Rabu, 13 September 2017

SELUBUNG MATAKU TELAH TERBUKA

Yeremia 31:31-34; Mazmur 51:1-12; Ibrani 5:5-10; Yohanes 12:20-33

Pengantar
Apakah mudah mematahkan pendapat seseorang tentang keyakinannya terhadap sesuatu? Jelas, tidak mudah. Apalagi keyakinan itu sudah diamini oleh banyak orang. Demikian juga dengan anggapan orang banyak tentang tokoh Mesias. Mereka sangat mengharapkan kehadiran Mesias yang akan membebaskan mereka dari penjajahan Romawi. Mesias diakuinya sebagai seorang raja segala raja dan pemimpin militer yang akan mengusir kekuasaan Romawi. Itulah sebabnya, orang banyak pun menganggap Yesus sebagai tokoh Mesias, namun mereka tidak percaya jika Yesus sebagai Mesias akan mati dengan cara di salib.
Memang Yesus pernah mengibaratkan diriNya seperti sebutir gandum yang jatuh di tanah dan mati. Ini terlihat dari perkataan Tuhan Yesus yaitu: “Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah” (Yoh. 12:24). Jelas perkataan Yesus ini ditolak oleh banyak orang. Mereka menolak jika Yesus bisa mati, apalagi dengan cara disalib. Bukankah Yesus itu Mesias?

Korban Ataukah Kurban?
Memang salib sebagai media relasional antara Allah yang kudus dengan umat yang berdosa bisa terwujud jika salib menjadi media pengorbanan diri (sacrifice). Dengan peristiwa kematianNya di atas kayu salib, terciptalah pendamaian antara Allah dengan manusia.  Itu sebabnya saat Tuhan Yesus menyadari kematianNya telah mendekat, Dia berkata: “Sekarang jiwa-Ku terharu dan apakah yang akan Kukatakan? Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini? Tidak, sebab untuk itulah Aku datang ke dalam saat ini” (Yoh. 12:27).  Inti doa yang dipanjatkan oleh Tuhan Yesus  menjelang Dia akan ditangkap bukanlah memaksa Allah untuk menyelamatkan diriNya dari hukuman salib. Tuhan Yesus tidak berdoa: “Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini”. Sebab tujuan utama dari kedatanganNya ke dalam dunia adalah untuk memenuhi rencana Allah yaitu mengurbankan diriNya.
Karena itu kematian Kristus di atas kayu salib bukan karena Dia menjadi korban (victim). Memang ada perbedaan makna antara “korban” (victim) dengan “kurban” (sacrifice). Kalau Kristus menjadi sekedar “korban” (victim), maka Dia tidak akan dapat menyelamatkan umat manusia. Status dari seorang “korban” adalah dia harus menanggung penderitaan atau kematian yang diakibatkan oleh kesewenang-wenangan orang lain yang mana dia tidak pernah menghendaki atau menerimanya. Dalam konteks ini hukuman salib yang dialami oleh Yesus hanya dipandang sebagai “nasib buruk”. Namun, Alkitab selalu menyaksikan Allah yang mau berkurban diri (sacrifice) untuk umat yang lemah, tidak berdaya dan berdosa. Dengan demikian kesediaan diri untuk menjadi “kurban” (sacrifice) merupakan suatu tindakan untuk menyelamatkan orang lain. Itulah sebabnya, Yesus mengibaratkan diriNya sebagai biji gandum yang jatuh ke dalam tanah dan mati. Yesus memposisikan diriNya sebagai kurban yang dilakukan dengan penuh kasih bagi manusia.
Dalam hidup sehari-hari betapa sering kita gemar menjadikan  orang lain yang lebih “lemah” sebagai korban (victim). Kita sering memiliki seribu satu alasan untuk menjadikan sesama sebagai korban yang layak dilukai, dilumpuhkan dan dimatikan secara cepat atau perlahan-lahan. Namun alasan utamanya adalah agar kita dapat hidup lebih bahagia, sejahtera dan tenteram.  Inilah konsep kuasa dunia ini, yang senantiasa berupaya membangun kebahagiaan dan keselamatan di atas  penderitaan (korban) orang lain. Bandingkan dengan sikap kaum teroris yang gemar mengorbankan orang lain agar  mereka dapat memperoleh pahala  dan masuk ke sorga dengan “mulia”. Karena itu orang-orang yang dianggap lemah, kafir, tidak berdaya atau berdosa sering dianggap layak menjadi korban.
Namun Allah di dalam iman Kristen menampilkan diriNya sebagai Allah yang bersedia menjadi “kurban”  dengan menderita dan wafat, dan bukan Allah yang gemar mengorbankan orang lain. Jika demikian bagaimanakah dengan peran hidup kita sehari-hari? Apakah kita memerankan diri sebagai umat yang bersedia berkurban  diri (sacrifice) bagi sesama, ataukah kita justru gemar menjadikan orang lain sebagai korban (victim) dari hawa-nafsu dan ambisi kita? Allah yang pengasih dan penyayang tidak pernah menjadikan umatNya sebagai korban (victim). Sebaliknya Allah senantiasa mengasihi manusia. Sehingga setiap kebenaran Allah senantiasa diikuti oleh pengampunan dan kasihNya yang tanpa  batas dan tanpa syarat. Bahkan untuk mewujudkan pengampunanNya yang tanpa batas dan tanpa syarat itu, Allah di dalam Kristus bersedia menjadi seperti biji gandum yang jatuh ke dalam tanah dan mati.

Belajar Taat Dari Yang Diderita
Keagungan Kristus bukan hanya diukur dari kuasa mukjizatNya yang tidak terbatas. Tetapi lebih ditentukan oleh seberapa dalam ketaatan dan sikap pengorbananNya untuk menyatakan kasih Allah yang tidak terbatas. Untuk itu sekalipun Kristus adalah Anak Allah yang mulia, Dia memilih belajar menjadi taat dari apa yang dideritaNya. Kristus sang Anak Allah berasal dari sorga, tetapi Dia mau merendahkan diriNya dengan berinkarnasi menjadi manusia. Dan dalam hidupNya sebagai  manusia, Kristus telah memerankan tugasNya sebagai seorang Imam Besar yang menaikkan doa bagi keselamatan manusia. Itu sebabnya surat Ibr. 5:7 berkata: “Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena kesalehan-Nya Ia telah didengarkan”.
Dengan kemuliaanNya sebagai Anak Allah, Yesus memiliki hak dan kuasa untuk menjaga dan melindungi diriNya dari bahaya yang mengancam. Dia juga dapat menaikkan doa untuk mendatangkan bala-tentara malaikat untuk melindungiNya (Mat. 26:53). Namun Tuhan Yesus tidak mau menggunakan kuasa mukjizatNya atau hak istimewaNya sebagai Anak Allah untuk selamat dari hukuman salib. Sebaliknya doa syafaat yang dinaikkan oleh Tuhan Yesus adalah permohonanNya sebagai seorang Imam Besar untuk keselamatan umat manusia. Dalam hal ini Tuhan Yesus sebagai Imam Besar juga bertindak sebagai seorang Juru Syafaat yang menjadi pengantara untuk mendamaikan Allah dengan manusia. Sangat  menarik bahwa terdapat hubungan ide teologis yang sangat erat antara Ibr. 5:7 dengan Yoh. 12:27, yaitu sikap Yesus yang menolak untuk diselamatkan oleh Allah dari hukuman salib, sebab Dia ingin memberikan hidupNya bagi keselamatan manusia. Dengan demikian kematian Kristus di atas kayu salib adalah perwujudan final dari ketaatanNya.
Apabila Kristus bersedia belajar menjadi taat dari apa yang dideritaNya, namun betapa sering kita hanya mau taat dari apa yang menyenangkan hati kita. Kita sering hanya mau taat kepada Allah saat kita dimuliakan dan berhasil. Kita akan segera menaikkan doa syukur saat Tuhan memberikan apa yang kita minta.  Tetapi ketika sakit, penderitaan dan kegagalan menerpa diri kita maka kita segera kesal dan marah kepada Allah.  Kita memang lebih mudah belajar taat kepada Allah saat harapan dan keinginan kita tercapai. Namun untuk belajar taat dari apa yang sedang kita derita, kita membutuhkan karunia khusus dan “model” (proto-type) yang sempurna. Melalui Kristus, Allah telah memberikan “model” (proto-type) yang sempurna.
Di dalam Kristus, Allah telah bersedia merendahkan diriNya dalam menyikapi penderitaan dan ketidakadilan. Dia tidak mau menggunakan kuasa ilahiNya untuk menghancurkan para musuhNya. Allah berkenan merangkul setiap orang yang gagal memahamiNya dan mereka yang hidup dalam belenggu dosa. Secara indah hal ini digambarkan oleh pemazmur 51. Dalam Mazmur 51, raja Daud mengakui dosanya dihadapan Tuhan karena berzinah dengan Bethseba. Dikatakan dalam Mazmur 51: 8-12, “Sesungguhnya, Engkau berkenan akan kebenaran dalam batin, dan dengan diam-diam Engkau memberitahukan hikmat kepadaku. Bersihkanlah aku dari pada dosaku dengan hisop, maka aku menjadi tahir, basuhlah aku, maka aku menjadi lebih putih dari salju!  Biarlah aku mendengar kegirangan dan sukacita, biarlah tulang yang Kauremukkan bersorak-sorak kembali! Sembunyikanlah wajah-Mu terhadap dosaku, hapuskanlah segala kesalahanku!  Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh!
Selain itu Allah juga menganugerahkan karuniaNya yang khusus agar kita dimampukan untuk menghadapi penderitaan dengan pemaknaan yang baru.  Melalui pengorbanan Kristus, Allah menganugerahkan kepada kita iman dan juga karunia untuk menderita. Di Fil. 1:29, rasul Paulus berkata: “Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia”.  Dengan demikian sikap yang bersedia belajar menjadi taat dari apa yang kita derita tidak pernah menjauhkan diri kita dari rahmat Allah. Sebab rahmat Allah justru sering dinyatakan saat kita mengalami penderitaan, sakit, kegagalan, kekecewaaan, ketidakadilan dan berada dalam bahaya maut bahkan kematian.  Maksud dari makna “rahmat Allah” di sini bukan berarti Allah selalu membebaskan atau melepaskan kita dari setiap sakit, kegagalan, ketidakadilan dan maut. Tidak! Sebab selaku umat percaya kita tidak selalu harus mendapat imunitas (kekebalan) ilahi. Tetapi semua penderitaan, kepahitan dan kematian tersebut tidak pernah boleh memisahkan kita dari persekutuan kasih Allah. Sebab rahmat Allah akan menopang dan memampukan kita untuk menanggung semua derita tersebut dengan penuh iman.

Tersurat dan Tersirat
Pengalaman rahmat dan anugerah Allah tidak senantisa tersurat dalam rangkaian kata-kata. Dalam hal ini karya keselamatan dan kasih Allah justru lebih sering kita alami secara tersirat dalam pemaknaan setiap peristiwa. Karya keselamatan Allah yang bertindak dalam kehidupan kita sering tidak kelihatan oleh mata, seperti sebutir biji gandum yang jatuh ke dalam tanah dan mati. Padahal setelah biji gandum tersebut mati di dalam tanah, dia akan segera mengeluarkan tunas-tunas muda yang akan memberi daya kehidupan bagi banyak orang. Semua proses pertumbuhan yang muncul dari biji gandum yang mati tidak pernah kelihatan oleh mata inderawi.
Demikian pula kebenaran Allah yang dinyatakan di dalam Kristus pada satu pihak telah tersurat dalam kesaksian Alkitab, tetapi pada pihak lain melampaui yang tersurat. Kuasa kehadiranNya justru sering kita alami secara personal dalam berbagai peristiwa saat kita telah kehilangan harapan dan tidak menemukan jalan keluar.  Dengan demikian “ketidaknampakan” karya keselamatan Kristus sesungguhnya merupakan karya Roh yang melampaui setiap rangkaian kata-kata, catatan dan dokumen sejarah.  Dia hidup di dalam hati umat yang percaya dan meletakkan firmanNya di dalam hati mereka. Di Yer. 31:33, Allah berfirman: “Tetapi beginilah perjanjian yang Kuadakan dengan kaum Israel sesudah waktu itu, demikianlah firman TUHAN: Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku”.  Taurat Tuhan tidak lagi dipahami sebagai yang tertulis di atas kertas dokumen atau loh batu, tetapi diukirkan di dalam hati umat percaya. Sehingga umat tidak hanya memahami kebenaran firman Tuhan secara kognitif belaka, tetapi juga dapat mengalami secara personal dalam realitas kehidupan sehari-hari.

Panggilan
Memang karya keselamatan Kristus seharusnya mendorong diri kita untuk makin efektif menjadi seperti biji gandum yang jatuh ke dalam tanah dan mati. Kita perlu terpanggil untuk melakukan karya keselamatan bagi banyak orang secara efektif, tetapi tidak selalu kelihatan secara inderawi. Justru di sinilah kita sering mengalami kesulitan. Sebab ketika kita melakukan karya Kristus dalam pelayanan senantiasa timbul dorongan untuk ingin “populer”, yaitu: ingin dikenal, disanjung dan dipuji oleh banyak orang. Sehingga ketika orang-orang di sekitar kita bersikap acuh tak acuh, maka semangat pelayanan kita mulai meredup.  Bahkan semangat pelayanan kita dapat patah arang saat orang-orang di sekitar kita mencibirkan bibirnya dengan menganggap diri kita sebagai pahlawan kesiangan.  Sesungguhnya egoisme diri kita belum berhasil “mati” seperti biji gandum yang jatuh ke dalam tanah. Lebih tepat kita sering berpura-pura “mati” di dalam Kristus, padahal egoisme kita tetap liar dan agresif.  Penyebabnya karena firman Allah belum terukirkan di dalam hati kita. Sehingga kehidupan kita sering dipenuhi oleh perlawanan dan pemberontakan kepada Allah dengan melanggar firmanNya (Yer. 31:32).
Untuk itu kita dipanggil untuk bersikap lebih peka terhadap karya keselamatan Allah yang tersurat maupun yang tersirat, yaitu: karya Allah yang tampak secara inderawi dan karya Allah yang tersembunyi secara rohaniah. Apabila kuasa dunia senantiasa berupaya membelokkan mata hati umat manusia untuk makin menjauh dari salib Kristus, maka kuasa Roh justru senantiasa berupaya agar hati setiap umat manusia disingkapkan dan ditundukkan oleh kebenaran salib Kristus. Saat hati kita disingkapkan dan ditundukkan oleh kebenaran salib Kristus, maka pada saat itulah kita akan dimampukan untuk mengakui kemuliaan Kristus yang telah mati dan bangkit. Di Yoh. 12:32, Tuhan Yesus berkata: “Apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang datang kepadaKu”. Tetapi seandainya Kristus ditinggikan oleh Allah tanpa penyaliban, maka Dia akan gagal untuk menarik semua orang datang kepadaNya. Sebab kita tidak akan menyembah dan mempermuliakan “Yesus” yang melarikan diri dari realitas kehidupan. Tetapi bersyukurlah bahwa Allah yang menyatakan diri di dalam Kristus adalah Allah yang sungguh solider dengan penderitaan manusia. Akibatnya Dia menjadikan salib sebagai media perjanjian baru yang mendamaikan secara sempurna, yaitu “sekali untuk selama-lamanya”
Kehidupan kita sebagai umat percaya seharusnya senantiasa berpola kepada diri Kristus yang bersedia wafat untuk menghasilkan kualitas kehidupan yang  baru.  Seperti Kristus, selaku umat percaya kita terpanggil untuk berkurban diri (sacrifice) bagi keselamatan sesama. Dengan demikian kita juga terpanggil untuk membela, melindungi dan memberdayakan setiap sesama yang menjadi korban (victim) ketidakadilan. Panggilan iman tersebut akan menjadi efektif dalam kehidupan kita jika kita senantiasa belajar menjadi taat dari apa yang kita derita. Jika demikian apakah hati kita kini telah diukirkan firman Kristus dan kasihNya, sehingga seluruh pelayanan dan kehidupan kita dikuasai oleh kehendakNya? Ingatlah, ‘selubung mataku telah terbuka’, mendorong kita ‘mau membuka diri, berkurban bagi sesama’. Amin.
Khotbah Minggu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WEBINAR CCA: PEKERJA MIGRAN MENANGGUNG BEBAN COVID-19

Ruth Mathen Kesimpulan panelis webinar CCA: Pekerja migran menanggung beban terbesar dari krisis COVID-19 dan dampaknya yang terus meni...