Bacaan
: Imamat 19:1-2,15-18; Mazmur 1; 1 Tesalonika 2:1-8; Matius 22:34-46
KJ
: 402 dan 401
Pengantar
Coba renungkan lagu KPK 165 yang berjudul ‘Jatining Katresnan’
Lamun kula anglampahi tindak luhur mulya
Nging yen tanpa tresna yekti muspra tanpa gina
Kula winulanga tansah lampah tresna
Lelabet sesami nulad tindaking Gusti
Kula winulanga tresna trusing ati nggih nuladha tindaking Gusti
Bagi kita kata ‘kasih’ merupakan hal yang biasa. Semua tahu apa itu kasih, bahkan sering mengucapkan dan mempraktekkan. Namun ingat, kasih sebenarnya bukan hanya sebatas ‘pengertian’, melainkan perbuatan. Apalah artinya memahami kasih dengan begitu baik, tanpa ada aksi nyata mengasihi. Ini dikarenakan pengajaran tentang kasih, tidak bisa dilepaskan dengan ajaran tentang kekudusan
Hidup dalam kekudusan
Hidup kudus memang harus diupayakan oleh setiap orang beriman. Bisa lewat ritual agama, ataupun melalui kehidupan bersama, yaitu ‘mengasihi sesama manusia’. Hal ini nampak sekali dalam Imamat 19. Dalam ayat 3, ditegaskan, “Setiap orang di antara kamu haruslah….”. Israel kudus bukan dari sejak dulu kudus, melainkan dikuduskan oleh Tuhan. Maka Israel harus tetap menjaga kekudusan, dengan cara:
1. Bersikap adil terhadap sesama manusia tanpa pandang muka (ayat 15). Keadilan tidak boleh berdasarkan simpati, sehingga menaruh iba terhadap rakyat kecil. Demikian juga keadilan tidak boleh ditentukan oleh sikap hormat terhadap penguasa. Keadilan tidak boleh dibeli dengan kekayaan, status sosial, dan kekuasaan. Israel harus bersikap adil kepada siapapun.
2. Berkata benar dan jangan mengancam (ayat 16). Perkataan yang keluar dari mulut kita mempunyai dampak menghancurkan atau membangun, mematikan atau menghidupkan. Maka berkatalah yang ‘benar’, atau sesuai kenyataan.
Jangan mengancam (ayat 16). Mengancam, memperlihatkan niat seseorang. Ancaman menyebabkan ketakutan dan tertekan, sehingga dapat berkata atau bertindak tidak seperti keinginan diri sendiri, melainkan seperti keinginan orang lain yang mengancamnya.
3. Jangan membenci tetapi tegorlah dengan benar (ayat 17). Sikap membenci akan membuat seseorang membiarkan orang lain tetap melakukan kesalahan dan dosa, sehingga sebagian dosanya kita tanggung. Namun menegor dengan benar menunjukkan sikap peduli dan mengasihi orang lain. Jika orang lain tidak peduli dengan tegoran kita, maka dosanya ditanggung sendiri.
4. Jangan membalas dendam (ayat 18). Pengadilan bukan tempat balas dendam, melainkan tempat menyatakan keadilan.
Kasihilah sesamamu (ayat 18). Merupakan inti dari kehendak Allah.
Intinya, Tuhan menghendaki agar hidup kita selalu diliputi dengan kekudusan dalam aksi dan iman. Hidup kudus yang total. Hal ini pun juga dianjurkan oleh Mazmur 1, agar kita memilih gaya hidup orang benar, yang menekankan pada Allah dan mengakibatkan hidup bahagia. Seseorang bisa “berbahagialah” jika:
1. “…..tidak berjalan menurut nasihat orang fasik…”. Orang fasik adalah seorang yang tidak peduli terhadap aturan Tuhan. Bisa juga dia percaya pada Tuhan, tetapi tidak melakukan perintahNya. “Orang fasik” (ayat 1) disejajarkan dengan kata “orang berdosa” dan “pencemooh”. Artinya, orang fasik adalah seorang yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan firman Allah.
2. “….yang tidak berdiri di jalan orang berdosa…”. Artinya, tidak mengikuti teladan hidup orang berdosa.
3. “….yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh,…” . Artinya, bersekutu dengan orang sombong yang meremehkan hukum Allah.
Orang yang disebut “berbahagia” dalam ayat 1-2 adalah seumpama “pohon yang ditanam di tepi aliran air…” Artinya, akan selalu hidup untuk memberi kehidupan (menghasilkan buah, tidak layu, ayat 3). Tetapi sebaliknya, orang fasik hanya akan mengalami kehampaan (…seperti sekam yang ditiup angin, ayat 4) dan kematian (…tidak tahan dalam penghakiman, ayat 5, atau menuju kebinasaan, ayat 6)
Menyukakan Allah
Pemazmur dengan tegas mengajak: jauhi gaya hidup orang fasik dan tolak gaya hidup mereka. Hal inipun juga ditegaskan kembali dalam 1 Tesalonika 2:1-8, yaitu tidak kompromi dan tidak menjadi penjilat, melainkan bersikap ramah. Memang 1 Tesalonika merupakan surat yang berisi pembelaan diri Paulus terhadap tuduhan para musuhnya, dan sekaligus mengingatkan bahwa ia tidak pernah mencari keuntungan sendiri.
Dalam ayat 3, rasul Paulus menegaskan bahwa nasihat dan pengajarannya “…tidak lahir dari kesesatan” atau “dari maksud yang tidak murni dan juga tidak disertai tipu daya.” Karena, ia sendiri mempunyai pengalaman yang luar biasa bersama Allah ketika berada di Filipi. Oleh karena itu, ia mempunyai keberanian untuk memberitakan Injil Allah (ayat 2). Bahkan dalam Pemberitaan Injil Allah. Paulus melaksanakan bukan “dari maksud yang tidak murni”. Atau, bukan “menyukakan manusia”, melainkan “menyukakan Allah” (ayat 4). Ia tidak menggunakan nama Tuhan untuk kepentingan sendiri atau ke-aku-annya. Ia tidak munafik dan tidak berpura-pura. Sebab itu, apa yang dilakukannya dengan pemberitaan Injil “tidak disertai tipu daya”, sebagaimana yang dilakukan oleh lawan-lawannya dalam rangka mencari dan mengejar hormat, pengaruh dan kekayaan (ayat 5-6)
Sikap “menyukakan manusia” hanya akan mendorong seseorang untuk menjadi pribadi yang kompromistis, sehingga tidak memiliki keberanian untuk menyatakan kebenaran dan nilai hidup yang seharusnya. Sikap “menyukakan manusia” mendorong seseorang menjadi penjilat. Seorang penjilat tidak akan segan menjual kebenaran, kesetiaan, dan kesucian hidup, untuk hal-hal yang duniawi. Sebaliknya, sikap “menyukakan Allah” akan mendorong seseorang memprioritaskan Allah. Allah dan firman-Nya akan senantiasa menjadi tolok ukur dalam hidupnya.
Panggilan
Kasih memang harus menjadi dasar utama dalam hidup kita. Hidup kudus di hadapan Allah tidak bisa dilepaskan dengan kasih kepada sesama. Dalam Matius 22, Tuhan Yesus memberikan hukum yang paling utama dan hukum yang sama dengan itu. Perkataan Yesus ini merupakan kutipan dari Ul. 6:5, yaitu “Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu”, sebagai hukum yang terutama, dan kutipan dari Im. 19:18b, yaitu “….melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri…” sebagai hukum yang kedua, hukum yang sama dengan hukum utama. Atau intinya, bahwa kasih kepada Allah dengan segenap hati dan akal budi itu sama sekali tidak boleh dipisahkan dengan kasih kepada sesama (bdk 1 Yoh 4:20-21). Untuk itu, jangan sekali-kali memisahkan antara kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama. Makna “mengasihi Tuhan” dan “mengasihi sesama” bukan terletak pada perasaan kasih, tetapi lebih pada aksi atau perbuatan. Semakin manusia mengasihi Allah, semakin manusia ingin memanusiakan sesamanya. Tidak melihat manusia sebagai obyek, melainkan sebagai subyek.
Pertanyaan
1. Mengapa kita sulit untuk mengasihi seseorang?
2. Bagaimana kita mengatasi rasa benci pada seseorang, dan mengubahnya menjadi rasa kasih sayang?
: Imamat 19:1-2,15-18; Mazmur 1; 1 Tesalonika 2:1-8; Matius 22:34-46
KJ
: 402 dan 401
Pengantar
Coba renungkan lagu KPK 165 yang berjudul ‘Jatining Katresnan’
Lamun kula anglampahi tindak luhur mulya
Nging yen tanpa tresna yekti muspra tanpa gina
Kula winulanga tansah lampah tresna
Lelabet sesami nulad tindaking Gusti
Kula winulanga tresna trusing ati nggih nuladha tindaking Gusti
Bagi kita kata ‘kasih’ merupakan hal yang biasa. Semua tahu apa itu kasih, bahkan sering mengucapkan dan mempraktekkan. Namun ingat, kasih sebenarnya bukan hanya sebatas ‘pengertian’, melainkan perbuatan. Apalah artinya memahami kasih dengan begitu baik, tanpa ada aksi nyata mengasihi. Ini dikarenakan pengajaran tentang kasih, tidak bisa dilepaskan dengan ajaran tentang kekudusan
Hidup dalam kekudusan
Hidup kudus memang harus diupayakan oleh setiap orang beriman. Bisa lewat ritual agama, ataupun melalui kehidupan bersama, yaitu ‘mengasihi sesama manusia’. Hal ini nampak sekali dalam Imamat 19. Dalam ayat 3, ditegaskan, “Setiap orang di antara kamu haruslah….”. Israel kudus bukan dari sejak dulu kudus, melainkan dikuduskan oleh Tuhan. Maka Israel harus tetap menjaga kekudusan, dengan cara:
1. Bersikap adil terhadap sesama manusia tanpa pandang muka (ayat 15). Keadilan tidak boleh berdasarkan simpati, sehingga menaruh iba terhadap rakyat kecil. Demikian juga keadilan tidak boleh ditentukan oleh sikap hormat terhadap penguasa. Keadilan tidak boleh dibeli dengan kekayaan, status sosial, dan kekuasaan. Israel harus bersikap adil kepada siapapun.
2. Berkata benar dan jangan mengancam (ayat 16). Perkataan yang keluar dari mulut kita mempunyai dampak menghancurkan atau membangun, mematikan atau menghidupkan. Maka berkatalah yang ‘benar’, atau sesuai kenyataan.
Jangan mengancam (ayat 16). Mengancam, memperlihatkan niat seseorang. Ancaman menyebabkan ketakutan dan tertekan, sehingga dapat berkata atau bertindak tidak seperti keinginan diri sendiri, melainkan seperti keinginan orang lain yang mengancamnya.
3. Jangan membenci tetapi tegorlah dengan benar (ayat 17). Sikap membenci akan membuat seseorang membiarkan orang lain tetap melakukan kesalahan dan dosa, sehingga sebagian dosanya kita tanggung. Namun menegor dengan benar menunjukkan sikap peduli dan mengasihi orang lain. Jika orang lain tidak peduli dengan tegoran kita, maka dosanya ditanggung sendiri.
4. Jangan membalas dendam (ayat 18). Pengadilan bukan tempat balas dendam, melainkan tempat menyatakan keadilan.
Kasihilah sesamamu (ayat 18). Merupakan inti dari kehendak Allah.
Intinya, Tuhan menghendaki agar hidup kita selalu diliputi dengan kekudusan dalam aksi dan iman. Hidup kudus yang total. Hal ini pun juga dianjurkan oleh Mazmur 1, agar kita memilih gaya hidup orang benar, yang menekankan pada Allah dan mengakibatkan hidup bahagia. Seseorang bisa “berbahagialah” jika:
1. “…..tidak berjalan menurut nasihat orang fasik…”. Orang fasik adalah seorang yang tidak peduli terhadap aturan Tuhan. Bisa juga dia percaya pada Tuhan, tetapi tidak melakukan perintahNya. “Orang fasik” (ayat 1) disejajarkan dengan kata “orang berdosa” dan “pencemooh”. Artinya, orang fasik adalah seorang yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan firman Allah.
2. “….yang tidak berdiri di jalan orang berdosa…”. Artinya, tidak mengikuti teladan hidup orang berdosa.
3. “….yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh,…” . Artinya, bersekutu dengan orang sombong yang meremehkan hukum Allah.
Orang yang disebut “berbahagia” dalam ayat 1-2 adalah seumpama “pohon yang ditanam di tepi aliran air…” Artinya, akan selalu hidup untuk memberi kehidupan (menghasilkan buah, tidak layu, ayat 3). Tetapi sebaliknya, orang fasik hanya akan mengalami kehampaan (…seperti sekam yang ditiup angin, ayat 4) dan kematian (…tidak tahan dalam penghakiman, ayat 5, atau menuju kebinasaan, ayat 6)
Menyukakan Allah
Pemazmur dengan tegas mengajak: jauhi gaya hidup orang fasik dan tolak gaya hidup mereka. Hal inipun juga ditegaskan kembali dalam 1 Tesalonika 2:1-8, yaitu tidak kompromi dan tidak menjadi penjilat, melainkan bersikap ramah. Memang 1 Tesalonika merupakan surat yang berisi pembelaan diri Paulus terhadap tuduhan para musuhnya, dan sekaligus mengingatkan bahwa ia tidak pernah mencari keuntungan sendiri.
Dalam ayat 3, rasul Paulus menegaskan bahwa nasihat dan pengajarannya “…tidak lahir dari kesesatan” atau “dari maksud yang tidak murni dan juga tidak disertai tipu daya.” Karena, ia sendiri mempunyai pengalaman yang luar biasa bersama Allah ketika berada di Filipi. Oleh karena itu, ia mempunyai keberanian untuk memberitakan Injil Allah (ayat 2). Bahkan dalam Pemberitaan Injil Allah. Paulus melaksanakan bukan “dari maksud yang tidak murni”. Atau, bukan “menyukakan manusia”, melainkan “menyukakan Allah” (ayat 4). Ia tidak menggunakan nama Tuhan untuk kepentingan sendiri atau ke-aku-annya. Ia tidak munafik dan tidak berpura-pura. Sebab itu, apa yang dilakukannya dengan pemberitaan Injil “tidak disertai tipu daya”, sebagaimana yang dilakukan oleh lawan-lawannya dalam rangka mencari dan mengejar hormat, pengaruh dan kekayaan (ayat 5-6)
Sikap “menyukakan manusia” hanya akan mendorong seseorang untuk menjadi pribadi yang kompromistis, sehingga tidak memiliki keberanian untuk menyatakan kebenaran dan nilai hidup yang seharusnya. Sikap “menyukakan manusia” mendorong seseorang menjadi penjilat. Seorang penjilat tidak akan segan menjual kebenaran, kesetiaan, dan kesucian hidup, untuk hal-hal yang duniawi. Sebaliknya, sikap “menyukakan Allah” akan mendorong seseorang memprioritaskan Allah. Allah dan firman-Nya akan senantiasa menjadi tolok ukur dalam hidupnya.
Panggilan
Kasih memang harus menjadi dasar utama dalam hidup kita. Hidup kudus di hadapan Allah tidak bisa dilepaskan dengan kasih kepada sesama. Dalam Matius 22, Tuhan Yesus memberikan hukum yang paling utama dan hukum yang sama dengan itu. Perkataan Yesus ini merupakan kutipan dari Ul. 6:5, yaitu “Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu”, sebagai hukum yang terutama, dan kutipan dari Im. 19:18b, yaitu “….melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri…” sebagai hukum yang kedua, hukum yang sama dengan hukum utama. Atau intinya, bahwa kasih kepada Allah dengan segenap hati dan akal budi itu sama sekali tidak boleh dipisahkan dengan kasih kepada sesama (bdk 1 Yoh 4:20-21). Untuk itu, jangan sekali-kali memisahkan antara kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama. Makna “mengasihi Tuhan” dan “mengasihi sesama” bukan terletak pada perasaan kasih, tetapi lebih pada aksi atau perbuatan. Semakin manusia mengasihi Allah, semakin manusia ingin memanusiakan sesamanya. Tidak melihat manusia sebagai obyek, melainkan sebagai subyek.
Pertanyaan
1. Mengapa kita sulit untuk mengasihi seseorang?
2. Bagaimana kita mengatasi rasa benci pada seseorang, dan mengubahnya menjadi rasa kasih sayang?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar