelah selatan menurut jalan yang turun dari Yerusalem ke Gaza. Secara manusiawi betapa sulit bagi setiap orang untuk meninggalkan tempat kediamannya dan melakukan perjalanan ke suatu tempat yang tidak terlalu dikenal. Apalagi tempat yang dimaksud oleh Roh tersebut adalah suatu tempat yang sunyi (Kis. 8:26). Siapakah di antara kita yang ingin pergi ke tempat yang sunyi hanya untuk menjumpai seseorang yang tidak dikenal? Dari sudut kepentingan apapun sebenarnya kita enggan alias tidak bersedia. Selain itu juga timbul perasaan takut untuk menjumpai dan bercakap-cakap dengan seorang asing di suatu tempat yang sunyi. Seandainya Filipus tidak digerakkan oleh ketaatannya kepada Kristus, maka dia tidak akan mau pergi ke suatu tempat yang sunyi dan menjumpai seseorang yang belum pernah dikenalnya.
Ternyata ketika Filipus sampai di tempat yang sunyi itu, dia menjumpai seorang Etiopia duduk di atas kereta kudanya. Dari penampilannya Filipus mengetahui bahwa orang Etiopia tersebut adalah seorang sida-sida, yakni orang yang sengaja dikebiri. Menurut peraturan di negeri Etiopia, seorang pria yang bekerja melayani seorang ratu, dia harus dikebiri. Dengan demikian, bagi seorang sida-sida tidak ada lagi keinginan untuk tertarik dan berhubungan seksual dengan seorang wanita. Sida-sida dari Etiopia yang dijumpai oleh Filipus tersebut sebenarnya memiliki jabatan yang cukup tinggi. Dia menjadi kepala perbendaharaan istana. Sebagai seorang pejabat tinggi, dia memiliki fasilitas bepergian jarak jauh dengan kereta pribadi ke Yerusalem untuk beribadah. Tampaknya sida-sida tersebut seorang simpatisan agama Yahudi. Itu sebabnya dia memiliki kumpulan kitab Suci, yang salah satunya adalah kitab nabi Yesaya.
Tetapi dengan kondisi fisiknya sebagai seorang sida-sida yang telah dikebiri, dapatkah dia diterima dalam komunitas umat Yahudi? Sebab untuk terhisab dalam persekutuan umat Israel, seseorang harus bersedia untuk disunat. Tetapi bagaimana mungkin dia harus disunat menurut hukum Taurat? Dengan kondisi fisiknya sebagai seorang yang dikebiri, maka tidak ada lagi bagian dari tubuhnya yang dapat disunat. Jadi dia tidak mungkin dapat terhisab dalam komunitas umat Allah. Sehingga setiap orang yang dikebiri secara hukum berada di luar lingkungan umat Allah.
Tetapi dia tertarik untuk membaca ayat-ayat Kitab Suci khususnya dengan ayat nubuat tentang hamba Tuhan yang menjadi seekor anak domba untuk dibawa ke pembantaian. Namun ayat dari Yes. 53:7-8 tersebut tetap tidak dimengertinya. Saat itulah Filipus digerakkan oleh Roh Kudus untuk menghampiri sida-sida tersebut. Ternyata sida-sida dari Etiopia tersebut sangat bersukacita dengan sapaan Filipus. Sehingga di atas kereta yang sedang berjalan terjadilah percakapan Filipus yang membukakan mata hati sida-sida. Dia diteguhkan bahwa yang dimaksud oleh nabi Yesaya tentang hamba Tuhan yang dibawa ke tempat pembantaian pada hakikatnya menunjuk kepada diri Yesus Kristus. Akhirnya sida-sida tersebut percaya bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah, dan dia mohon kepada Filipus agar dibaptiskan. Dari kesaksian tersebut, kita dapat melihat bahwa kasih Kristus selalu mampu menjadikan apa yang tidak mungkin (impossible) menjadi serba mungkin (possible). Walau dari sudut hukum Taurat yang sebenarnya tidak memungkinkan seorang yang telah dikebiri menjadi umat Allah, kini mereka dimungkinkan untuk menjadi umat Allah di dalam Yesus Kristus. Sebab yang dibutuhkan oleh setiap orang yang percaya kepada Kristus bukanlah sunat lahiriah, tetapi sunat rohaniah. Kasih Kristus senantiasa merangkul setiap orang yang sebelumnya tidak terjangkau oleh peraturan dan hukum agama.
Jadi jikalau kasih Kristus senantiasa merangkul setiap orang yang semula tidak terjangkau, maka seharusnya setiap umat yang percaya bersedia menjadi alat di tangan Kristus. Caranya? Ya, dengan ketaatannya mau pergi keluar dan berelasi dengan setiap sesama yang sedang haus mendengar berita keselamatan. Dengan ketaatan yang mau keluar dari ‘zona aman’ menemui “orang asing”, tentu akan diubah diubah menjadi sesama yang sungguh-sungguh dikenal. Bahkan setiap orang Kristen dipanggil untuk berbuah. Tak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan juga bagi orang lain. Itu berarti, setiap pengikut Kristus dipanggil untuk menyatakan Kabar Baik yang telah dialaminya kepada orang-orang di sekitarnya. Dan semuanya itu hanya mungkin terjadi ketika mereka tetap hidup di dalam Yesus, sebagaimana Filipus yang berbagi Kabar Baik kepada sida-sida dari Etiopia.
Inilah makna dari berbuah, yaitu mau membagikan kasih yang telah diterima. Berbuah juga berarti tidak hanya hidup untuk diri sendiri, melainkan hidup untuk orang lain. Akibatnya, hidup kita akan menjadi selalu berbuah lebat dan memberkati siapapun. Hidup yang seperti ini bisa saja terjadi dengan satu syarat, yaitu: tinggal di dalam Kristus.
Bertumpu Kepada Pokok Anggur
Itulah sebabnya, dalam Yoh. 15:5, Tuhan Yesus berkata, “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa”. Hubungan antara pokok anggur dengan ranting-rantingnya merupakan suatu gambaran yang menunjukkan suatu ikatan yang tidak terpisahkan. Apabila ranting tersebut putus dan terlepas dari pokok anggur yakni Kristus, maka dia akan segera layu dan mati. Demikian pula apabila umat manusia keluar dari relasinya dengan Kristus, maka mereka akan mati dan tidak dapat menghasilkan buah atau hidup yang bermakna.
Dengan perkataan lain, sumber kehidupan dan keselamatan pada hakikatnya terletak pada diri Kristus yang adalah pokok anggur. Perasaan aman, sejahtera, bahagia dan selamat hanya berada di dalam diri Kristus. Itu sebabnya setiap orang yang taat kepada Kristus tidak akan mengalami ketakutan yang sifatnya duniawi. Mereka telah menerima pengampunan dan pendamaian dengan Allah.
Di sinilah, kita selalu saja diingatkan bahwa segala ketakutan dan kecemasan yang kita alami bukan hanya berkaitan dengan segala peristiwa yang sedang terjadi saat ini, tetapi juga dengan apa yang akan terjadi. Sesungguhnya dalam hati setiap orang muncul suatu perasaan takut khususnya pada saat dia menghadapi ajal: “ke manakah aku akan pergi setelah ini?” Di sinilah kita selaku manusia selalu ingin mengetahui dengan persis ke mana kita akan pergi?
Namun dari sabda Kristus kita diingatkan bahwa setiap orang tidak akan sanggup menghadap takhta pengadilan Allah dengan kekuatan dan kebenarannya sendiri. Tuhan Yesus berkata, “Barangsiapa tidak tinggal di dalam Aku, ia dibuang ke luar seperti ranting dan menjadi kering, kemudian dikumpulkan orang dan dicampakkan ke dalam api lalu dibakar” (Yoh. 15:6). Di sini nampak sekali buah ketaatan seseorang pada kasih Kristus. Selama kita masih berpaut dengan Kristus, maka akan selalu hidup dan berkelimpahan. Namun sebaliknya, yang tidak taat akan mengalami kengerian atau penghukuman. Apabila manusia menolak Kristus di masa kini, maka dia akan kehilangan keselamatan di masa mendatang.
Dengan demikian keputusan etis-iman terhadap tawaran keselamatan Kristus perlu diambil saat manusia hidup di masa kini. Sikap yang sering menunda untuk menyambut Kristus sebenarnya menunjukkan bahwa dia tidak serius dengan anugerah keselamatan Allah di masa kini. Karena barangsiapa yang tidak tinggal di dalam Kristus, dia akan dibuang ke luar seperti ranting yang kering lalu dibakar. Karena itu ketakutan kita di saat ajal sebenarnya merupakan kulminasi dari seluruh ketidakpercayaan kita di masa lalu. Sebab setiap orang yang percaya dan mengenal kasih Kristus tidak akan mengalami ketakutan. Surat I Yoh. 4:18 berkata: “Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih”. Di dalam kasih Kristus yang sempurna, kita telah dibebaskan dari perasaan bersalah dan ancaman hukuman Allah.
Dengan demikian betapa pentingnya kepastian keselamatan di masa mendatang. Sebab sikap yang ragu dan tidak pasti akan keselamatan di masa mendatang dapat mendorong diri kita untuk merelatifkan nilai-nilai kehidupan di masa kini. Akibatnya jalan kehidupan kita selalu terombang-ambing dan tidak pernah menemukan tempat tumpuan yang seharusnya. Padahal segala sesuatu yang serba relatif dan terus menerus terombang-ambingkan di antara berbagai “kebenaran” pada hakikatnya tidak pernah mampu untuk membawa kita kepada suatu pendalaman makna. Itu sebabnya cukup banyak orang yang merasa hidupnya hampa dan tidak berharga. Dia tidak tahu mengapa hidup di masa kini? Dia juga tidak tahu apa artinya bekerja selain untuk mencari uang dan mencukupi berbagai kebutuhan sehari-hari.
Tetapi bagi orang yang telah memperoleh kepastian keselamatan di masa mendatang, dia juga diyakinkan bahwa nilai-nilai iman yang dia hayati saat ini merupakan sesuatu yang mulia dan perlu diwujudnyatakan secara konkret. Pola kehidupannya menjadi lebih efisien dan efektif. Tidak ada lagi suatu keragu-raguan. Juga tidak ada ketakutan eksistensial akan keselamatan di masa mendatang. Sebab semuanya dilabuhkan secara kokoh dalam relasi personal dengan Tuhan Yesus. Surat I Yoh. 4:17 berkata, “Dalam hal inilah kasih Allah sempurna di dalam kita, yaitu kalau kita mempunyai keberanian percaya pada hari penghakiman, karena sama seperti Dia, kita juga ada di dalam dunia ini”. Iman kepada Kristus membebaskan kita dari kuasa dosa di masa kini, tetapi juga memberi kepastian keselamatan di masa mendatang.
Panggilan
Belajarlah dari buah ketaatan Kristus. Dimana Tuhan Yesus telah menyerahkan nyawaNya bagi kita. Dia telah meninggalkan zona amanNya di sorga agar dapat menjumpai dan hadir di tengah-tengah kehidupan dan pergumulan kita. Sebagai umat percaya kita dipanggil untuk menempatkan seluruh hidup kita di dalam ikatan relasi kasihNya. Sehingga kita dimampukan untuk selalu peka terhadap kehendak RohNya, yang mana Dia memanggil kita untuk memberitakan karya keselamatan Allah kepada sesama yang selama ini tidak terjangkau. Kristus juga memanggil kita agar selalu hidup dalam ketaatan kepada-Nya. Jika kita hidup seperti ranting yang terkait erat dengan pokok anggur, maka kita akan mengalami damai-sejahtera dan keselamatan yang tidak dapat diberikan oleh dunia. Karena itu kasih Kristus juga akan membebaskan diri kita dari ancaman murka Allah. KasihNya menjamin keselamatan kita, sehingga kita dapat berdiri di hadapan takhta pengadilan Allah. Jika demikian, apakah kehidupan saudara dipenuhi oleh ketaatan kepadaNya? Ataukah kehidupan saudara dipenuhi oleh berbagai ketakutan sebagai akibat ketidaktaatan kepada-Nya? Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar