Kisah 4:5-12; Mzm 23; 1 Yohanes 3:16–24; Yohanes 10:11-18
Pengantar
Masihkah kita ingat akan lagu Poppy Andaresta dengan lirik demikian,
Pengen punya mobil, mewah..
Lengkap dengan AC, tape dan sopir pribadi
(Wiih, kemana-mana tinggal minta anter deh. Pergi santai, sambil denger music sama temen-temen gw. Gak kepanasan lagi. Wuih.. dingin..)
Pengen punya rumah (gedong)
Lengkap dengan pelayan (perabotan lux, plus kolam renang. Kaya di film. Mau ini itu tinggal perintah. Hidup serasa di istana, trus kalo kepanasan, gw ajak temen-temen gw nyebur deh, basah..)
Andai a a a a aku jadi orang kaya
Andai a a a a anggak usah pake kerja (bisa gak ya?! gak bisa)
Andai a a a a aku jadi orang kaya
Andai a a a a anggak usah pake kerja …. dst.
Banyak orang, entah pada usia berapa, pernah berandai-andai. Ya, berandai-andai “menjadi orang lain, atau anak orang lain”. misalnya, seperti lagu tadi, berandai-andai menjadi orang kaya, konglemerat, segalanya tercukupi. Mereka berpikir, wah seandainya menjadi anak raja…., atau anaknya konglemerat…., pastilah hidupnya akan selalu senang dan bahagia. Mengapa? Karena sebagai anak raja atau orang kaya, segala kebutuhan dan keinginan mereka pasti akan terpenuhi.
Namun kita harus tetap menyadari, bahwa kita hidup dalam realitas, bukan dalam impian. Ini penting, sebab orang yang hanya hidup dalam impian, biasanya ia suka menggerutu, sulit bersyukur dan tidak memiliki daya tahan penderitaan. Sebaliknya, mereka yang menyadari hidup dalam realitas, biasanya akan terus berjuang, selalu bersyukur dan berani menghadapi tantangan. Lebih dari itu, kita sebagai umat Tuhan seharusnya juga berbahagia, sebagaimana lirik lagu diatas. Sebab menurut bacaan kita saat ini, kita memiliki Gembala yang baik.
Keakraban Gembala Dengan DombaNya
Gembala yang baik, tidak hanya menuntun domba-dombaNya ke padang yang berumput hijau dan air yang tenang, tetapi juga melindungi para domba dari segala ancaman dan marabahaya. Tidak hanya memberikan ‘berkat jasmani’ yang terbaik, tetapi juga berkat rohani yang paling dibutuhkan. Itulah sebabnya, kerinduan seorang gembala adalah memberikan kehidupan kekal dan berkelimpahan kepada domba-dombanya. Untuk itulah Tuhan Yesus rela memberikan nyawa-Nya sendiri di kayu salib. Namun sesudah tiga hari mati, Tuhan Yesus mengambil kembali nyawa-Nya, dan bangkit dari kubur. Hal ini tampak sekali dalam Paskah pertama. Mengapa ini terjadi? Tidak lain karena kasihNya kepada manusia.
Namun sayang sekali, tidak semua umat Tuhan menyadari anugerah yang besar ini. Akibatnya mereka tidak dapat menghayati pemeliharaan Tuhan yang mencukupi kebutuhan mereka. Tentu saja hal ini menyebabkan orang percaya kurang mampu bersyukur kepada Tuhan. Namun jika mereka sungguh-sungguh menyadari anugerah Tuhan yang memungkinkan mereka ‘menjadi domba dari gembala yang baik’, pastilah sikap dan perilaku mereka akan berbeda sekali. Misalnya, raja Daud dalam Mazmur 23.
Dalam Mazmur 23 ini, Daud menggambarkan TUHAN sebagai Allah yang memelihara hidupnya dengan penuh kasih dan perhatian. Bahkan lebih dari itu, TUHAN (dalam huruf besar semua), yang berarti YHWH, Allah yang bertahta di sorga, Pencipta Langit Bumi, dan Tidak Bisa Digambarkan dengan beragam gambaran, oleh Daud disebut dengan Gembala. Gembala? Ya, seseorang yang melakukan pekerjaan yang kurang terhormat, atau tidak terhormat. Daud sengaja tidak membubuhi istilah “gembala” itu dengan atribut “yang baik”. Sebab baginya, gembala adalah orang yang memang seperti itu. Gembala, yang betul-betul gembala, bukan orang upahan, akan selalu membawa domba-dombanya ke padang gurun yang berumput hijau, dan ke sungai yang berair tenang dan jernih.
Secara khusus Mazmur 23 lahir dari pergumulan pribadi seorang Daud. Pada saat ia berkuasa menjadi raja di Israel, ia mengalami peristiwa memalukan dan menyedihkan. Peristiwa itu adalah sang anaknya yang Absalom memberontak dan Daud kalah. Daud beserta rombongan melarikan diri, dan karena mereka tergesa-gesa lupa membawa perlengkapan. Ketika sampai di Mahanaim mereka kelaparan, dan kedinginan. Namun Daud mendapatkan bantuan dari orang lain yang sama sekali tidak dikenal, demikian juga orang itu juga tidak mengenal Daud. Dari sinilah iman Daud mengatakan, “Tuhan adalah Gembalaku, takkan kekurangan aku” (Mzm 23:1). Dengan pengakuan ini, Daud mengakui bahwa genggaman tangan Tuhan sebagai Gembalanya, dia merasakan kehidupan yang berkelimpahan.
Lebih jauh lagi dalam Yoh. 10, Tuhan Yesus juga menggambarkan diriNya sebagai Gembala dan kita adalah domba-dombaNya. Gambaran hubungan Gembala dengan domba-dombaNya menunjuk suatu hubungan kasih yang begitu akrab, sebagaimana hubungan Bapa dengan Anak. Di Yoh. 10:14-15, Tuhan Yesus berkata, “Akulah gembala yang baik dan Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku sama seperti Bapa mengenal Aku dan Aku mengenal Bapa, dan Aku memberikan nyawa-Ku bagi domba-domba-Ku”. Kristus menyebut diriNya sebagai Gembala yang baik dan mengenal domba-dombaNya. Bahkan Tuhan Yesus sebagai gembala yang baik pada hakikatnya mau menyerahkan nyawaNya bagi domba-dombaNya. Arti “mengenal” domba-domba dalam pengertian ini tidak hanya dipahami hanya sebagai batas “tahu” atau “paham” yang sifatnya kognitif. Tetapi makna “mengenal” domba-dombaNya dipahami oleh Kristus dengan suatu tindakan, yaitu mau menyerahkan nyawaNya agar domba-domba yang dikenalNya itu selamat dan memperoleh hidup yang kekal. Jadi makna “mengenal” dalam konteks ini justru dipahami oleh Kristus sebagai kesediaan untuk berkorban yang didasari oleh kasih.
Perilaku Gembala yang baik sangat berbeda dengan gembala yang tidak baik, yang sesungguhnya “bukan gembala”. Gembala yang buruk ini adalah “orang upahan”, yang menggembalakan domba demi upah, bukan karena cinta dan keterpanggilan. Gembala upahan ini akan lari begitu melihat ada bahaya mengancam. Mereka tidak peduli pada nasib para domba yang dipercayakan kepada mereka. Mereka membiarkan saja ketika srigala menerkam, mencabik-cabik, dan mencerai-beraikan para domba. Tindakan gembala yang jahat ini tidak akan dilakukan oleh gembala yang baik. Tuhan Yesus yang mengidentikkan diri sebagai gembala yang baik, akan tetap menjaga dan memelihara domba yang dipercayakan kepada-Nya. Bahkan dikatakanNya kembali, Ia akan memberikan nyawa bagi domba-dombaNya. Dan, hal ini dilakukan-Nya dengan kerelaan hati, sebagai wujud ketaatan penuh kepada kehendak Bapa. Tidak ada keterpaksaan, dan tidak ada yang dapat memaksanya. Hanya Tuhan Yesus sendiri yang berkuasa memberikan nyawa-Nya, dan mengambilnya kembali pada waktunya.
Sebagai domba-dombaNya
Sebagai Gembala yang baik, Tuhan Yesus bersedia menjadi “kurban” (sacrifice) agar domba-dombaNya menerima keselamatan. Hal ini dilakukan oleh Tuhan Yesus karena kasihNya. Keberanian berkurban inilah yang membuat gereja bertumbuh. Sebab bukankah gereja dibangun di atas dasar darah para martir? Hampir setiap anggota jemaat tersentuh saat mereka mendengar kisah kepahlawanan para martir yang bersedia menyerahkan nyawanya. Tetapi apakah pada masa kini juga muncul orang-orang yang bersedia berkorban seperti para martir? Seberapa banyakkah anggota jemaat yang telah menjadi para martir kontemporer? Tentu saja kita tidak boleh menutup mata terhadap pengabdian orang-orang tertentu yang mau berkorban seperti para martir. Surat I Yoh. 3:17 mengajak anggota jemaat untuk menterjemahkan semangat berkorban secara konkret, yaitu: “Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya?”
Tentu yang disebut sebagai para martir adalah mereka yang mau menyerahkan nyawa demi keselamatan sesamanya. Tetapi apakah dalam kehidupan sehari-hari, kita juga menjadi para martir (saksi iman) yang mau berkorban kehilangan sebagian harta yang kita miliki untuk dibagikan kepada saudara yang sedang kekurangan? Bukankah sangat sedikit orang yang mau berkorban untuk membagi sebagian harta yang dimilikinya? Bahkan kita juga dapat jumpai beberapa kasus seperti demi mempertahankan harta warisan, seseorang tega membunuh anggota keluarganya. Apabila harta kita pertahankan sedemikian rupa dengan cara mengorbankan nyawa orang lain, bagaimanakah mungkin kita mau menyerahkan nyawa kepada sesama? Dari sudut nilai iman, tentu nilai “nyawa” manusia lebih tinggi dan luhur dari pada nilai harta-benda. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari justru sering terbalik: harta lebih berharga dari pada nyawa manusia!
Karya penebusan Kristus memang terjadi di tengah-tengah kehidupan umat Israel. Tetapi karya penebusan Kristus tidak hanya tertuju kepada umat Israel saja. Kasih Kristus yang telah dibuktikan dengan kematianNya di atas kayu salib tertuju kepada seluruh umat manusia. Itu sebabnya di Yoh. 10:16, Tuhan Yesus berkata, “Ada lagi pada-Ku domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini; domba-domba itu harus Kutuntun juga dan mereka akan mendengarkan suara-Ku dan mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala”. Dengan demikian seharusnya kasih dan kepedulian kita tidak hanya tertuju kepada anggota keluarga, suku dan etnis kita. Namun sayangnya kepada orang-orang yang terdekat, kita sering masih gagal menyatakan kasih dengan kesediaan berkorban. Tidaklah mudah bagi setiap orang untuk rela membagi harta milik kepada kakak, adik, dan keponakan atau saudara lain. Apalagi kita harus menyerahkan nyawa bagi “domba-domba lain” yang artinya adalah “orang lain” (the others). Rasanya panggilan untuk menyerahkan nyawa bagi “domba-domba lain” yang bukan dari kandang sendiri merupakan “mission of impossible” (misi yang serba muskil). Kemustahilannya terletak pada kualitas spiritualitas kita yang masih jauh dari kasih Kristus. Namun kemustahilan kasih akan berubah menjadi suatu kemungkinan, ketika kita dimampukan untuk melihat setiap sesama yang menderita sebagai wajah Kristus sendiri. Sehingga kita terdorong untuk menyerahkan nyawa dalam arti yang seluas-luasnya asalkan sesama atau saudara kita tersebut selamat. Ternyata para martir jaman sekarang yaitu umat percaya masa kini tidak harus selalu berhadapan dengan eksekusi berupa kematian yang mengerikan. Mereka hanya dipanggil untuk berani mengeksekusi ego-nya. Atau, para domba yang mau bersatu, saling merawat dan berbagi.
Panggilan
Memang para domba harus mau bersatu, saling merawat dan berbagi. Tapi kenyataannya, hal ini tidak mudah. Mengasihi sesama domba dari Gembala yang Baik tentu tidak mudah. Fakta di ‘kandang domba’, betapa banyak domba saling beradu, bahkan saling mengklain ‘domba yang paling benar, kandang yang paling baik’. Inilah perjuangan para domba saat ini. Mereka tidak hanya ‘harus bersaksi keluar’ tentang kasih Gembala yang Baik, kini mereka pun menghadapi persoalan ‘ke dalam’ tentang keberadaan domba. Di sinilah kita sebagai domba, sudah seharusnya ‘saling berdamai sesama domba’. Sebab dengan ‘saling berdamai’ sesama domba, kita bisa melaksanakan tugas pewartaan. Coba kita lihat bagaimana upaya Petrus dan Yohanes saling bersatu untuk mewartakan kabar kebangkitan Kristus bagi mereka yang menolak-Nya. Kerukunan, kebersamaan dan persaudaraan para rasul dalam mewartakan berbuah pertobatan massal (Kisah 4:4). Dengan keberaniannya, Petrus menjawab langsung dan lugas bahwa, “….dalam nama Yesus Kristus, orang nazaret, yang telah kamu salibkan, tetapi yang telah dibangkitkan Allah dari antara orang mati….” (ayat 12). Keberanian Petrus ini sangat mengherankan banyak orang (ayat 13), dan keberanian ini perlu diteladani pada jaman sekarang. Mengapa? Sebab pada saat ini, banyak domba yang ingin mencari amannya sendiri dengan cara ‘menjual Gembalanya’.
Memang keselamatan Kristus bersifat absolut. Tugas kita yang utama adalah menyaksikan keselamatan Kristus yang absolut. Tetapi kelugasan kita dalam menyaksikan keselamatan Kristus harus didasari oleh kasih yang total. Yang mana kasih yang total tersebut terlihat nyata dalam pergumulan sehari-hari seperti peduli dengan saudara yang sedang menderita. Untuk itu Kristus yang bangkit memanggil kita untuk selalu berinisiatif dalam memberlakukan kasih. Dengan demikian kasih yang telah dianugerahkan Kristus dapat menjadi kasih yang selalu segar dan responsif dalam menghadapi berbagai permasalahan yang terjadi di sekeliling kita. Jika demikian, apakah saudara bersedia menjadi domba dari Gembala yang baik? Jika ya, berarti kita adalah benar-benar domba Tuhan Yesus! Amin.
Pengantar
Masihkah kita ingat akan lagu Poppy Andaresta dengan lirik demikian,
Pengen punya mobil, mewah..
Lengkap dengan AC, tape dan sopir pribadi
(Wiih, kemana-mana tinggal minta anter deh. Pergi santai, sambil denger music sama temen-temen gw. Gak kepanasan lagi. Wuih.. dingin..)
Pengen punya rumah (gedong)
Lengkap dengan pelayan (perabotan lux, plus kolam renang. Kaya di film. Mau ini itu tinggal perintah. Hidup serasa di istana, trus kalo kepanasan, gw ajak temen-temen gw nyebur deh, basah..)
Andai a a a a aku jadi orang kaya
Andai a a a a anggak usah pake kerja (bisa gak ya?! gak bisa)
Andai a a a a aku jadi orang kaya
Andai a a a a anggak usah pake kerja …. dst.
Banyak orang, entah pada usia berapa, pernah berandai-andai. Ya, berandai-andai “menjadi orang lain, atau anak orang lain”. misalnya, seperti lagu tadi, berandai-andai menjadi orang kaya, konglemerat, segalanya tercukupi. Mereka berpikir, wah seandainya menjadi anak raja…., atau anaknya konglemerat…., pastilah hidupnya akan selalu senang dan bahagia. Mengapa? Karena sebagai anak raja atau orang kaya, segala kebutuhan dan keinginan mereka pasti akan terpenuhi.
Namun kita harus tetap menyadari, bahwa kita hidup dalam realitas, bukan dalam impian. Ini penting, sebab orang yang hanya hidup dalam impian, biasanya ia suka menggerutu, sulit bersyukur dan tidak memiliki daya tahan penderitaan. Sebaliknya, mereka yang menyadari hidup dalam realitas, biasanya akan terus berjuang, selalu bersyukur dan berani menghadapi tantangan. Lebih dari itu, kita sebagai umat Tuhan seharusnya juga berbahagia, sebagaimana lirik lagu diatas. Sebab menurut bacaan kita saat ini, kita memiliki Gembala yang baik.
Keakraban Gembala Dengan DombaNya
Gembala yang baik, tidak hanya menuntun domba-dombaNya ke padang yang berumput hijau dan air yang tenang, tetapi juga melindungi para domba dari segala ancaman dan marabahaya. Tidak hanya memberikan ‘berkat jasmani’ yang terbaik, tetapi juga berkat rohani yang paling dibutuhkan. Itulah sebabnya, kerinduan seorang gembala adalah memberikan kehidupan kekal dan berkelimpahan kepada domba-dombanya. Untuk itulah Tuhan Yesus rela memberikan nyawa-Nya sendiri di kayu salib. Namun sesudah tiga hari mati, Tuhan Yesus mengambil kembali nyawa-Nya, dan bangkit dari kubur. Hal ini tampak sekali dalam Paskah pertama. Mengapa ini terjadi? Tidak lain karena kasihNya kepada manusia.
Namun sayang sekali, tidak semua umat Tuhan menyadari anugerah yang besar ini. Akibatnya mereka tidak dapat menghayati pemeliharaan Tuhan yang mencukupi kebutuhan mereka. Tentu saja hal ini menyebabkan orang percaya kurang mampu bersyukur kepada Tuhan. Namun jika mereka sungguh-sungguh menyadari anugerah Tuhan yang memungkinkan mereka ‘menjadi domba dari gembala yang baik’, pastilah sikap dan perilaku mereka akan berbeda sekali. Misalnya, raja Daud dalam Mazmur 23.
Dalam Mazmur 23 ini, Daud menggambarkan TUHAN sebagai Allah yang memelihara hidupnya dengan penuh kasih dan perhatian. Bahkan lebih dari itu, TUHAN (dalam huruf besar semua), yang berarti YHWH, Allah yang bertahta di sorga, Pencipta Langit Bumi, dan Tidak Bisa Digambarkan dengan beragam gambaran, oleh Daud disebut dengan Gembala. Gembala? Ya, seseorang yang melakukan pekerjaan yang kurang terhormat, atau tidak terhormat. Daud sengaja tidak membubuhi istilah “gembala” itu dengan atribut “yang baik”. Sebab baginya, gembala adalah orang yang memang seperti itu. Gembala, yang betul-betul gembala, bukan orang upahan, akan selalu membawa domba-dombanya ke padang gurun yang berumput hijau, dan ke sungai yang berair tenang dan jernih.
Secara khusus Mazmur 23 lahir dari pergumulan pribadi seorang Daud. Pada saat ia berkuasa menjadi raja di Israel, ia mengalami peristiwa memalukan dan menyedihkan. Peristiwa itu adalah sang anaknya yang Absalom memberontak dan Daud kalah. Daud beserta rombongan melarikan diri, dan karena mereka tergesa-gesa lupa membawa perlengkapan. Ketika sampai di Mahanaim mereka kelaparan, dan kedinginan. Namun Daud mendapatkan bantuan dari orang lain yang sama sekali tidak dikenal, demikian juga orang itu juga tidak mengenal Daud. Dari sinilah iman Daud mengatakan, “Tuhan adalah Gembalaku, takkan kekurangan aku” (Mzm 23:1). Dengan pengakuan ini, Daud mengakui bahwa genggaman tangan Tuhan sebagai Gembalanya, dia merasakan kehidupan yang berkelimpahan.
Lebih jauh lagi dalam Yoh. 10, Tuhan Yesus juga menggambarkan diriNya sebagai Gembala dan kita adalah domba-dombaNya. Gambaran hubungan Gembala dengan domba-dombaNya menunjuk suatu hubungan kasih yang begitu akrab, sebagaimana hubungan Bapa dengan Anak. Di Yoh. 10:14-15, Tuhan Yesus berkata, “Akulah gembala yang baik dan Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku sama seperti Bapa mengenal Aku dan Aku mengenal Bapa, dan Aku memberikan nyawa-Ku bagi domba-domba-Ku”. Kristus menyebut diriNya sebagai Gembala yang baik dan mengenal domba-dombaNya. Bahkan Tuhan Yesus sebagai gembala yang baik pada hakikatnya mau menyerahkan nyawaNya bagi domba-dombaNya. Arti “mengenal” domba-domba dalam pengertian ini tidak hanya dipahami hanya sebagai batas “tahu” atau “paham” yang sifatnya kognitif. Tetapi makna “mengenal” domba-dombaNya dipahami oleh Kristus dengan suatu tindakan, yaitu mau menyerahkan nyawaNya agar domba-domba yang dikenalNya itu selamat dan memperoleh hidup yang kekal. Jadi makna “mengenal” dalam konteks ini justru dipahami oleh Kristus sebagai kesediaan untuk berkorban yang didasari oleh kasih.
Perilaku Gembala yang baik sangat berbeda dengan gembala yang tidak baik, yang sesungguhnya “bukan gembala”. Gembala yang buruk ini adalah “orang upahan”, yang menggembalakan domba demi upah, bukan karena cinta dan keterpanggilan. Gembala upahan ini akan lari begitu melihat ada bahaya mengancam. Mereka tidak peduli pada nasib para domba yang dipercayakan kepada mereka. Mereka membiarkan saja ketika srigala menerkam, mencabik-cabik, dan mencerai-beraikan para domba. Tindakan gembala yang jahat ini tidak akan dilakukan oleh gembala yang baik. Tuhan Yesus yang mengidentikkan diri sebagai gembala yang baik, akan tetap menjaga dan memelihara domba yang dipercayakan kepada-Nya. Bahkan dikatakanNya kembali, Ia akan memberikan nyawa bagi domba-dombaNya. Dan, hal ini dilakukan-Nya dengan kerelaan hati, sebagai wujud ketaatan penuh kepada kehendak Bapa. Tidak ada keterpaksaan, dan tidak ada yang dapat memaksanya. Hanya Tuhan Yesus sendiri yang berkuasa memberikan nyawa-Nya, dan mengambilnya kembali pada waktunya.
Sebagai domba-dombaNya
Sebagai Gembala yang baik, Tuhan Yesus bersedia menjadi “kurban” (sacrifice) agar domba-dombaNya menerima keselamatan. Hal ini dilakukan oleh Tuhan Yesus karena kasihNya. Keberanian berkurban inilah yang membuat gereja bertumbuh. Sebab bukankah gereja dibangun di atas dasar darah para martir? Hampir setiap anggota jemaat tersentuh saat mereka mendengar kisah kepahlawanan para martir yang bersedia menyerahkan nyawanya. Tetapi apakah pada masa kini juga muncul orang-orang yang bersedia berkorban seperti para martir? Seberapa banyakkah anggota jemaat yang telah menjadi para martir kontemporer? Tentu saja kita tidak boleh menutup mata terhadap pengabdian orang-orang tertentu yang mau berkorban seperti para martir. Surat I Yoh. 3:17 mengajak anggota jemaat untuk menterjemahkan semangat berkorban secara konkret, yaitu: “Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya?”
Tentu yang disebut sebagai para martir adalah mereka yang mau menyerahkan nyawa demi keselamatan sesamanya. Tetapi apakah dalam kehidupan sehari-hari, kita juga menjadi para martir (saksi iman) yang mau berkorban kehilangan sebagian harta yang kita miliki untuk dibagikan kepada saudara yang sedang kekurangan? Bukankah sangat sedikit orang yang mau berkorban untuk membagi sebagian harta yang dimilikinya? Bahkan kita juga dapat jumpai beberapa kasus seperti demi mempertahankan harta warisan, seseorang tega membunuh anggota keluarganya. Apabila harta kita pertahankan sedemikian rupa dengan cara mengorbankan nyawa orang lain, bagaimanakah mungkin kita mau menyerahkan nyawa kepada sesama? Dari sudut nilai iman, tentu nilai “nyawa” manusia lebih tinggi dan luhur dari pada nilai harta-benda. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari justru sering terbalik: harta lebih berharga dari pada nyawa manusia!
Karya penebusan Kristus memang terjadi di tengah-tengah kehidupan umat Israel. Tetapi karya penebusan Kristus tidak hanya tertuju kepada umat Israel saja. Kasih Kristus yang telah dibuktikan dengan kematianNya di atas kayu salib tertuju kepada seluruh umat manusia. Itu sebabnya di Yoh. 10:16, Tuhan Yesus berkata, “Ada lagi pada-Ku domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini; domba-domba itu harus Kutuntun juga dan mereka akan mendengarkan suara-Ku dan mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala”. Dengan demikian seharusnya kasih dan kepedulian kita tidak hanya tertuju kepada anggota keluarga, suku dan etnis kita. Namun sayangnya kepada orang-orang yang terdekat, kita sering masih gagal menyatakan kasih dengan kesediaan berkorban. Tidaklah mudah bagi setiap orang untuk rela membagi harta milik kepada kakak, adik, dan keponakan atau saudara lain. Apalagi kita harus menyerahkan nyawa bagi “domba-domba lain” yang artinya adalah “orang lain” (the others). Rasanya panggilan untuk menyerahkan nyawa bagi “domba-domba lain” yang bukan dari kandang sendiri merupakan “mission of impossible” (misi yang serba muskil). Kemustahilannya terletak pada kualitas spiritualitas kita yang masih jauh dari kasih Kristus. Namun kemustahilan kasih akan berubah menjadi suatu kemungkinan, ketika kita dimampukan untuk melihat setiap sesama yang menderita sebagai wajah Kristus sendiri. Sehingga kita terdorong untuk menyerahkan nyawa dalam arti yang seluas-luasnya asalkan sesama atau saudara kita tersebut selamat. Ternyata para martir jaman sekarang yaitu umat percaya masa kini tidak harus selalu berhadapan dengan eksekusi berupa kematian yang mengerikan. Mereka hanya dipanggil untuk berani mengeksekusi ego-nya. Atau, para domba yang mau bersatu, saling merawat dan berbagi.
Panggilan
Memang para domba harus mau bersatu, saling merawat dan berbagi. Tapi kenyataannya, hal ini tidak mudah. Mengasihi sesama domba dari Gembala yang Baik tentu tidak mudah. Fakta di ‘kandang domba’, betapa banyak domba saling beradu, bahkan saling mengklain ‘domba yang paling benar, kandang yang paling baik’. Inilah perjuangan para domba saat ini. Mereka tidak hanya ‘harus bersaksi keluar’ tentang kasih Gembala yang Baik, kini mereka pun menghadapi persoalan ‘ke dalam’ tentang keberadaan domba. Di sinilah kita sebagai domba, sudah seharusnya ‘saling berdamai sesama domba’. Sebab dengan ‘saling berdamai’ sesama domba, kita bisa melaksanakan tugas pewartaan. Coba kita lihat bagaimana upaya Petrus dan Yohanes saling bersatu untuk mewartakan kabar kebangkitan Kristus bagi mereka yang menolak-Nya. Kerukunan, kebersamaan dan persaudaraan para rasul dalam mewartakan berbuah pertobatan massal (Kisah 4:4). Dengan keberaniannya, Petrus menjawab langsung dan lugas bahwa, “….dalam nama Yesus Kristus, orang nazaret, yang telah kamu salibkan, tetapi yang telah dibangkitkan Allah dari antara orang mati….” (ayat 12). Keberanian Petrus ini sangat mengherankan banyak orang (ayat 13), dan keberanian ini perlu diteladani pada jaman sekarang. Mengapa? Sebab pada saat ini, banyak domba yang ingin mencari amannya sendiri dengan cara ‘menjual Gembalanya’.
Memang keselamatan Kristus bersifat absolut. Tugas kita yang utama adalah menyaksikan keselamatan Kristus yang absolut. Tetapi kelugasan kita dalam menyaksikan keselamatan Kristus harus didasari oleh kasih yang total. Yang mana kasih yang total tersebut terlihat nyata dalam pergumulan sehari-hari seperti peduli dengan saudara yang sedang menderita. Untuk itu Kristus yang bangkit memanggil kita untuk selalu berinisiatif dalam memberlakukan kasih. Dengan demikian kasih yang telah dianugerahkan Kristus dapat menjadi kasih yang selalu segar dan responsif dalam menghadapi berbagai permasalahan yang terjadi di sekeliling kita. Jika demikian, apakah saudara bersedia menjadi domba dari Gembala yang baik? Jika ya, berarti kita adalah benar-benar domba Tuhan Yesus! Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar