Yunus 3:10-4:11; Mazmur 145:1-8; Filipi 1:21-30; Matius 20:1-16
Pengantar
Bagaimana sikap kita, ketika kita diperhadapkan pada sesuatu yang ’lebih besar, lebih dahsyat dan lebih megah’ dari yang ada dalam diri kita? Misalkan: kita di atas gunung melihat ’jauhnya mata memandang’, kita ditengah laut luas yang tiada batas, kita berada di tengah sungai Kali Putih yang membawa batu-batu besar sebesar truk bisa hanyut, kita berada di tengah gempa yang menghancurkan apa saja. Tentu kita akan ’kaget, takut, kagum, merasa diri kecil, menyadari kita hanya bagian dari yang besar, dan menyadari ada kekuatan yang jauh lebih besar dari pada kita’. Dalam bahasa iman, tentu kekuatan kita sebagai manusia tidak sebanding dengan ’kekuatan alam, kekuatan Tuhan’. Ketika kita melihat itu semua seharusnya, kita sadar betapa kecil dan rapuhnya kita sebagai manusia. Tidaklah mengherankan, lalu muncullah lagu KJ 40 ”Ajaib Benar anugerah’ atau ’Amazing Grace”’, yang menggambarkan refleksi syukur seseorang terhadap ’jalan hidupnya’ yang penuh dengan anugerah.
Refleksi dalam kehidupan
Rasul Paulus ketika sedang ada dipenjara Filipi, ia berusaha melihat kembali langkah kehidupannya selama ini. Memang Paulus kian menyadari, jika dulu ’ia salah arah dan hidup dengan ambisinya’, kini ia merasa ’telah ditangkap dan dikuasai Kristus’. Itulah sebabnya, ia mengatakan ”Bagiku hidup adalah Kristus” (ayat 21a). Artinya, kini ia telah mempersembahkan semua hidupnya bagi Kristus, fokusnya hanya pada Kristus. Karena hanya dengan memberikan hidup sepenuhnya, barulah Kristus dapat dimuliakan dalam dirinya. Pemuliaan Kristus ini akan menjadi lengkap-sempurna, ketika Paulus setia sampai akhir hidupnya. Dengan demikian, kematiannya pun menjadi sebuah kesempatan untuk memuliakan Kristus. Kondisi inilah yang kemudian disebut Paulus dengan mati adalah keuntungan. Sebab orang yang hidup bagi dirinya sendiri, akan melihat kematian sebagai sebuah kerugian. Ia akan takut mati, karena ia akan kehilangan segalanya. Bagi Paulus, hidup di dunia menjadi sebuah kesempatan berharga, karena Kristus masih memberikanya kesempatan untuk mempermuliakan-Nya. Sehingga hidupnya adalah melakukan karua yang berguna bagi kemuliaan Kristus. Jadi bukan sekedar hidup menghabiskan waktu atau bersenang-senang memusakan diri. Antara hidup atau mati, bagi Paulus keduanya sama-sama baik. Sehingga ia tidak tahu, atau tidak dapat menerangkan harus memilih yang mana. Paulus juga diperhadapkan pada kebutuhan pemberitaan Injil, sehingga ia merasa lebih perlu tinggal di dunia ini karena jemaat. Kasih Kristus membuatnya mengasihi dan memikirkan kepentingan jemaat Filipi. Begitu kuatnya kasih kepada jemaat Filipi, sehingga Paulus merasa perlu tetap tinggal di dunia. Sikap ini tentu saja bukan egosentrisme karena Paulus memiliki posisi penting di sana, namun disebabkan oleh kebutuhan pemberitaan Injil serta penggembalaan jemaat.
Ada satu alasan mengapa Paulus merasa perlu tetap tinggal di dunia: dia ingin agar jemaat makin maju dan bersukacita dalam iman, makin kuat dan senang dalam iman kepada Tuhan. Hal inilah yang menimbulkan keyakinan kuat, sehingga Paulus dapat tetap melakukan tugasnya dengan penuh semangat, meskipun saat itu ia masih berada dalam penjara. Bahkan, dengan yakin Paulus mengatakan bahwa ia akan kembali kepada mereka, yang berarti ia akan terbebas dari hukuman penjara. Jika Paulus benar-benar dibebaskan, kemegahan jemaat dalam Kristus akan makin bertambah.
Itulah sebabnya pada ayat 27-30 berisikan nasehat Paulus kepada jemaat Filipu agar tetap bertekun dalam iman. Nasehat Paulus diawali dengan kata ’hanya’ (Yunani ’monon, artinya sebuah peringatan yang harus ditaati) yang menunjuk pada perintah agar agar jemaat Filipi hidup berpadanan (= artinya tindakan bersatu, tolong menolong, saling menghormati, bersama-sama melawan raja kegelapan) dengan Injil Kristus. Untuk menindak-lanjuti perintah ini, Paulus menyatakan keinginannya melihat bukti heteguhan mereka berdiri dalam satu roh, serta kesehatian mereka dalam berjuang untuk iman. Jika Paulus bebas, dia berharap dapat melihat kesatuan jemaat serta ketekunan mereka. Atau, semasa masih di penjara dia berharap dapat mendengarkannya. Hal ini menunjukkan kepedulian yang tinggi dari Paulus dalam melaksanakan tugas penggembalaannya.
Paulus meminta jemaat untuk tetap teguh berdiri dalam persekutuan dengan Roh Kudus. Ini merupakan peringatan untuk menyiapkan diri menghadapi tantangan. Paulus ditahan di penjara, sementara mereka juga menghadapi hal-hal yang bisa menggeser mereka dari Injil. Jika mereka tetap hidup berpadanan dengan Injil Kristus, iman mereka akan terus bertumbuh, dan tidak gentar terhadap lawan. Berita Injil itu akan menjadi suatu tanda: Bagi jemaat berita Injil adalah tanda keselamatan, namun bagi orang-orang yang menentangnya, Injil merupakan tanda kebinasaan.
Di sini nampak sekali, ’tiada gentar sedikit pun’ merupakan keadaan yang luar biasa. Agar tidak gentar, jemaat Filipi haru benar-benar yakin akan kebenaran yang dipegangnya. Di samping itu, mereka harus berani menghadapi lawan, bukan bersembunyi atau melarikan. Keyakinan ini harus muncul dari pemahaman akan berita Injil, dan keberanian itu harus muncul dari persekutuan jemaat dengan Roh Kudus. Itulah sebabnya perjumpaannya dengan Tuhan Yesus yang begitu mengesankan Paulus, sehingga terus menerus muncul dalam refleksinya. Paulus sangat mensyukuri keselamatan yang Tuhan anugerahkan kepadanya, sekaligus dengan tugas panggilan yang harus dilaksanakannya. Begitu mendalamnya pengalaman itu merasuk ke hatinya, sehingga dalam refleksinya di surat Filipi ini, Paulus mengatakan bahwa baginya hidup itu Kristus, dan mati (di dalam Kristus) adalah keuntungan. Dan, dimotivasi oleh rasa syukurnya, Paulus menjadikan pemenuhan tugas panggilan itu sebagai fokus hidupnya.
Rasa syukur kepada Tuhan dan komitmen rasul Paulus untuk menjalankan tugas yang dipercayakan kepadanya ini, amat berbeda dengan prilaku Yunus dalam bacaan I. Yunus sepertinya ingin menolak panggilannya sebagai nabi yang diutus ke Ninewe. Dikatakan dalam bacaan I, orang Ninewe berbalik dari tingkah lakunya yang jahat, mereka menerima nubuat Yunus sebagai firman Allah. Dengan demikian, mereka menyadari akan dosa-dosa mereka, dan menerima kenyataan bahwa mereka pantas dihukum. Karena itu, mereka serius bertobat, disertai harapan kiranya Allah akan berkenan mengampuni mereka. Ternyata Allah memang berbelas-kasihan, sehingga mengubah keputusan-Nya. Perubahan sikap Allah ini bukanlah suatu bentuk inkonsistensi, melainkan karena kasih-setia Allah yang melihat perubahan mereka secara radikal. Orang Ninewe yakin nubuatan Yunus adalah Ultimatum atau ’tuntutan yang terakhir’, dan bukan Ultimum atau ’vonis yang telah dijatuhkan’. Dengan demikian mereka masih diberi kesempatan untuk menentukan sikap.
Namun Yunus tidak dapat memahami belas-kasih allah kepada Ninewe. Yunus 4:1 menggambarkan betapa marahnya Yunus melihat pembatalan hukuman itu. Ia sama sekali tidak senang dengan hal itu. Bahkan, jika diterjemahkan secara harafiah, ayat ini berbunyi, ”Tetapi hal itu jahat kepada Yunus, kejahatan besar dan bernyala-nyala baginya”. Meskipun Yunus marah kepada Allah, dia tidak dapat lari dari Allah. Hubungan Yunus dengan Allah masih erat. Karena itu, dia tetap menaikkan doa. Bedanya, Yunus menaikkan doa yang bernada egosentris dan membenarkan dirinya. Yunus tidak dapat melihat ’dinamika pergumulan’ orang-orang Ninewe. Bagaimana sulitnya memulai proses sebuah pertobatan, dan betapa sulitnya Allah Yang Maha Kudus mengampuni sebuah komunitas yang pernah melakukan dosa besar. Padahal, seharusnya seorang nabi seperti Yunus justru memohon Allah mengampuni mereka. Dalam hal ini, panggilannya sebagai nabi diuji: Apakah Yunus memilih kasih kepada orang-orang, kepada siapa ia diutus.
Jika kalimat pertama dalam doanya sudah salah, maka kalimat berikutnya lebih ironis lagi, karena ia mencari pembenaran tentang kepergiannya ke Tarsis. Bagaimana mungkin seorang nabi yang menghindar dari tugasnya, lari ke tempat yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan tugasnya, bisa mencari pembenaran dari Allah yang mengutusnya?
Di ayat ini disebutkan 5 sifat Allah, yaitu: (1) Pengasih, yang peduli terhadap orang yang lemah dan miskin, (2) Penyayang, seperti seorang ibu, (3) Panjang sabar yang mampu menahan murkanya, (4) yang memiliki kasih setia, dan (50) bisa menyesal karena malapetaka yang kendak di datangkan-Nya.
Kenyataannya, Yunus tidak senang dengan semua sifat Allah tersebut. Yunus mempersalahkan, mengapa Allah harus ’kasih, penyayang, sabar, setia, penuh penyesalan’. Itulah sebabnya pada akhir doanya, Yunus menutupnya dengan, ”...cabutlah kiranya nyawaku”. Nubuat Yunus tentang hukuman terhadap Ninewe ternyata tidak terjadi, kota itu tidak dihancurkan. Dalam keadaan seperti ini, Yunus minta mati. Rasa marah, kecewa, malu, dan putus-asa bercampur aduk dan membuat Yunus frustasi. Dia menganggap mati lebih baik. Mati dianggap sebagai alat pembebas dari segala persoalan. Memang pandangan Yunus dipenuhi dengan beragam pikiran negatif. Dia sama sekali tidak melihat keberhasilan penginjilannya. Bukankah Yunus baru saja mencapai prestasi yang luar biasa, karena secara tidak langsung dia telah berhasil menyelamatkan begitu banyak orang, dalam sebuah kota yang hampir saja dihancurkan? Seharusnya, Yunus mengucapkan syukur, bersorak sorai, dan lebih bersemangat lagi dalam melakukan tugas kenabiannya.
Seharusnya Tuhanlah yang marah. Yunus telah mengkhianati tugas dengan melarikan diri ke Tarsis, dan sangat merepotkan Tuhan yang harus mengembalikan Yunus ke Ninewe lagi. Perjalanan ke Tarsis masih butuh waktu. Dan, kalaupun ada kapal dari Tarsis yang langsung menuju Ninewe, tentu membutuhkan waktu lama, sementara batas waktu pertobatan Ninewe hanyalah 40 hari. Namun dengan penuh kesabaran, Tuhan memandukan penyadaran Yunus dengan sebuah pertanyaan reflektif: ”Layakkah engkau marah?” Bukankah Yunus telah melewati pergumulan atas panggilannya, ketika berada di perut ikan? Jika Yunus sungguh mensyukuri keselamatan yang Allah berikan kepadanya, bukankah seharusnya ia patuh kepada titah perintah sang Pemberi Hidup? Ternyata Tuhan tidak memarahi, mempersalahkan, maupun berdiskusi dengan Yunus. Tuhan hanya mengajak Yunus untuk berefleksi. Tuhan menariknya kepada inti persoalan: ’siapakah yang sesungguhnya berdaulat? Apa status dan posisi Yunus, hingga dia merasa layak memarahi Tuhan?’. Yunus, ternyata seorang nabi yang tidak bisa mensyukuri anugerah dan kasih allah.
Mampu bersyukur, menolak bersungut-sungut
Tuhan memang penuh kasih setia dan anugerah. Inilah yang mau digambarkan dalam perumpamaan di dalam bacaan III. Perumpmaaan ini diambil dari kehidupan sehari-hari di Palestina ketika panen anggur. Di waktu panen, banyak sekali pekerjaan: mulai dari memotong tandan, mengangkut ke tempat pengirikan (atau semacam bak), hingga memeras buah. Dengan demikian, biasanya pemilik kebun akan mencari tenaga kerja untuk membantunya.
Pemilik kebun sudah keluar sejak pagi untuk mencari pekerja, ia sepakat dengan upah sedinar sehari. Begit banyaknya pekerjaan membuat pemilik kebun sampai 5x mencari tenaga tambahan, bahkan yang terakhir ia memperkerjakan orang mulai pukul 5 sore. Semua pekerjaan selesai pukul 6 petang. Mereka yang bekerja mulai pagi tentu sudah sangat lelah, sementara yang baru mulai pukul 5 masih segar, semua menghasilkan kerjasama yang indah sehingga pekerjaan bisa selesai kira-kira pukul enam.
Perumpamaan ini mengajarkan betapa besarnya kasih karunia serta kesempatan yang diberikan Allah kepada manusia, sehingga seolah-olah panggilan itu terus diberikan selama masih ada waktu. Pemilik kebun tentu bebas memilih siapa pun yang bekerja di ladangnya, begitu pula Allah punya kedaulatan penuh untuk menyelamatkan siapa pun yang dikehendakinya. Pemilik kebun langsung membayarkan upah para pekerja. Ternyata hal ini menimbulkan konflik. Beberapa pekerja merasa diperlakukan tidak adil, karena dibayar sama dengan mereka yang hanya bekerja sebentar. Pemilik kebun tidak dapat dipersalahkan karena ia sudah membayar sesuai kesepakatan dan standar yang berlaku. Pekerja yang protes itu tidak memiliki kasih maupun solidaritas terhadap mereka yang hanya bekerja satu jam, padahal mereka sama-sama punya tanggungjawab terhadap keluarganya. Hal ini kontras dengan pemilik kebun, yang rela memberikan jumlah yang sama. Jika kita perhatikan, akan ada perbedaan besar antara memohon belas-kasih dengan menuntut. Jika mereka memohon belas-kasihan agar upah mereka ditambah, masih rasional dan bukan memaksa. Kalau mereka menuntut, berarti menganggap pemilik kebun tidak adil dan melakukan pelanggaran. Yang terjadi bukanlah pengurangan atas upah mereka yang bekerja dari pagi, melainkan kemurahan hati (penambahan upah) kepada mereka yang bekerja hanya sebentar.
Bersungut-sungut, memang meniadakan syukur. Ketika mereka bersungut-sungut, sesuatu yang seharusnya disyukuri menjadi hilang. Padahal, jika tidak dipanggil pemilik kebun, mungkin sepanjang hari mereka tidak mendapat uang sepeser pun. Pemilik kebuh akhirnya bersikap tegas, dan menyatakan kedaulatannya, yaitu bahwa dia berhak atas miliknya. Dia bahkan mengkritik rasa iri pekerja yang protes.
Panggilan
Yunus dan Paulus adalah hamba-hamba Allah yang diberi tugas untuk memberitakan Injil. Namun sikap keduanya bertolak belakang. Dengan motivasi yang kuat dan rasa terbeban terhadap jemaat, Paulus melakukan tugas sebaik-baiknya. Bahkan sampai dipenjara pun Paulus tetap memikirkan mereka. Sementara itu, Yunus justru melarikan diri menjauhi tempat pelayanannya. Sampai setelah ditegur pun, dia hanay memberitakan ultimatum penghukuman Tuhan. Setelah itu ia pun segera pergi, seolah ingin segera menyaksikan penggenapan hukuman Tuhan. Berbeda dengan Paulus yang memiliki keterikatan batin dengan jemaat, Yunus justru menjauhi mereka.
Mengapa di dalam diri orang yang sama-sama dipanggil Tuhan untuk memberitakan keselamatan, bisa muncul sikap yang berbeda? Kuncinya adalah ’syukur dan komitmen’. Ketika orang mensyukuri segala sesuatu, akan menyadarkan dirinya bahwa tugas pelayanan atau komitmen pelayanan harus tetap dijalankan meskipun mengalami beragam kesulitan. Bagaimana dengan saudara? Amin.
Pengantar
Bagaimana sikap kita, ketika kita diperhadapkan pada sesuatu yang ’lebih besar, lebih dahsyat dan lebih megah’ dari yang ada dalam diri kita? Misalkan: kita di atas gunung melihat ’jauhnya mata memandang’, kita ditengah laut luas yang tiada batas, kita berada di tengah sungai Kali Putih yang membawa batu-batu besar sebesar truk bisa hanyut, kita berada di tengah gempa yang menghancurkan apa saja. Tentu kita akan ’kaget, takut, kagum, merasa diri kecil, menyadari kita hanya bagian dari yang besar, dan menyadari ada kekuatan yang jauh lebih besar dari pada kita’. Dalam bahasa iman, tentu kekuatan kita sebagai manusia tidak sebanding dengan ’kekuatan alam, kekuatan Tuhan’. Ketika kita melihat itu semua seharusnya, kita sadar betapa kecil dan rapuhnya kita sebagai manusia. Tidaklah mengherankan, lalu muncullah lagu KJ 40 ”Ajaib Benar anugerah’ atau ’Amazing Grace”’, yang menggambarkan refleksi syukur seseorang terhadap ’jalan hidupnya’ yang penuh dengan anugerah.
Refleksi dalam kehidupan
Rasul Paulus ketika sedang ada dipenjara Filipi, ia berusaha melihat kembali langkah kehidupannya selama ini. Memang Paulus kian menyadari, jika dulu ’ia salah arah dan hidup dengan ambisinya’, kini ia merasa ’telah ditangkap dan dikuasai Kristus’. Itulah sebabnya, ia mengatakan ”Bagiku hidup adalah Kristus” (ayat 21a). Artinya, kini ia telah mempersembahkan semua hidupnya bagi Kristus, fokusnya hanya pada Kristus. Karena hanya dengan memberikan hidup sepenuhnya, barulah Kristus dapat dimuliakan dalam dirinya. Pemuliaan Kristus ini akan menjadi lengkap-sempurna, ketika Paulus setia sampai akhir hidupnya. Dengan demikian, kematiannya pun menjadi sebuah kesempatan untuk memuliakan Kristus. Kondisi inilah yang kemudian disebut Paulus dengan mati adalah keuntungan. Sebab orang yang hidup bagi dirinya sendiri, akan melihat kematian sebagai sebuah kerugian. Ia akan takut mati, karena ia akan kehilangan segalanya. Bagi Paulus, hidup di dunia menjadi sebuah kesempatan berharga, karena Kristus masih memberikanya kesempatan untuk mempermuliakan-Nya. Sehingga hidupnya adalah melakukan karua yang berguna bagi kemuliaan Kristus. Jadi bukan sekedar hidup menghabiskan waktu atau bersenang-senang memusakan diri. Antara hidup atau mati, bagi Paulus keduanya sama-sama baik. Sehingga ia tidak tahu, atau tidak dapat menerangkan harus memilih yang mana. Paulus juga diperhadapkan pada kebutuhan pemberitaan Injil, sehingga ia merasa lebih perlu tinggal di dunia ini karena jemaat. Kasih Kristus membuatnya mengasihi dan memikirkan kepentingan jemaat Filipi. Begitu kuatnya kasih kepada jemaat Filipi, sehingga Paulus merasa perlu tetap tinggal di dunia. Sikap ini tentu saja bukan egosentrisme karena Paulus memiliki posisi penting di sana, namun disebabkan oleh kebutuhan pemberitaan Injil serta penggembalaan jemaat.
Ada satu alasan mengapa Paulus merasa perlu tetap tinggal di dunia: dia ingin agar jemaat makin maju dan bersukacita dalam iman, makin kuat dan senang dalam iman kepada Tuhan. Hal inilah yang menimbulkan keyakinan kuat, sehingga Paulus dapat tetap melakukan tugasnya dengan penuh semangat, meskipun saat itu ia masih berada dalam penjara. Bahkan, dengan yakin Paulus mengatakan bahwa ia akan kembali kepada mereka, yang berarti ia akan terbebas dari hukuman penjara. Jika Paulus benar-benar dibebaskan, kemegahan jemaat dalam Kristus akan makin bertambah.
Itulah sebabnya pada ayat 27-30 berisikan nasehat Paulus kepada jemaat Filipu agar tetap bertekun dalam iman. Nasehat Paulus diawali dengan kata ’hanya’ (Yunani ’monon, artinya sebuah peringatan yang harus ditaati) yang menunjuk pada perintah agar agar jemaat Filipi hidup berpadanan (= artinya tindakan bersatu, tolong menolong, saling menghormati, bersama-sama melawan raja kegelapan) dengan Injil Kristus. Untuk menindak-lanjuti perintah ini, Paulus menyatakan keinginannya melihat bukti heteguhan mereka berdiri dalam satu roh, serta kesehatian mereka dalam berjuang untuk iman. Jika Paulus bebas, dia berharap dapat melihat kesatuan jemaat serta ketekunan mereka. Atau, semasa masih di penjara dia berharap dapat mendengarkannya. Hal ini menunjukkan kepedulian yang tinggi dari Paulus dalam melaksanakan tugas penggembalaannya.
Paulus meminta jemaat untuk tetap teguh berdiri dalam persekutuan dengan Roh Kudus. Ini merupakan peringatan untuk menyiapkan diri menghadapi tantangan. Paulus ditahan di penjara, sementara mereka juga menghadapi hal-hal yang bisa menggeser mereka dari Injil. Jika mereka tetap hidup berpadanan dengan Injil Kristus, iman mereka akan terus bertumbuh, dan tidak gentar terhadap lawan. Berita Injil itu akan menjadi suatu tanda: Bagi jemaat berita Injil adalah tanda keselamatan, namun bagi orang-orang yang menentangnya, Injil merupakan tanda kebinasaan.
Di sini nampak sekali, ’tiada gentar sedikit pun’ merupakan keadaan yang luar biasa. Agar tidak gentar, jemaat Filipi haru benar-benar yakin akan kebenaran yang dipegangnya. Di samping itu, mereka harus berani menghadapi lawan, bukan bersembunyi atau melarikan. Keyakinan ini harus muncul dari pemahaman akan berita Injil, dan keberanian itu harus muncul dari persekutuan jemaat dengan Roh Kudus. Itulah sebabnya perjumpaannya dengan Tuhan Yesus yang begitu mengesankan Paulus, sehingga terus menerus muncul dalam refleksinya. Paulus sangat mensyukuri keselamatan yang Tuhan anugerahkan kepadanya, sekaligus dengan tugas panggilan yang harus dilaksanakannya. Begitu mendalamnya pengalaman itu merasuk ke hatinya, sehingga dalam refleksinya di surat Filipi ini, Paulus mengatakan bahwa baginya hidup itu Kristus, dan mati (di dalam Kristus) adalah keuntungan. Dan, dimotivasi oleh rasa syukurnya, Paulus menjadikan pemenuhan tugas panggilan itu sebagai fokus hidupnya.
Rasa syukur kepada Tuhan dan komitmen rasul Paulus untuk menjalankan tugas yang dipercayakan kepadanya ini, amat berbeda dengan prilaku Yunus dalam bacaan I. Yunus sepertinya ingin menolak panggilannya sebagai nabi yang diutus ke Ninewe. Dikatakan dalam bacaan I, orang Ninewe berbalik dari tingkah lakunya yang jahat, mereka menerima nubuat Yunus sebagai firman Allah. Dengan demikian, mereka menyadari akan dosa-dosa mereka, dan menerima kenyataan bahwa mereka pantas dihukum. Karena itu, mereka serius bertobat, disertai harapan kiranya Allah akan berkenan mengampuni mereka. Ternyata Allah memang berbelas-kasihan, sehingga mengubah keputusan-Nya. Perubahan sikap Allah ini bukanlah suatu bentuk inkonsistensi, melainkan karena kasih-setia Allah yang melihat perubahan mereka secara radikal. Orang Ninewe yakin nubuatan Yunus adalah Ultimatum atau ’tuntutan yang terakhir’, dan bukan Ultimum atau ’vonis yang telah dijatuhkan’. Dengan demikian mereka masih diberi kesempatan untuk menentukan sikap.
Namun Yunus tidak dapat memahami belas-kasih allah kepada Ninewe. Yunus 4:1 menggambarkan betapa marahnya Yunus melihat pembatalan hukuman itu. Ia sama sekali tidak senang dengan hal itu. Bahkan, jika diterjemahkan secara harafiah, ayat ini berbunyi, ”Tetapi hal itu jahat kepada Yunus, kejahatan besar dan bernyala-nyala baginya”. Meskipun Yunus marah kepada Allah, dia tidak dapat lari dari Allah. Hubungan Yunus dengan Allah masih erat. Karena itu, dia tetap menaikkan doa. Bedanya, Yunus menaikkan doa yang bernada egosentris dan membenarkan dirinya. Yunus tidak dapat melihat ’dinamika pergumulan’ orang-orang Ninewe. Bagaimana sulitnya memulai proses sebuah pertobatan, dan betapa sulitnya Allah Yang Maha Kudus mengampuni sebuah komunitas yang pernah melakukan dosa besar. Padahal, seharusnya seorang nabi seperti Yunus justru memohon Allah mengampuni mereka. Dalam hal ini, panggilannya sebagai nabi diuji: Apakah Yunus memilih kasih kepada orang-orang, kepada siapa ia diutus.
Jika kalimat pertama dalam doanya sudah salah, maka kalimat berikutnya lebih ironis lagi, karena ia mencari pembenaran tentang kepergiannya ke Tarsis. Bagaimana mungkin seorang nabi yang menghindar dari tugasnya, lari ke tempat yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan tugasnya, bisa mencari pembenaran dari Allah yang mengutusnya?
Di ayat ini disebutkan 5 sifat Allah, yaitu: (1) Pengasih, yang peduli terhadap orang yang lemah dan miskin, (2) Penyayang, seperti seorang ibu, (3) Panjang sabar yang mampu menahan murkanya, (4) yang memiliki kasih setia, dan (50) bisa menyesal karena malapetaka yang kendak di datangkan-Nya.
Kenyataannya, Yunus tidak senang dengan semua sifat Allah tersebut. Yunus mempersalahkan, mengapa Allah harus ’kasih, penyayang, sabar, setia, penuh penyesalan’. Itulah sebabnya pada akhir doanya, Yunus menutupnya dengan, ”...cabutlah kiranya nyawaku”. Nubuat Yunus tentang hukuman terhadap Ninewe ternyata tidak terjadi, kota itu tidak dihancurkan. Dalam keadaan seperti ini, Yunus minta mati. Rasa marah, kecewa, malu, dan putus-asa bercampur aduk dan membuat Yunus frustasi. Dia menganggap mati lebih baik. Mati dianggap sebagai alat pembebas dari segala persoalan. Memang pandangan Yunus dipenuhi dengan beragam pikiran negatif. Dia sama sekali tidak melihat keberhasilan penginjilannya. Bukankah Yunus baru saja mencapai prestasi yang luar biasa, karena secara tidak langsung dia telah berhasil menyelamatkan begitu banyak orang, dalam sebuah kota yang hampir saja dihancurkan? Seharusnya, Yunus mengucapkan syukur, bersorak sorai, dan lebih bersemangat lagi dalam melakukan tugas kenabiannya.
Seharusnya Tuhanlah yang marah. Yunus telah mengkhianati tugas dengan melarikan diri ke Tarsis, dan sangat merepotkan Tuhan yang harus mengembalikan Yunus ke Ninewe lagi. Perjalanan ke Tarsis masih butuh waktu. Dan, kalaupun ada kapal dari Tarsis yang langsung menuju Ninewe, tentu membutuhkan waktu lama, sementara batas waktu pertobatan Ninewe hanyalah 40 hari. Namun dengan penuh kesabaran, Tuhan memandukan penyadaran Yunus dengan sebuah pertanyaan reflektif: ”Layakkah engkau marah?” Bukankah Yunus telah melewati pergumulan atas panggilannya, ketika berada di perut ikan? Jika Yunus sungguh mensyukuri keselamatan yang Allah berikan kepadanya, bukankah seharusnya ia patuh kepada titah perintah sang Pemberi Hidup? Ternyata Tuhan tidak memarahi, mempersalahkan, maupun berdiskusi dengan Yunus. Tuhan hanya mengajak Yunus untuk berefleksi. Tuhan menariknya kepada inti persoalan: ’siapakah yang sesungguhnya berdaulat? Apa status dan posisi Yunus, hingga dia merasa layak memarahi Tuhan?’. Yunus, ternyata seorang nabi yang tidak bisa mensyukuri anugerah dan kasih allah.
Mampu bersyukur, menolak bersungut-sungut
Tuhan memang penuh kasih setia dan anugerah. Inilah yang mau digambarkan dalam perumpamaan di dalam bacaan III. Perumpmaaan ini diambil dari kehidupan sehari-hari di Palestina ketika panen anggur. Di waktu panen, banyak sekali pekerjaan: mulai dari memotong tandan, mengangkut ke tempat pengirikan (atau semacam bak), hingga memeras buah. Dengan demikian, biasanya pemilik kebun akan mencari tenaga kerja untuk membantunya.
Pemilik kebun sudah keluar sejak pagi untuk mencari pekerja, ia sepakat dengan upah sedinar sehari. Begit banyaknya pekerjaan membuat pemilik kebun sampai 5x mencari tenaga tambahan, bahkan yang terakhir ia memperkerjakan orang mulai pukul 5 sore. Semua pekerjaan selesai pukul 6 petang. Mereka yang bekerja mulai pagi tentu sudah sangat lelah, sementara yang baru mulai pukul 5 masih segar, semua menghasilkan kerjasama yang indah sehingga pekerjaan bisa selesai kira-kira pukul enam.
Perumpamaan ini mengajarkan betapa besarnya kasih karunia serta kesempatan yang diberikan Allah kepada manusia, sehingga seolah-olah panggilan itu terus diberikan selama masih ada waktu. Pemilik kebun tentu bebas memilih siapa pun yang bekerja di ladangnya, begitu pula Allah punya kedaulatan penuh untuk menyelamatkan siapa pun yang dikehendakinya. Pemilik kebun langsung membayarkan upah para pekerja. Ternyata hal ini menimbulkan konflik. Beberapa pekerja merasa diperlakukan tidak adil, karena dibayar sama dengan mereka yang hanya bekerja sebentar. Pemilik kebun tidak dapat dipersalahkan karena ia sudah membayar sesuai kesepakatan dan standar yang berlaku. Pekerja yang protes itu tidak memiliki kasih maupun solidaritas terhadap mereka yang hanya bekerja satu jam, padahal mereka sama-sama punya tanggungjawab terhadap keluarganya. Hal ini kontras dengan pemilik kebun, yang rela memberikan jumlah yang sama. Jika kita perhatikan, akan ada perbedaan besar antara memohon belas-kasih dengan menuntut. Jika mereka memohon belas-kasihan agar upah mereka ditambah, masih rasional dan bukan memaksa. Kalau mereka menuntut, berarti menganggap pemilik kebun tidak adil dan melakukan pelanggaran. Yang terjadi bukanlah pengurangan atas upah mereka yang bekerja dari pagi, melainkan kemurahan hati (penambahan upah) kepada mereka yang bekerja hanya sebentar.
Bersungut-sungut, memang meniadakan syukur. Ketika mereka bersungut-sungut, sesuatu yang seharusnya disyukuri menjadi hilang. Padahal, jika tidak dipanggil pemilik kebun, mungkin sepanjang hari mereka tidak mendapat uang sepeser pun. Pemilik kebuh akhirnya bersikap tegas, dan menyatakan kedaulatannya, yaitu bahwa dia berhak atas miliknya. Dia bahkan mengkritik rasa iri pekerja yang protes.
Panggilan
Yunus dan Paulus adalah hamba-hamba Allah yang diberi tugas untuk memberitakan Injil. Namun sikap keduanya bertolak belakang. Dengan motivasi yang kuat dan rasa terbeban terhadap jemaat, Paulus melakukan tugas sebaik-baiknya. Bahkan sampai dipenjara pun Paulus tetap memikirkan mereka. Sementara itu, Yunus justru melarikan diri menjauhi tempat pelayanannya. Sampai setelah ditegur pun, dia hanay memberitakan ultimatum penghukuman Tuhan. Setelah itu ia pun segera pergi, seolah ingin segera menyaksikan penggenapan hukuman Tuhan. Berbeda dengan Paulus yang memiliki keterikatan batin dengan jemaat, Yunus justru menjauhi mereka.
Mengapa di dalam diri orang yang sama-sama dipanggil Tuhan untuk memberitakan keselamatan, bisa muncul sikap yang berbeda? Kuncinya adalah ’syukur dan komitmen’. Ketika orang mensyukuri segala sesuatu, akan menyadarkan dirinya bahwa tugas pelayanan atau komitmen pelayanan harus tetap dijalankan meskipun mengalami beragam kesulitan. Bagaimana dengan saudara? Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar