Amos 5:18-24; Mazmur 70; 1 Tesalonika 4:13-18; Matius 25:1-13
Pengantar
Masih ingat DORAEMON? Doraemon adalah si kucing ajaib yang memiliki kantong ajaib yang dapat memberikan kepadanya alat apa saja yang dibutuhkan. Suatu saat Nobita, sahabatnya merengek agar Doraemon mengeluarkan mesin waktu, karena ia sangat ingin tahu keadaan di masa depan. Sebagaimana biasanya, Doraemon tidak kuasa menolak permintaan Nobita. Akhirnya, perjalanan melalui mesin waktu membawa mereka mengetahui kehidupan di masa depan. Nobita yang malas, sering menunda pekerjaan dan ceroboh, terkejut saat melihat ternyata buah semua sifat buruk dalam hidupnya adalah masa depan yang penuh penderitaan. Bisa ditebak, saat ia kembali dalam kehidupan di masa kini, dengan segera ia mengubah kebiasaan buruknya, dan tentunya membuat orang-orang di sekitarnya bingung, tetapi sekaligus senang. Pertanyaannya, apa jadinya jika kita juga dapat mengetahui masa depan kita?
Tentu, cerita di atas hanya fiktif. Dalam kehidupan sebenarnya kita tidak punya mesin waktu yang dapat menolong kita mengintip masa depan. Tetapi Alkitab dipenuhi kebijaksanaan mengenal bagaimana sesungguhnya sikap yang tepat dalam mempersiapkan hari esok. Hal ini penting sebab saat kita kita telah memasuki ‘hari Tuhan’ atau hari dimana kita menantikan kedatangan Tuhan. Apa yang kita lakukan saat ini menentukan sekali ‘bisa tidaknya kita tetap bersama-sama dengan Tuhan’ di akhir jaman. Lantas bagaimana sikap kita seharusnya dalam menantikan Tuhan, dan dalam mempersiapkan hari esok?
Kelompok 1,2,3 dan 4
Kelompok pertama diwakili oleh bangsa Israel pada jaman Amos, yang berpikir bahwa ibadah dan ritual yang mereka telah lakukan menjadi jaminan bahwa Tuhan akan berpihak kepada mereka pada saatnya nanti. Hari Tuhan akan menjadi saat kelepasan bagi mereka. Hal inilah yang dikritik oleh nabi-nabi Perjanjian Lama, termasuk Amos. Kesalehan pribadi seharusnya membawa dampak pada kesalehan sosial. Artinya, semakin kita beribadah seharusnya karya kita bagi sesama semakin nyata. Jadi, ibadah bukanlah soal personal saja, tetapi juga membawa dampak sosial atau komunal. Tanpa pertobatan dan kesalehan pribadi dan sosial, maka hari Tuhan akan berarti penghukuman bagi siapa pun. Hal ini nampak dari ayat 18a, “Celakalah mereka yang menginginkan hari TUHAN” (Amos 5:18a). Mengapa demikian? Karena menurut Amos, “hari itu kegelapan, bukan terang” (ayat 18b). Tidak seorang pun dapat meluputkan diri dari hari itu. Orang yang mencoba meluputkan diri, keadaannya sama seperti seorang yang mencoba menghindari seekor singa, tetapi ia malah bertemu dengan seekor beruang. Dan, jikalau ia berhasil meluputkan diri dari beruang dan mencapai rumahnya yang ia anggap aman, malah seekor ular berbisa yang tidak dilihatnya memagut dia. Tidaklah heran, jika kesimpulannya kemudian masih tetap sama, “bukankah hari TUHAN itu kegelapan dan bukan terang, kelam kabut dan tidak bercahaya?” (ayat 20).
Tindakan Amos yang mengkritisi segala bentuk ibadah dan perayaan Israel tentu saja menimbulkan reaksi kemarahan Amazia, imam pada masa itu (bdk. 7:10-17). Apalagi, Amos hanyalah seorang peternak domba dari Tekoa, desa terpencil di Israel. Namun Amos tidak gentar. Di tengah keramaian pesta di Bethel itu, Amos menyerukan bahwa Allah tidak mau berurusan dengan segala upacara keagamaan Israel. Di dalam ayat 21 hingga 23 dari Amos 5, kita menjumpai ungkapan yang menunjukkan kemuakan TUHAN kepada segala bentuk ibadah dan perayaan keagamaan Israel lewat 7 istilah: “membenci, menghina (atau menolak), tidak senang kepada, tidak suka, tidak mau pandang, jauhkanlah, tidak mau dengar.” Saat mengatakan: “korban-korbanmu, nyanyian-nyanyianmu, perayaan-perayaanmu”, Amos seolah-olah hendak menegaskan “urusanmu, kehendak dan kemauanmu bukan urusan TUHAN, apalagi kehendak dan kemauan-Nya”. Dalam ibadah Kanaan yang tumbuh subur di sekitar Israel pada masa itu memang biasa dilakukan upacara yang ramai, dengan tujuan untuk menarik perhatian dan menyenangkan hati dewa-dewa, sehingga mereka dapat memperoleh berkat. Dengan demikian, tujuan ibadat menjadi sangat egoistis.
Lantas, apa yang TUHAN kehendaki? Di dalam ayat 24 disebutkan, “biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir.” Bagian ini dapat dimengerti sebagai ungkapan kekuatan keadilan dan kebenaran yang tidak akan terkalahkan, bagai air dan sungai yang selalu mengalir. Di sinilah, TUHAN menghendaki adanya keadilan dan kebenaran, lebih daripada sekedar perayaan keagamaan apalagi yang bersifat manipulatif. Sebab ibadah itu menyangkut kesalehan personal, sekaligus komunal. Jika tidak demikian, maka sia-sialah segala kesalehan yang selama ini kita miliki.
Kelompok kedua, nampak dari jemaat Tesalonika yang memandang dan menantikan hari Tuhan dengan sikap yang berlebihan. Mereka sangat menantikan hari itu, yang dipahami sebagai hari kedatangan Yesus kedua kalinya, akibatnya mereka tidak fokus dalam kehidupan masa kini. Karena luapan emosi kegembiraan dalam menantikan Tuhan, jemaat Tesalonika mengabaikan kehidupan nyata kini dan di sini. Mereka berhenti bekerja, itulah sebabnya rasul Paulus menyuruh mereka untuk tenang dan melanjutkan pekerjaan (1 Tes 4:11). Di sisi lain, jemaat Tesalonika juga menguatirkan ‘apakah orang-orang percaya yang sudah meninggal dapat ikut mengalami hari kedatangan itu?’ Paulus menjawab bahwa baik yang sudah meninggal, maupun yang masih sama-sama hidup akan mengalami kemuliaan. Paulus menasehati mereka agar jangan meratap seperti orang-orang yang tidak berpengharapan.
Memang dunia non-Kristen pada masa itu memandang kematian secara berbeda. Mereka menganggap kematian sebagai pengunduran diri yang menyeramkan, dan ketiadaan pengharapan. Hal ini tampak melalui kata-kata yang terukir pada batu nisan, “Saya sudah tidak ada lagi; Saya sudah berubah; saya tidak ada lagi; saya tidak peduli lagi”. Kepada jemaat di Tesalonika, Paulus meletakkan dasar yang penting, bahwa ‘orang yang hidup dan mati di dalam Kristus, tetap berada di dalam Kristus’. Sekalipun telah mati, ia akan bangkit di dalam Kristus. Jika Kristus telah mati dan bangkit kembali, maka orang yang bersama dengan Kristus akan bangkit pula. Dengan ungkapan puitis, rasul Paulus menjelaskan kronologi kedatangan Kristus. Pada kedatangan-Nya yang kedua, Kristus akan turun dari sorga ke bumi. Ia akan mengucapkan sebuah perintah. Saat itu suara malaikat dan sangkakala Allah akan membangunkan orang-orang yang telah mati. Selanjutnya, orang yang mati dan yang hidup bersama-sama akan diangkat masuk ke dalam awan untuk bertemu dengan Kristus, agar mereka dapat tinggal bersama Tuhan untuk selamanya.
Kelompok ketiga, adalah kelompok yang tidak serius dalam mempersiapkan diri menyambut hari Tuhan. Kelompok ini digambarkan melalui 5 gadis bodoh, yang tidak mempersiapkan minyak bagi pelitanya, saat menantikan kedatangan mempelai. Pernikahan Yahudi memiliki 2 tahap. Pada tahan pertama, mempelai laki-laki akan berangkat ke rumah mempelai perempuan dan membawanya untuk melaksanakan berbagai upacara keagamaan. Kemudian, mempelai laki-laki akan membawa mempelai perempuan ke rumahnya untuk melanjutkan perayaan. Inilah saat yang dinantikan oleh para pengiring mempelai. Pada saat itu, gadis pengiring mempelai perempuan membawa pelita saat menantikan kedatangan mempelai. Pelita adalah sejenis lampu sederhana yang berbentuk mirip mangkok dan diisi dengan minyak zaitun dengan sumbu pada salah satu ujungnya. Pelita menyala sekitar 15 menit saja, lalu harus diisi kembali dengan minyak. Karena itu, persediaan minyak bagi mereka amat penting. Pendengar Yahudi pasti mengerti mengapa Yesus mengatakan bahwa gadis-gadis yang tidak membawa persediaan minyak sebagai gadis yang bodoh, sebab waktu kedatangan mempelai laki-laki memang tidak bisa ditebak. Intinya, para gadis bodoh ini hanya ‘ingin hal yang ringan, tidak peduli terhadap situasi dan antisipasi, dan mereka hidup dalam egoisme’.
Kelompok keempat, diwakili oleh 5 gadis bijaksana yang mempersiapkan segala sesuatu dengan teliti, serta berjaga-jaga dalam keadaan apapun. Jikalau 5 gadis bijaksana tidak bersedia memberikan persediaan minyaknya kepada 5 gadis yang lain, tidak dapat ditafsirkan bahwa mereka egois. Sebab suatu kewajiban bahwa setiap orang untuk membawa persediaan minyaknya sendiri. Bagaimanapun minyak itu memang tidak dapat dibagikan. Adalah benar jika gadis-gadis bijaksana mengatakan, “…nanti tidak cukup untuk kami dan untuk kamu” (Mat. 25:9). Menurut Yesus, dalam menunggu kedatangan Anak Manusia memang tidak dapat diduga. Kewajiban setiap orang adalah berjaga-jaga, sembari mempersiapkan diri masing-masing, tanpa bergantung pada orang lain. Ada saatnya apa yang dipersiapkan tidak dapat dibagikan kepada orang lain, atau sebaliknya. Persiapan dan sikap berjaga-jaga sangat personal. Ia tidak dapat diwakilkan, sama halnya dengan iman dan pengharapan yang menyebabkan seseorang tetap setia dalam penantian, tidak dapat ditukarkan kepada orang lain. Itulah sebabnya, setiap orang pada saat ini dituntut ‘secara mandiri berjaga-jaga dan menata dirinya sendiri’.
Panggilan
Akhir jaman atau ‘hari TUHAN’ memang hari kelepasan, namun sekaligus sebagai hari penghukuman bagi mereka yang tidak taat kepada TUHAN. Itulah sebabnya, pemazmur 70 mengajak kita agar mau bersandar kepada Allah sebagai Sumber Pertolongan. Mazmur ini menggunakan kata-kata yang amat personal, mengandaikan permohonan seorang anak kepada ayah yang ia percayai. Si anak mengadukan perlakuan buruk yang ia terima, dan mengharapkan keadilan, “Biarlah mendapat malu dan tersipu mereka yang ingin mencabut nyawaku; biarlah mundur dan kena noda mereka yang mengingini kecelakaanku; biarlah berbalik karena malu mereka yang mengatakan: "Syukur, syukur!" (ayat 3 dan 4).
Bahkan pada ayat 5, ungkapan personal berubah menjadi ungkapan penghiburan dan pengharapan bagi semua orang yang menaruh pengharapan kepada Allah, “Biarlah bergirang dan bersukacita karena Engkau semua orang yang mencari Engkau; biarlah mereka yang mencintai keselamatan dari pada-Mu selalu berkata: "Allah itu besar!"
Di sinilah, dalam memasuki ‘hari Tuhan’ ini, tentu kita diharapkan: tetap berserah kepada Tuhan, bijaksana dalam bersikap, tetap tekun dalam iman, berpikir jernih dan tidak panik, serta terus menerus ‘berjaga-jaga dan bertobat’. Ingatlah, waktu kedatangan Tuhan segera datang. Maka kata-kata, “segeralah” dan “jangan lambat” (Mzm 70:6) sangat berguna pada saat ini. Ingatlah, menantikan akan hari Tuhan atau kedatangan Kristus kedua kalinya tidak berarti mengabaikan tanggungjawab atas hidup di sini dan saat ini. Justru, penantian itu harus membuat hidup kita lebih berkualitas dan bersiaga. Artinya, kita lebih siap untuk dimintai pertanggungjawaban, kapan pun dan oleh siapa pun. Amin
Pengantar
Masih ingat DORAEMON? Doraemon adalah si kucing ajaib yang memiliki kantong ajaib yang dapat memberikan kepadanya alat apa saja yang dibutuhkan. Suatu saat Nobita, sahabatnya merengek agar Doraemon mengeluarkan mesin waktu, karena ia sangat ingin tahu keadaan di masa depan. Sebagaimana biasanya, Doraemon tidak kuasa menolak permintaan Nobita. Akhirnya, perjalanan melalui mesin waktu membawa mereka mengetahui kehidupan di masa depan. Nobita yang malas, sering menunda pekerjaan dan ceroboh, terkejut saat melihat ternyata buah semua sifat buruk dalam hidupnya adalah masa depan yang penuh penderitaan. Bisa ditebak, saat ia kembali dalam kehidupan di masa kini, dengan segera ia mengubah kebiasaan buruknya, dan tentunya membuat orang-orang di sekitarnya bingung, tetapi sekaligus senang. Pertanyaannya, apa jadinya jika kita juga dapat mengetahui masa depan kita?
Tentu, cerita di atas hanya fiktif. Dalam kehidupan sebenarnya kita tidak punya mesin waktu yang dapat menolong kita mengintip masa depan. Tetapi Alkitab dipenuhi kebijaksanaan mengenal bagaimana sesungguhnya sikap yang tepat dalam mempersiapkan hari esok. Hal ini penting sebab saat kita kita telah memasuki ‘hari Tuhan’ atau hari dimana kita menantikan kedatangan Tuhan. Apa yang kita lakukan saat ini menentukan sekali ‘bisa tidaknya kita tetap bersama-sama dengan Tuhan’ di akhir jaman. Lantas bagaimana sikap kita seharusnya dalam menantikan Tuhan, dan dalam mempersiapkan hari esok?
Kelompok 1,2,3 dan 4
Kelompok pertama diwakili oleh bangsa Israel pada jaman Amos, yang berpikir bahwa ibadah dan ritual yang mereka telah lakukan menjadi jaminan bahwa Tuhan akan berpihak kepada mereka pada saatnya nanti. Hari Tuhan akan menjadi saat kelepasan bagi mereka. Hal inilah yang dikritik oleh nabi-nabi Perjanjian Lama, termasuk Amos. Kesalehan pribadi seharusnya membawa dampak pada kesalehan sosial. Artinya, semakin kita beribadah seharusnya karya kita bagi sesama semakin nyata. Jadi, ibadah bukanlah soal personal saja, tetapi juga membawa dampak sosial atau komunal. Tanpa pertobatan dan kesalehan pribadi dan sosial, maka hari Tuhan akan berarti penghukuman bagi siapa pun. Hal ini nampak dari ayat 18a, “Celakalah mereka yang menginginkan hari TUHAN” (Amos 5:18a). Mengapa demikian? Karena menurut Amos, “hari itu kegelapan, bukan terang” (ayat 18b). Tidak seorang pun dapat meluputkan diri dari hari itu. Orang yang mencoba meluputkan diri, keadaannya sama seperti seorang yang mencoba menghindari seekor singa, tetapi ia malah bertemu dengan seekor beruang. Dan, jikalau ia berhasil meluputkan diri dari beruang dan mencapai rumahnya yang ia anggap aman, malah seekor ular berbisa yang tidak dilihatnya memagut dia. Tidaklah heran, jika kesimpulannya kemudian masih tetap sama, “bukankah hari TUHAN itu kegelapan dan bukan terang, kelam kabut dan tidak bercahaya?” (ayat 20).
Tindakan Amos yang mengkritisi segala bentuk ibadah dan perayaan Israel tentu saja menimbulkan reaksi kemarahan Amazia, imam pada masa itu (bdk. 7:10-17). Apalagi, Amos hanyalah seorang peternak domba dari Tekoa, desa terpencil di Israel. Namun Amos tidak gentar. Di tengah keramaian pesta di Bethel itu, Amos menyerukan bahwa Allah tidak mau berurusan dengan segala upacara keagamaan Israel. Di dalam ayat 21 hingga 23 dari Amos 5, kita menjumpai ungkapan yang menunjukkan kemuakan TUHAN kepada segala bentuk ibadah dan perayaan keagamaan Israel lewat 7 istilah: “membenci, menghina (atau menolak), tidak senang kepada, tidak suka, tidak mau pandang, jauhkanlah, tidak mau dengar.” Saat mengatakan: “korban-korbanmu, nyanyian-nyanyianmu, perayaan-perayaanmu”, Amos seolah-olah hendak menegaskan “urusanmu, kehendak dan kemauanmu bukan urusan TUHAN, apalagi kehendak dan kemauan-Nya”. Dalam ibadah Kanaan yang tumbuh subur di sekitar Israel pada masa itu memang biasa dilakukan upacara yang ramai, dengan tujuan untuk menarik perhatian dan menyenangkan hati dewa-dewa, sehingga mereka dapat memperoleh berkat. Dengan demikian, tujuan ibadat menjadi sangat egoistis.
Lantas, apa yang TUHAN kehendaki? Di dalam ayat 24 disebutkan, “biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir.” Bagian ini dapat dimengerti sebagai ungkapan kekuatan keadilan dan kebenaran yang tidak akan terkalahkan, bagai air dan sungai yang selalu mengalir. Di sinilah, TUHAN menghendaki adanya keadilan dan kebenaran, lebih daripada sekedar perayaan keagamaan apalagi yang bersifat manipulatif. Sebab ibadah itu menyangkut kesalehan personal, sekaligus komunal. Jika tidak demikian, maka sia-sialah segala kesalehan yang selama ini kita miliki.
Kelompok kedua, nampak dari jemaat Tesalonika yang memandang dan menantikan hari Tuhan dengan sikap yang berlebihan. Mereka sangat menantikan hari itu, yang dipahami sebagai hari kedatangan Yesus kedua kalinya, akibatnya mereka tidak fokus dalam kehidupan masa kini. Karena luapan emosi kegembiraan dalam menantikan Tuhan, jemaat Tesalonika mengabaikan kehidupan nyata kini dan di sini. Mereka berhenti bekerja, itulah sebabnya rasul Paulus menyuruh mereka untuk tenang dan melanjutkan pekerjaan (1 Tes 4:11). Di sisi lain, jemaat Tesalonika juga menguatirkan ‘apakah orang-orang percaya yang sudah meninggal dapat ikut mengalami hari kedatangan itu?’ Paulus menjawab bahwa baik yang sudah meninggal, maupun yang masih sama-sama hidup akan mengalami kemuliaan. Paulus menasehati mereka agar jangan meratap seperti orang-orang yang tidak berpengharapan.
Memang dunia non-Kristen pada masa itu memandang kematian secara berbeda. Mereka menganggap kematian sebagai pengunduran diri yang menyeramkan, dan ketiadaan pengharapan. Hal ini tampak melalui kata-kata yang terukir pada batu nisan, “Saya sudah tidak ada lagi; Saya sudah berubah; saya tidak ada lagi; saya tidak peduli lagi”. Kepada jemaat di Tesalonika, Paulus meletakkan dasar yang penting, bahwa ‘orang yang hidup dan mati di dalam Kristus, tetap berada di dalam Kristus’. Sekalipun telah mati, ia akan bangkit di dalam Kristus. Jika Kristus telah mati dan bangkit kembali, maka orang yang bersama dengan Kristus akan bangkit pula. Dengan ungkapan puitis, rasul Paulus menjelaskan kronologi kedatangan Kristus. Pada kedatangan-Nya yang kedua, Kristus akan turun dari sorga ke bumi. Ia akan mengucapkan sebuah perintah. Saat itu suara malaikat dan sangkakala Allah akan membangunkan orang-orang yang telah mati. Selanjutnya, orang yang mati dan yang hidup bersama-sama akan diangkat masuk ke dalam awan untuk bertemu dengan Kristus, agar mereka dapat tinggal bersama Tuhan untuk selamanya.
Kelompok ketiga, adalah kelompok yang tidak serius dalam mempersiapkan diri menyambut hari Tuhan. Kelompok ini digambarkan melalui 5 gadis bodoh, yang tidak mempersiapkan minyak bagi pelitanya, saat menantikan kedatangan mempelai. Pernikahan Yahudi memiliki 2 tahap. Pada tahan pertama, mempelai laki-laki akan berangkat ke rumah mempelai perempuan dan membawanya untuk melaksanakan berbagai upacara keagamaan. Kemudian, mempelai laki-laki akan membawa mempelai perempuan ke rumahnya untuk melanjutkan perayaan. Inilah saat yang dinantikan oleh para pengiring mempelai. Pada saat itu, gadis pengiring mempelai perempuan membawa pelita saat menantikan kedatangan mempelai. Pelita adalah sejenis lampu sederhana yang berbentuk mirip mangkok dan diisi dengan minyak zaitun dengan sumbu pada salah satu ujungnya. Pelita menyala sekitar 15 menit saja, lalu harus diisi kembali dengan minyak. Karena itu, persediaan minyak bagi mereka amat penting. Pendengar Yahudi pasti mengerti mengapa Yesus mengatakan bahwa gadis-gadis yang tidak membawa persediaan minyak sebagai gadis yang bodoh, sebab waktu kedatangan mempelai laki-laki memang tidak bisa ditebak. Intinya, para gadis bodoh ini hanya ‘ingin hal yang ringan, tidak peduli terhadap situasi dan antisipasi, dan mereka hidup dalam egoisme’.
Kelompok keempat, diwakili oleh 5 gadis bijaksana yang mempersiapkan segala sesuatu dengan teliti, serta berjaga-jaga dalam keadaan apapun. Jikalau 5 gadis bijaksana tidak bersedia memberikan persediaan minyaknya kepada 5 gadis yang lain, tidak dapat ditafsirkan bahwa mereka egois. Sebab suatu kewajiban bahwa setiap orang untuk membawa persediaan minyaknya sendiri. Bagaimanapun minyak itu memang tidak dapat dibagikan. Adalah benar jika gadis-gadis bijaksana mengatakan, “…nanti tidak cukup untuk kami dan untuk kamu” (Mat. 25:9). Menurut Yesus, dalam menunggu kedatangan Anak Manusia memang tidak dapat diduga. Kewajiban setiap orang adalah berjaga-jaga, sembari mempersiapkan diri masing-masing, tanpa bergantung pada orang lain. Ada saatnya apa yang dipersiapkan tidak dapat dibagikan kepada orang lain, atau sebaliknya. Persiapan dan sikap berjaga-jaga sangat personal. Ia tidak dapat diwakilkan, sama halnya dengan iman dan pengharapan yang menyebabkan seseorang tetap setia dalam penantian, tidak dapat ditukarkan kepada orang lain. Itulah sebabnya, setiap orang pada saat ini dituntut ‘secara mandiri berjaga-jaga dan menata dirinya sendiri’.
Panggilan
Akhir jaman atau ‘hari TUHAN’ memang hari kelepasan, namun sekaligus sebagai hari penghukuman bagi mereka yang tidak taat kepada TUHAN. Itulah sebabnya, pemazmur 70 mengajak kita agar mau bersandar kepada Allah sebagai Sumber Pertolongan. Mazmur ini menggunakan kata-kata yang amat personal, mengandaikan permohonan seorang anak kepada ayah yang ia percayai. Si anak mengadukan perlakuan buruk yang ia terima, dan mengharapkan keadilan, “Biarlah mendapat malu dan tersipu mereka yang ingin mencabut nyawaku; biarlah mundur dan kena noda mereka yang mengingini kecelakaanku; biarlah berbalik karena malu mereka yang mengatakan: "Syukur, syukur!" (ayat 3 dan 4).
Bahkan pada ayat 5, ungkapan personal berubah menjadi ungkapan penghiburan dan pengharapan bagi semua orang yang menaruh pengharapan kepada Allah, “Biarlah bergirang dan bersukacita karena Engkau semua orang yang mencari Engkau; biarlah mereka yang mencintai keselamatan dari pada-Mu selalu berkata: "Allah itu besar!"
Di sinilah, dalam memasuki ‘hari Tuhan’ ini, tentu kita diharapkan: tetap berserah kepada Tuhan, bijaksana dalam bersikap, tetap tekun dalam iman, berpikir jernih dan tidak panik, serta terus menerus ‘berjaga-jaga dan bertobat’. Ingatlah, waktu kedatangan Tuhan segera datang. Maka kata-kata, “segeralah” dan “jangan lambat” (Mzm 70:6) sangat berguna pada saat ini. Ingatlah, menantikan akan hari Tuhan atau kedatangan Kristus kedua kalinya tidak berarti mengabaikan tanggungjawab atas hidup di sini dan saat ini. Justru, penantian itu harus membuat hidup kita lebih berkualitas dan bersiaga. Artinya, kita lebih siap untuk dimintai pertanggungjawaban, kapan pun dan oleh siapa pun. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar