Bilangan 21:4-9; Mazmur 107:1-3, 17-22; Efesus 2:1-10; Yohanes 3:14-21
Pengantar
Apa yang saudara pikirkan manakala melihat SALIB? Atau, ketika kita mendengar kata SALIB, apa yang ada dibenak kita? Tentu banyak sekali jawaban, namun rata-rata akan mengatakan ‘sengsara, beban berat, penderitaan, sakit, tidak tahan lagi’. Memang kita sering kali mengkaitkan kata salib dengan ‘beban’. Coba bandingkan dengan ungkapan, “Memikul salib”, atau “Setiap orang memiliki salibnya sendiri”. Di sini, salib diidentikkan dengan ‘sengsara, susah, derita, hidup tidak enak, penuh cobaan, berat’. Namun, benarkan salib hanya berarti SENGSARA?
Sengsara, memang musuh manusia. Siapapun kita, tentu tidak suka atau bahkan menjauhi sengsara. Buktinya, kita mau bekerja, belajar, hidup penuh pertimbangan, hati-hati atau beriman. Itu bukti bahwa kita menolak sengsara, atau setidaknya ‘menjauhi kesengsaraan’.
Bersungut-sungut
Alkitab memang menyatakan bahwa hubungan Allah dengan manusia dinyatakan dalam hubungan perjanjian. Alkitab begitu sering menggunakan istilah “perjanjian” yang mendasari seluruh kehidupan manusia di hadapan Allah seperti kisah: Perjanjian Allah dengan bumi yang dinyatakan kepada Nuh melalui lambang pelangi, perjanjian Allah dengan Abraham yang dinyatakan melalui sunat, perjanjian Allah dengan umat Israel di atas gunung Sinai melalui Sepuluh Firman. Sehingga, ketika manusia taat pada perjanjian, ia akan menuai kebahagiaan. Namun faktanya, sulit memang untuk setia pada perjanjian. Sebab perjanjian dianggap sebagai beban, sebagaimana kita sering mengartikan juga salib sebagai beban.
Israel memang sulit untuk setia. Hal ini terlihat dari kisah yang disaksikan di Bil. 21:4-9, di mana umat Israel melawan Allah dan Musa dengan cara bersungut-sungut karena mereka tidak memperoleh roti dan air sebagaimana yang diharapkannya. Sebenarnya Allah telah memelihara mereka dengan makanan dan air selama perjalanan di padang gurun, tetapi umat Israel menganggap makanan dan minuman tersebut tidak selezat makanan dan minuman di Mesir. Mereka bersungut-sungut berkata kepada Allah dan Musa, "Mengapa kamu memimpin kami keluar dari Mesir? Supaya kami mati di padang gurun ini? Sebab di sini tidak ada roti dan tidak ada air, dan akan makanan hambar ini kami telah muak" (Bil. 21:5). Mereka menunjukkan sikap kesal, marah hanya karena mereka menerima makanan yang terasa “hambar”. Bukankah sikap tersebut sesuatu yang sangat ironis? Karena umat Israel merasa kesal dengan makanan yang hambar itu, maka mereka melawan Allah. Padahal mereka protes karena masalah yang sebenarnya sederhana, hal ini mirip dengan kita yang kadangkala suka protes pada masalah yang sederhama, seperti: makanan yang kurang enak, penyajian makanan yang kurang menarik, jenis makanan yang kurang membangkitkan selera, tempat akomodasi yang kurang representatif, tranporasi yang kurang nyaman, dan sebagainya.
Umat Israel tidak hanya berkeluh-kesah dengan masalah selera makanan, tetapi juga cenderung mendramatisir suatu permasalahan. Masalah makanan yang dianggap terasa hambar dihubungkan dengan berakhirnya kehidupan mereka selaku umat. Umat Israel berkata, "Mengapa kamu memimpin kami keluar dari Mesir? Supaya kami mati di padang gurun ini? Sebab di sini tidak ada roti dan tidak ada air, dan akan makanan hambar ini kami telah muak" (Bil. 21:5). Perhatikan sikap sungut-sungut mereka: karena waktu itu hanya ada makanan yang terasa yang hambar, maka mereka merasa akan mati di padang gurun ini. Padahal realitanya Allah telah menyediakan manna sebagai roti, dan burung puyuh sebagai dagingnya serta air dari gunung batu untuk memenuhi seluruh kebutuhan mereka. Tetapi semua berkat makanan yang sebenarnya mampu menyuplai kebutuhan utama mereka selama 40 tahun di padang gurun dianggap tetap kurang cukup sebab makanan tersebut terasa kurang lezat sehingga akan menyebabkan mereka mati di padang gurun. Apakah kita dapat melihat “hubungan logis” antara makanan yang kurang lezat dengan kematian? Seseorang memang dapat mati kelaparan karena dia tidak mau mengkonsumsi makanan yang tidak disukai. Tetapi seorang yang cukup bijaksana pastilah tidak akan mau mati kelaparan hanya karena makanan tersebut kurang disukainya. Karena dia akan lebih mengutamakan untuk tetap bertahan hidup. Jadi jelaslah umat Israel di padang gurun telah mendramatisir masalahan akan menunjukkan sikap imannya kepada Allah.
Seseorang yang memiliki kecenderungan untuk mendramatisir suatu permasalahan akan selalu membesar-besarkan kesulitan yang dihadapi tetapi mengecilkan seluruh berkat Allah yang telah diterimanya. Bahkan mereka bukan hanya mengecilkan seluruh berkat Allah yang selalu diterimanya, tetapi juga akan meniadakan berkat-berkat Allah tersebut. Tepatnya seorang yang mendramatisir suatu permasalahan sepertinya selalu mengatakan bahwa Allah tidak pernah memelihara, menolong, peduli dan mengasihi dia walaupun sebenarnya dia telah menerima banyak hal. Mereka bukan hanya orang yang tidak tahu terima-kasih, tetapi juga seorang yang tidak mampu merespon berkat Allah dengan sikap iman.
Karena itu umat Israel yang sering mendramatisir permasalahannya telah memposisikan diri mereka sebagai musuh Allah. Mereka hidup menurut keinginan daging atau hawa-nafsu duniawi, sehingga Allah menyatakan murkaNya dengan cara mengirim ular-ular tedung untuk memagut dan membinasakan mereka. Ketika selaku umat Allah kita tidak hidup berdasarkan iman, tetapi mengikuti kehendak dan nafsu duniawi maka yang kita tuai adalah penderitaan dan kematian. Upah dari seseorang yang selalu mendramatisir permasalahannya adalah kesusahan, penyakit dan kematian. Agar melalui kesusahan, penyakit dan kematian tersebut Allah menyadarkan diri kita untuk selalu menyikapi setiap situasi dan permasalahan dengan sikap iman. Di balik suatu kesusahan, penyakit dan kematian kadang-kadang terdapat kekayaan hikmat Allah yang bertujuan untuk menyelamatkan hidup kita.
Dengan demikian kita tidak layak menyatakan bahwa setiap penyakit dan penderitaan tidak ada hubungannya dengan hukuman dan murka Allah. Memang, kita tidak boleh terlalu mudah menghubung-hubungkan suatu penyakit yang diderita seseorang dengan hukuman Allah. Sebab penyakit dalam banyak kasus sering bersifat sangat alamiah dan tidak terhindarkan. Tetapi dalam kasus tertentu, tampaknya penyakit yang diderita seseorang dipakai oleh Allah untuk membina dan memproses seseorang; misalnya agar mereka yang terlibat dengan berbagai dosa perzinahan, gemar mabuk, kemalasan, kedengkian dan pendendam segera bertobat. Mzm. 107:17 berkata: “Ada orang-orang menjadi sakit oleh sebab kelakuan mereka yang berdosa, dan disiksa oleh sebab kesalahan-kesalahan mereka”.
Jadi penyakit yang diderita seseorang karena perbuatan dosa pada hakikatnya bertujuan untuk mendidik supaya dia bertobat. Dalam konteks demikian yang harus kita lakukan kepada orang-orang dengan kasus yang telah jelas berbuat dosa sehingga dia menderita sakit adalah pertama-tama bukan mendoakan agar penyakitnya sembuh; tetapi yang perlu kita bahas dan selesaikan terlebih dahulu secara terbuka adalah sikap pertobatan, kejujuran dan penyesalannya kepada Tuhan. Selama kita belum bertobat, maka tidak akan tersedia kesembuhan dari Allah. Sikap itulah yang dinyatakan oleh umat Israel setelah mereka dipagut oleh ular tedung, yaitu: "Kami telah berdosa, sebab kami berkata-kata melawan TUHAN dan engkau; berdoalah kepada TUHAN, supaya dijauhkan-Nya ular-ular ini dari pada kami." Lalu Musa berdoa untuk bangsa itu (Bil. 21:7).
Kekuatan Penyembuh
Cara kerja Allah yang mengampuni dan menyelamatkan umat Israel yang telah melawan perjanjianNya sungguh unik. Allah memerintahkan Musa agar dia membuat ular tembaga yang ditempatkan di atas tiang. Barangsiapa yang memandang ular tembaga tersebut akan sembuh dan hidup (Bil. 21:9). Namun bukankah perintah Allah tersebut justru bertentangan dengan salah satu hukum dalam Sepuluh Firman yang berkata: “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu” (Kel. 20:4-5a). Mengapa Allah justru menyuruh Musa untuk membuat ular tembaga di atas tiang, lalu menyuruh umat Israel memandang ular tembaga tersebut? Tentunya Allah tidak pernah bermaksud menyuruh umat Israel menyembah kepada ular tembaga di atas tiang tersebut. Sebaliknya mereka diingatkan bahwa ular tembaga tersebut sebenarnya hanya berfungsi sebagai representasi hukuman Allah kepada umat yang memberontak. Sehingga saat mereka memandang ular tembaga tersebut, mereka diingatkan akan hukuman Allah yang mematikan sekaligus juga kasih Allah yang melampaui dosa umat manusia. Ingatlah ular adalah binatang yang dikutuk oleh Tuhan, tetapi kita dipakai oleh Allah. Dengan demikian ular tembaga yang didirikan di atas tiang tidak pernah dipandang sebagai sumber kekuatan penyembuh ilahi. Allah saja yang menjadi sumber kekuatan penyembuh.
Lebih jauh lagi simbol ular tembaga di atas tiang tersebut kemudian dipakai oleh Kristus untuk mengkomunikasikan makna rencana keselamatan Allah dalam karya penebusanNya. Sebagaimana Musa telah meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan supaya setiap orang yang percaya kepadaNya beroleh hidup yang kekal (Yoh. 3:14-15). Peninggian Anak Manusia di Yoh. 3:14-15 jelas menunjuk kepada peristiwa kematian Kristus di atas kayu salib dan kebangkitanNya. Apabila ular tembaga di atas tiang dipandang sebagai simbol kekuatan penyembuh yang sifatnya insidentil dan samar-samar, maka sebaliknya peninggian Kristus di atas kayu salib dan kebangkitanNya dinyatakan sebagai kekuatan penyembuh yang sungguh-sungguh ilahi dan riel setiap waktu. Setiap orang tanpa kecuali harus memandang dan menyembah kepada Kristus, karena Dialah representasi dari kasih Allah kepada umat yang berdosa. Sehingga barangsiapa yang tidak mau memandang (percaya) kepada peninggian Kristus, maka mereka akan mati karena dosanya. Dalam konteks ini jelas Tuhan Yesus dinyatakan sebagai kekuatan penyembuh yang sifatnya mutlak. Dia bukan hanya sang Messias yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit tubuh manusia, tetapi juga dapat memulihkan hubungan dan pengampunan dari Allah. Maka ular yang dikutuk dipakai sebagai simbol anugerah, demikian juga salib yang dianggap sebagai kutukan, kini telah menyelamatkan.
Memang salib yang dulu selalu dipahami dengan ungkapan negatif, misalkan: dikutuk oleh Tuhan, pendosa besar, sengsara, penderitaan, atau ungkapan yang lain. Kini, lewat penyaliban Kristus, salib menjadi lambang kemuliaan. Sebab dengan salib Kristus, setiap manusia yang mengimaninya akan mendapatkan pengampunan dosa. Jelas, hal ini berbeda sekali dengan pikiran orang Yahudi jaman itu. Dengan salib, mereka sengaja merendahkan Yesus, mereka sengaja menghukum Yesus dan mereka sengaja menandai Yesus sebagai yang terkutuk. Namun kini keadaan berbeda. Sama seperti ular sebagai binatang terkutuk, namun pada jaman nabi Musa dipakai sebagai ‘wujud kehadiran Allah’. Demikian juga salib, yang dianggap terkutuk, namun lewat karya Yesus yang tersalib akan nampak kemuliaan Allah yang menyelamatkan manusia.
Itulah sebabnya beriman kepada Kristus akan menghasilkan kesembuhan yang paling utama, yaitu keselamatan dan hidup yang kekal. Iman yang hidup bukan sekedar suatu ketaatan secara legalistis terhadap perjanjian Allah dengan manusia, tetapi juga apakah kita telah menempatkan Kristus sebagai wujud perjanjian Allah yang paling absolut. Prinsip teologis yang menempatkan Kristus sebagai wujud perjanjian Allah yang paling absolut akan membawa dampak yang sangat fundamental, yaitu kehidupan kita sama sekali harus berpaling dari “penguasa kerajaan angkasa” yang sekarang bekerja di antara orang-orang durhaka (Ef. 2:2).
Panggilan
Salib memang kemuliaan Tuhan. Percaya kepada Salib Kristus, akan menyelamatkan seseorang. Sebab lewat Salib Kristus akan nampak sekali kasih Tuhan yang menebus dosa manusia. Di mana Allah membuat perjanjian kasih agar manusia ditebus dosanya. Maka sebagai orang yang telah mengimani Salib Kristus, seudah seharusnya meninggalkan penguasa Kerajaan Angkasa, yakni Iblis. Selama kita belum berpaling dari penguasa Kerajaan Angkasa, maka ketaatan kita kepada perjanjian Allah akan selalu pasang-surut. Kadang-kadang kita bersikap setia, tetapi kemudian kita akan lebih banyak melawan dan memberontak kepada Allah. Hal ini digambarkan oleh rasul Paulus di Ef. 2:1-10. Jika orang tetap hidup dalam penguasa Kerajaan Angkasa, atau iblis maka ia akan:
Artinya, kehidupannya masih dikuasai oleh penguasa Kerajaan Angkasa atau Iblis. Secara jasmaniah mereka tetap beragama dengan selalu beribadah dan melayani Allah dan sesamanya, tetapi sesungguhnya hidup mereka dikuasai oleh roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang durhaka. Sehingga mereka akan melawan Allah dengan hal-hal yang sifatnya sederhana seperti halnya:
Pengantar
Apa yang saudara pikirkan manakala melihat SALIB? Atau, ketika kita mendengar kata SALIB, apa yang ada dibenak kita? Tentu banyak sekali jawaban, namun rata-rata akan mengatakan ‘sengsara, beban berat, penderitaan, sakit, tidak tahan lagi’. Memang kita sering kali mengkaitkan kata salib dengan ‘beban’. Coba bandingkan dengan ungkapan, “Memikul salib”, atau “Setiap orang memiliki salibnya sendiri”. Di sini, salib diidentikkan dengan ‘sengsara, susah, derita, hidup tidak enak, penuh cobaan, berat’. Namun, benarkan salib hanya berarti SENGSARA?
Sengsara, memang musuh manusia. Siapapun kita, tentu tidak suka atau bahkan menjauhi sengsara. Buktinya, kita mau bekerja, belajar, hidup penuh pertimbangan, hati-hati atau beriman. Itu bukti bahwa kita menolak sengsara, atau setidaknya ‘menjauhi kesengsaraan’.
Bersungut-sungut
Alkitab memang menyatakan bahwa hubungan Allah dengan manusia dinyatakan dalam hubungan perjanjian. Alkitab begitu sering menggunakan istilah “perjanjian” yang mendasari seluruh kehidupan manusia di hadapan Allah seperti kisah: Perjanjian Allah dengan bumi yang dinyatakan kepada Nuh melalui lambang pelangi, perjanjian Allah dengan Abraham yang dinyatakan melalui sunat, perjanjian Allah dengan umat Israel di atas gunung Sinai melalui Sepuluh Firman. Sehingga, ketika manusia taat pada perjanjian, ia akan menuai kebahagiaan. Namun faktanya, sulit memang untuk setia pada perjanjian. Sebab perjanjian dianggap sebagai beban, sebagaimana kita sering mengartikan juga salib sebagai beban.
Israel memang sulit untuk setia. Hal ini terlihat dari kisah yang disaksikan di Bil. 21:4-9, di mana umat Israel melawan Allah dan Musa dengan cara bersungut-sungut karena mereka tidak memperoleh roti dan air sebagaimana yang diharapkannya. Sebenarnya Allah telah memelihara mereka dengan makanan dan air selama perjalanan di padang gurun, tetapi umat Israel menganggap makanan dan minuman tersebut tidak selezat makanan dan minuman di Mesir. Mereka bersungut-sungut berkata kepada Allah dan Musa, "Mengapa kamu memimpin kami keluar dari Mesir? Supaya kami mati di padang gurun ini? Sebab di sini tidak ada roti dan tidak ada air, dan akan makanan hambar ini kami telah muak" (Bil. 21:5). Mereka menunjukkan sikap kesal, marah hanya karena mereka menerima makanan yang terasa “hambar”. Bukankah sikap tersebut sesuatu yang sangat ironis? Karena umat Israel merasa kesal dengan makanan yang hambar itu, maka mereka melawan Allah. Padahal mereka protes karena masalah yang sebenarnya sederhana, hal ini mirip dengan kita yang kadangkala suka protes pada masalah yang sederhama, seperti: makanan yang kurang enak, penyajian makanan yang kurang menarik, jenis makanan yang kurang membangkitkan selera, tempat akomodasi yang kurang representatif, tranporasi yang kurang nyaman, dan sebagainya.
Umat Israel tidak hanya berkeluh-kesah dengan masalah selera makanan, tetapi juga cenderung mendramatisir suatu permasalahan. Masalah makanan yang dianggap terasa hambar dihubungkan dengan berakhirnya kehidupan mereka selaku umat. Umat Israel berkata, "Mengapa kamu memimpin kami keluar dari Mesir? Supaya kami mati di padang gurun ini? Sebab di sini tidak ada roti dan tidak ada air, dan akan makanan hambar ini kami telah muak" (Bil. 21:5). Perhatikan sikap sungut-sungut mereka: karena waktu itu hanya ada makanan yang terasa yang hambar, maka mereka merasa akan mati di padang gurun ini. Padahal realitanya Allah telah menyediakan manna sebagai roti, dan burung puyuh sebagai dagingnya serta air dari gunung batu untuk memenuhi seluruh kebutuhan mereka. Tetapi semua berkat makanan yang sebenarnya mampu menyuplai kebutuhan utama mereka selama 40 tahun di padang gurun dianggap tetap kurang cukup sebab makanan tersebut terasa kurang lezat sehingga akan menyebabkan mereka mati di padang gurun. Apakah kita dapat melihat “hubungan logis” antara makanan yang kurang lezat dengan kematian? Seseorang memang dapat mati kelaparan karena dia tidak mau mengkonsumsi makanan yang tidak disukai. Tetapi seorang yang cukup bijaksana pastilah tidak akan mau mati kelaparan hanya karena makanan tersebut kurang disukainya. Karena dia akan lebih mengutamakan untuk tetap bertahan hidup. Jadi jelaslah umat Israel di padang gurun telah mendramatisir masalahan akan menunjukkan sikap imannya kepada Allah.
Seseorang yang memiliki kecenderungan untuk mendramatisir suatu permasalahan akan selalu membesar-besarkan kesulitan yang dihadapi tetapi mengecilkan seluruh berkat Allah yang telah diterimanya. Bahkan mereka bukan hanya mengecilkan seluruh berkat Allah yang selalu diterimanya, tetapi juga akan meniadakan berkat-berkat Allah tersebut. Tepatnya seorang yang mendramatisir suatu permasalahan sepertinya selalu mengatakan bahwa Allah tidak pernah memelihara, menolong, peduli dan mengasihi dia walaupun sebenarnya dia telah menerima banyak hal. Mereka bukan hanya orang yang tidak tahu terima-kasih, tetapi juga seorang yang tidak mampu merespon berkat Allah dengan sikap iman.
Karena itu umat Israel yang sering mendramatisir permasalahannya telah memposisikan diri mereka sebagai musuh Allah. Mereka hidup menurut keinginan daging atau hawa-nafsu duniawi, sehingga Allah menyatakan murkaNya dengan cara mengirim ular-ular tedung untuk memagut dan membinasakan mereka. Ketika selaku umat Allah kita tidak hidup berdasarkan iman, tetapi mengikuti kehendak dan nafsu duniawi maka yang kita tuai adalah penderitaan dan kematian. Upah dari seseorang yang selalu mendramatisir permasalahannya adalah kesusahan, penyakit dan kematian. Agar melalui kesusahan, penyakit dan kematian tersebut Allah menyadarkan diri kita untuk selalu menyikapi setiap situasi dan permasalahan dengan sikap iman. Di balik suatu kesusahan, penyakit dan kematian kadang-kadang terdapat kekayaan hikmat Allah yang bertujuan untuk menyelamatkan hidup kita.
Dengan demikian kita tidak layak menyatakan bahwa setiap penyakit dan penderitaan tidak ada hubungannya dengan hukuman dan murka Allah. Memang, kita tidak boleh terlalu mudah menghubung-hubungkan suatu penyakit yang diderita seseorang dengan hukuman Allah. Sebab penyakit dalam banyak kasus sering bersifat sangat alamiah dan tidak terhindarkan. Tetapi dalam kasus tertentu, tampaknya penyakit yang diderita seseorang dipakai oleh Allah untuk membina dan memproses seseorang; misalnya agar mereka yang terlibat dengan berbagai dosa perzinahan, gemar mabuk, kemalasan, kedengkian dan pendendam segera bertobat. Mzm. 107:17 berkata: “Ada orang-orang menjadi sakit oleh sebab kelakuan mereka yang berdosa, dan disiksa oleh sebab kesalahan-kesalahan mereka”.
Jadi penyakit yang diderita seseorang karena perbuatan dosa pada hakikatnya bertujuan untuk mendidik supaya dia bertobat. Dalam konteks demikian yang harus kita lakukan kepada orang-orang dengan kasus yang telah jelas berbuat dosa sehingga dia menderita sakit adalah pertama-tama bukan mendoakan agar penyakitnya sembuh; tetapi yang perlu kita bahas dan selesaikan terlebih dahulu secara terbuka adalah sikap pertobatan, kejujuran dan penyesalannya kepada Tuhan. Selama kita belum bertobat, maka tidak akan tersedia kesembuhan dari Allah. Sikap itulah yang dinyatakan oleh umat Israel setelah mereka dipagut oleh ular tedung, yaitu: "Kami telah berdosa, sebab kami berkata-kata melawan TUHAN dan engkau; berdoalah kepada TUHAN, supaya dijauhkan-Nya ular-ular ini dari pada kami." Lalu Musa berdoa untuk bangsa itu (Bil. 21:7).
Kekuatan Penyembuh
Cara kerja Allah yang mengampuni dan menyelamatkan umat Israel yang telah melawan perjanjianNya sungguh unik. Allah memerintahkan Musa agar dia membuat ular tembaga yang ditempatkan di atas tiang. Barangsiapa yang memandang ular tembaga tersebut akan sembuh dan hidup (Bil. 21:9). Namun bukankah perintah Allah tersebut justru bertentangan dengan salah satu hukum dalam Sepuluh Firman yang berkata: “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu” (Kel. 20:4-5a). Mengapa Allah justru menyuruh Musa untuk membuat ular tembaga di atas tiang, lalu menyuruh umat Israel memandang ular tembaga tersebut? Tentunya Allah tidak pernah bermaksud menyuruh umat Israel menyembah kepada ular tembaga di atas tiang tersebut. Sebaliknya mereka diingatkan bahwa ular tembaga tersebut sebenarnya hanya berfungsi sebagai representasi hukuman Allah kepada umat yang memberontak. Sehingga saat mereka memandang ular tembaga tersebut, mereka diingatkan akan hukuman Allah yang mematikan sekaligus juga kasih Allah yang melampaui dosa umat manusia. Ingatlah ular adalah binatang yang dikutuk oleh Tuhan, tetapi kita dipakai oleh Allah. Dengan demikian ular tembaga yang didirikan di atas tiang tidak pernah dipandang sebagai sumber kekuatan penyembuh ilahi. Allah saja yang menjadi sumber kekuatan penyembuh.
Lebih jauh lagi simbol ular tembaga di atas tiang tersebut kemudian dipakai oleh Kristus untuk mengkomunikasikan makna rencana keselamatan Allah dalam karya penebusanNya. Sebagaimana Musa telah meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan supaya setiap orang yang percaya kepadaNya beroleh hidup yang kekal (Yoh. 3:14-15). Peninggian Anak Manusia di Yoh. 3:14-15 jelas menunjuk kepada peristiwa kematian Kristus di atas kayu salib dan kebangkitanNya. Apabila ular tembaga di atas tiang dipandang sebagai simbol kekuatan penyembuh yang sifatnya insidentil dan samar-samar, maka sebaliknya peninggian Kristus di atas kayu salib dan kebangkitanNya dinyatakan sebagai kekuatan penyembuh yang sungguh-sungguh ilahi dan riel setiap waktu. Setiap orang tanpa kecuali harus memandang dan menyembah kepada Kristus, karena Dialah representasi dari kasih Allah kepada umat yang berdosa. Sehingga barangsiapa yang tidak mau memandang (percaya) kepada peninggian Kristus, maka mereka akan mati karena dosanya. Dalam konteks ini jelas Tuhan Yesus dinyatakan sebagai kekuatan penyembuh yang sifatnya mutlak. Dia bukan hanya sang Messias yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit tubuh manusia, tetapi juga dapat memulihkan hubungan dan pengampunan dari Allah. Maka ular yang dikutuk dipakai sebagai simbol anugerah, demikian juga salib yang dianggap sebagai kutukan, kini telah menyelamatkan.
Memang salib yang dulu selalu dipahami dengan ungkapan negatif, misalkan: dikutuk oleh Tuhan, pendosa besar, sengsara, penderitaan, atau ungkapan yang lain. Kini, lewat penyaliban Kristus, salib menjadi lambang kemuliaan. Sebab dengan salib Kristus, setiap manusia yang mengimaninya akan mendapatkan pengampunan dosa. Jelas, hal ini berbeda sekali dengan pikiran orang Yahudi jaman itu. Dengan salib, mereka sengaja merendahkan Yesus, mereka sengaja menghukum Yesus dan mereka sengaja menandai Yesus sebagai yang terkutuk. Namun kini keadaan berbeda. Sama seperti ular sebagai binatang terkutuk, namun pada jaman nabi Musa dipakai sebagai ‘wujud kehadiran Allah’. Demikian juga salib, yang dianggap terkutuk, namun lewat karya Yesus yang tersalib akan nampak kemuliaan Allah yang menyelamatkan manusia.
Itulah sebabnya beriman kepada Kristus akan menghasilkan kesembuhan yang paling utama, yaitu keselamatan dan hidup yang kekal. Iman yang hidup bukan sekedar suatu ketaatan secara legalistis terhadap perjanjian Allah dengan manusia, tetapi juga apakah kita telah menempatkan Kristus sebagai wujud perjanjian Allah yang paling absolut. Prinsip teologis yang menempatkan Kristus sebagai wujud perjanjian Allah yang paling absolut akan membawa dampak yang sangat fundamental, yaitu kehidupan kita sama sekali harus berpaling dari “penguasa kerajaan angkasa” yang sekarang bekerja di antara orang-orang durhaka (Ef. 2:2).
Panggilan
Salib memang kemuliaan Tuhan. Percaya kepada Salib Kristus, akan menyelamatkan seseorang. Sebab lewat Salib Kristus akan nampak sekali kasih Tuhan yang menebus dosa manusia. Di mana Allah membuat perjanjian kasih agar manusia ditebus dosanya. Maka sebagai orang yang telah mengimani Salib Kristus, seudah seharusnya meninggalkan penguasa Kerajaan Angkasa, yakni Iblis. Selama kita belum berpaling dari penguasa Kerajaan Angkasa, maka ketaatan kita kepada perjanjian Allah akan selalu pasang-surut. Kadang-kadang kita bersikap setia, tetapi kemudian kita akan lebih banyak melawan dan memberontak kepada Allah. Hal ini digambarkan oleh rasul Paulus di Ef. 2:1-10. Jika orang tetap hidup dalam penguasa Kerajaan Angkasa, atau iblis maka ia akan:
- Mati karena pelanggaran dan dosa
- Mengikuti jalan dunia
- Penguasa Kerajaan Angkasa
- Roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang durhaka
- Hawa nafsu daging dan kehendak daging
Artinya, kehidupannya masih dikuasai oleh penguasa Kerajaan Angkasa atau Iblis. Secara jasmaniah mereka tetap beragama dengan selalu beribadah dan melayani Allah dan sesamanya, tetapi sesungguhnya hidup mereka dikuasai oleh roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang durhaka. Sehingga mereka akan melawan Allah dengan hal-hal yang sifatnya sederhana seperti halnya:
- Meninggalkan Kristus karena diiming-imingi oleh uang/materi dan jodoh.
- Meninggalkan pelayanan karena sering mendapati hal-hal yang melukai hati.
- Selalu mencari pembenaran diri saat ditegur.
- Selalu berupaya mencari perhatian.
- Berupaya memperoleh keuntungan dalam pelayanan gerejawi atau kemuliaan diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar