1 Samuel 3:1-10, (11-20), Mazmur 139:1-6, 13-18; 1 Korintus 6:12-20; Yohanes 1:43-51
Pengantar
Apa yang saudara bayangkan ketika mendengar kata ‘panggilan Allah?’. Atau dengan kalimat yang lengkap, ‘kita dipanggil oleh Allah untuk melayani!’. Ya, kata ‘panggilan’ bisa dimaknai: Allah sengaja melibatkan kita dalam karya-Nya, atau kita mengakui semua yang kita lakukan hanya sekedar menjawab ‘panggilan-Nya’. Sehingga motivasi dan tujuan dari setiap pelayanan tertuju kepada Tuhan.
Ketika Tuhan memanggil kita, janganlah hanya diartikan agar kita pindah ‘dari pekerjaan sekuler atau non-agama’ lalu menjadi seorang ‘penginjil, pendeta, rohaniawan’. Ini dikarenakan dalam pekerjaan apapun Tuhan memanggil kita dan memakai kita dalam bidang apapun. Panggilan Tuhan ini terkait erat tugas kita sebagai seorang nabi, yang menerima firman dan harus menyampaikan kepada siapapun. Dengan panggilan ini, Tuhan akan melibatkan manusia dalam karya-Nya.
Allah memanggil kita
Panggilan Tuhan merupakan kesempatan yang ditawarkan Tuhan dengan penuh keterbukaan kepada manusia untuk menjadi murid-Nya. Hal ini nampak dalam Yohanes 1:43-51. Dalam bacaan ini nampak sekali Tuhan berinisiatif melibatkan manusia dalam karya-Nya. Di sinilah murid dipandang sebagai partner, dan bukan bawahan. Dengan demikian derajat mereka terangkat. Menjadi murid berarti sedang dipersiapkan atau dibentuk. Akan tiba waktunya, para murid melanjutkan karya Yesus di dunia, yaitu pada saat mereka dipandang siap oleh Yesus.
Itulah sebabnya bacaan Injil saat ini menceritakan Yohanes mengikut Yesus. Yohanes penulis Injil memang telah menjadi murid Yohanes Pembaptis. Ia segera menjadi murid Yesus setelah kepadanya diberitahu bahwa Yesus adalah Anak Domba Allah. Lantas, ia kemudian menceritakan kepada Andreas, bahwa ia telah menemukan Mesias atau Kristus. Akhirnya, ia dan Andreas menjadi murid Yesus.
Berbeda dengan proses yang dialami oleh Yohanes dan Andreas, keikutsertaan Filipus didasari oleh ajakan Yesus sendiri, “Ikutlah Aku!”. Ungkapan ini sekali lagi menegaskan bahwa inisiatif pemuridan berasal dari Yesus sendiri. Kata-kata yang penuh wibawa dan kuasa tersebut disambut Filipus dengan sukacita, dan ia pun mengabarkan kepada orang lain. ini dikarenakan Filipus telah menemukan Mesias dalam diri Yesus. Ketika ia bertemu dengan Nathanael dari kota yang sama, ia pun menyampaikan kabar sukacita dengan berkata, “Kami telah menemukan Dia, yang disebut oleh Musa dalam kitab Taurat dan oleh para nabi, yaitu Yesus, anak Yusuf dari Nazareth”. Dari sinilah kita melihat bahwa inisiatif panggilan berasal dari Allah, dan umat pun meneruskan panggilan tersebut kepada sesamanya. Memang haruslah demikian seterusnya.
Natanael, yang sebelumnya sudah tahu mengenai kota Nazareth dengan nada pesimis berkata, “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazareth?”. Pada masa itu, Nazareth terkenal dengan perilaku penduduknya yang tidak baik. Di sinilah, Natanael merupakan wujud manusia dari masa ke masa yang selalu melihat ‘jika ada keluarga/kota yang jahat, maka semuanya dianggap jahat, dan dari kawasan yang jahat tidak mungkin muncul kebaikan’. Benarkah demikian?
Filipus tidak mau masuk ke dalam perdebatan. Adakalanya kita memang harus demikian ketika sedang melaksanakan pelayanan. Dalam pengalaman sehari-hari perdebatan lebih sering memunculkan emosi dan panas hati. Masalah tidak terselesaikan, tetapi malah muncul masalah baru. Langkah positif yang dilakukan oleh Filipus adalah segera menyakinkan Natanael untuk menemui Yesus, sehingga mengalami perjumpaan pribadi, dan mengenal secara pribadi dengan Yesus. ini jelas lebih baik daripada perdebatan. Ia berkata, “Mari dan lihatlah!”
Melalui kehadiran dan pernyataan Yesus kita dapat menemukan dua berita penting, yaitu:
Peka terhadap panggilan Tuhan
Namun tidak mudah memang ‘peka’ terhadap panggilan Tuhan. Hal ini dinampakkan dalam kisah pemanggilan samuel. Panggilan itu diawali dengan sapaan yang Tuhan sampaikan kepada Samuel di suatu malam. Sapaan penuh wibawa yang dinyatakan dengan menyebut nama samuel. Sebanyak 3 kali Tuhan menyapa Samuel (1 Sam 3:4,6,8), tetapi ia justru lari kepada imam Eli, karena mengira Eli-lah yang memanggilnya. Sedikit ironis memang, walaupun Samuel telah cukup waktu berada di Bait Suci, tetapi ia belum juga mengenal-Nya. Hal ini mau membuktikan bahwa banyaknya aktifitas di Bait Allah tidak bisa menjadi indikator kedekatan seseorang dengan Tuhan.
Demikian juga, ketidakpekaan Samuel ini bisa dikarenakan ‘minimnya pihak-pihak dan upaya mereka memberikan pemahaman mengenai Tuhan kepada umat-Nya’. Akibatnya berdampak pada masalah komunikasi. Akrena tidak tahu siapa yang mengajaknya berkomunikasi, manusia enggan memberikan respon, apalagi merespon dengan baik. Barulah pada sapaan yang keempat (ayat 10), ayitu setelah iman Eli menjelaskan dari siapa sapaan itu, Samuel menjawab sapaan Allah dengan berkata, “Berbicaralah sebab hamba-Mu ini mendengar”. Ketika Samuel sudah cukup mengerti dengan siapa ia berhadapan, selanjutnya Allah menyampaikan firman-Nya kepada Samuel (ayat 11-14).
Memang tidak mudah memahami panggilan Tuhan, dibutuhkan ‘kepekaan dan juga pengetahuan tentang memahami Tuhan’. Namun, upaya menjawab panggilan Tuhan dengan baik dan tepat dapat didasari semangat:
Panggilan
Setiap karya pelayanan kita memang berawal dari inisiatif Allah. Allah lah yang memanggil, dan Dia pula yang akan mengawal dan melengkapi kita. Itulah sebabnya setiap panggilan Tuhan mau-tidak mau haruslah direspon dengan kesadaran untuk mau mendengar dan menjawab dengan tepat. Jika ini terjadi akan memunculkan sukacita, yaitu:
Pengantar
Apa yang saudara bayangkan ketika mendengar kata ‘panggilan Allah?’. Atau dengan kalimat yang lengkap, ‘kita dipanggil oleh Allah untuk melayani!’. Ya, kata ‘panggilan’ bisa dimaknai: Allah sengaja melibatkan kita dalam karya-Nya, atau kita mengakui semua yang kita lakukan hanya sekedar menjawab ‘panggilan-Nya’. Sehingga motivasi dan tujuan dari setiap pelayanan tertuju kepada Tuhan.
Ketika Tuhan memanggil kita, janganlah hanya diartikan agar kita pindah ‘dari pekerjaan sekuler atau non-agama’ lalu menjadi seorang ‘penginjil, pendeta, rohaniawan’. Ini dikarenakan dalam pekerjaan apapun Tuhan memanggil kita dan memakai kita dalam bidang apapun. Panggilan Tuhan ini terkait erat tugas kita sebagai seorang nabi, yang menerima firman dan harus menyampaikan kepada siapapun. Dengan panggilan ini, Tuhan akan melibatkan manusia dalam karya-Nya.
Allah memanggil kita
Panggilan Tuhan merupakan kesempatan yang ditawarkan Tuhan dengan penuh keterbukaan kepada manusia untuk menjadi murid-Nya. Hal ini nampak dalam Yohanes 1:43-51. Dalam bacaan ini nampak sekali Tuhan berinisiatif melibatkan manusia dalam karya-Nya. Di sinilah murid dipandang sebagai partner, dan bukan bawahan. Dengan demikian derajat mereka terangkat. Menjadi murid berarti sedang dipersiapkan atau dibentuk. Akan tiba waktunya, para murid melanjutkan karya Yesus di dunia, yaitu pada saat mereka dipandang siap oleh Yesus.
Itulah sebabnya bacaan Injil saat ini menceritakan Yohanes mengikut Yesus. Yohanes penulis Injil memang telah menjadi murid Yohanes Pembaptis. Ia segera menjadi murid Yesus setelah kepadanya diberitahu bahwa Yesus adalah Anak Domba Allah. Lantas, ia kemudian menceritakan kepada Andreas, bahwa ia telah menemukan Mesias atau Kristus. Akhirnya, ia dan Andreas menjadi murid Yesus.
Berbeda dengan proses yang dialami oleh Yohanes dan Andreas, keikutsertaan Filipus didasari oleh ajakan Yesus sendiri, “Ikutlah Aku!”. Ungkapan ini sekali lagi menegaskan bahwa inisiatif pemuridan berasal dari Yesus sendiri. Kata-kata yang penuh wibawa dan kuasa tersebut disambut Filipus dengan sukacita, dan ia pun mengabarkan kepada orang lain. ini dikarenakan Filipus telah menemukan Mesias dalam diri Yesus. Ketika ia bertemu dengan Nathanael dari kota yang sama, ia pun menyampaikan kabar sukacita dengan berkata, “Kami telah menemukan Dia, yang disebut oleh Musa dalam kitab Taurat dan oleh para nabi, yaitu Yesus, anak Yusuf dari Nazareth”. Dari sinilah kita melihat bahwa inisiatif panggilan berasal dari Allah, dan umat pun meneruskan panggilan tersebut kepada sesamanya. Memang haruslah demikian seterusnya.
Natanael, yang sebelumnya sudah tahu mengenai kota Nazareth dengan nada pesimis berkata, “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazareth?”. Pada masa itu, Nazareth terkenal dengan perilaku penduduknya yang tidak baik. Di sinilah, Natanael merupakan wujud manusia dari masa ke masa yang selalu melihat ‘jika ada keluarga/kota yang jahat, maka semuanya dianggap jahat, dan dari kawasan yang jahat tidak mungkin muncul kebaikan’. Benarkah demikian?
Filipus tidak mau masuk ke dalam perdebatan. Adakalanya kita memang harus demikian ketika sedang melaksanakan pelayanan. Dalam pengalaman sehari-hari perdebatan lebih sering memunculkan emosi dan panas hati. Masalah tidak terselesaikan, tetapi malah muncul masalah baru. Langkah positif yang dilakukan oleh Filipus adalah segera menyakinkan Natanael untuk menemui Yesus, sehingga mengalami perjumpaan pribadi, dan mengenal secara pribadi dengan Yesus. ini jelas lebih baik daripada perdebatan. Ia berkata, “Mari dan lihatlah!”
Melalui kehadiran dan pernyataan Yesus kita dapat menemukan dua berita penting, yaitu:
- Yesus telah berhasil mematahkan gambaran atau cap negatif mengenai Nazareth. Pada kenyataannya sesuatu yang baik bisa muncul, atau keluar dari sana. Semestinya hal ini menjadi peringatan bagi kita untuk tidak dengan mudahnya gebyah-uyah suatu hal, atau memukul rata setiap masalah.
- Yesus berhasil meyakinkan Natanael akan siapa jati diriNya. Tidak terlalu sulit bagi Yesus menghilangkan keragu-raguan setiap orang yang hendak dipanggilNya. Sesungguhnya, keraguan karena ketidaktahuan adalah suatu hal yang wajar. Tetapi marilah kita belajar untuk tidak menjadikan keraguan itu hambatan atau halangan di dalam menjawab panggilan Tuhan. Membuka diri bagi panggilan-Nya sama dengan memberikan kesempatan bagi Dia untuk berkarya dan membuktikan siapa diri-Nya.
Peka terhadap panggilan Tuhan
Namun tidak mudah memang ‘peka’ terhadap panggilan Tuhan. Hal ini dinampakkan dalam kisah pemanggilan samuel. Panggilan itu diawali dengan sapaan yang Tuhan sampaikan kepada Samuel di suatu malam. Sapaan penuh wibawa yang dinyatakan dengan menyebut nama samuel. Sebanyak 3 kali Tuhan menyapa Samuel (1 Sam 3:4,6,8), tetapi ia justru lari kepada imam Eli, karena mengira Eli-lah yang memanggilnya. Sedikit ironis memang, walaupun Samuel telah cukup waktu berada di Bait Suci, tetapi ia belum juga mengenal-Nya. Hal ini mau membuktikan bahwa banyaknya aktifitas di Bait Allah tidak bisa menjadi indikator kedekatan seseorang dengan Tuhan.
Demikian juga, ketidakpekaan Samuel ini bisa dikarenakan ‘minimnya pihak-pihak dan upaya mereka memberikan pemahaman mengenai Tuhan kepada umat-Nya’. Akibatnya berdampak pada masalah komunikasi. Akrena tidak tahu siapa yang mengajaknya berkomunikasi, manusia enggan memberikan respon, apalagi merespon dengan baik. Barulah pada sapaan yang keempat (ayat 10), ayitu setelah iman Eli menjelaskan dari siapa sapaan itu, Samuel menjawab sapaan Allah dengan berkata, “Berbicaralah sebab hamba-Mu ini mendengar”. Ketika Samuel sudah cukup mengerti dengan siapa ia berhadapan, selanjutnya Allah menyampaikan firman-Nya kepada Samuel (ayat 11-14).
Memang tidak mudah memahami panggilan Tuhan, dibutuhkan ‘kepekaan dan juga pengetahuan tentang memahami Tuhan’. Namun, upaya menjawab panggilan Tuhan dengan baik dan tepat dapat didasari semangat:
- Bersyukur kepada Tuhan atas kemahatahuan-Nya terhadap kehidupan umat, dan bersyukur atas keajaiban karya Allah (Mazmur 139). Ini dikarenakan Allah tahu apa yang ada dalam diri manusia, dan Allah tahu apa yang menjadi aktifitas manusia. Itulah sebabnya dalam Mazmur 139, diakuinya Allah sebagai Yang Maha Tahu dan Tuhan lah yang menciptakan manusia. Tidak ada bagian dari manusia yang tersembunyi bagi Tuhan. Itulah sebabnya manusia harus mensyukuri apapun pemberian Tuhan.
- Mempersembahkan tubuh kepada Allah, atau memuliakan Allah dengan tubuh (1 Kor 6:13,20). Ini dikarenakan ‘kita telah dibeli dengan harga yang lunas’ (ayat 20), lewat ‘darah Kristus’. Itulah sebabnya kita adalah anggota tubuh Kristus (ayat 15). Karena kita adalah tubuh Kristus, maka Roh Kudus pun berdiam dalam tubuh kita (ayat 19). Hal ini menegaskan bahwa tubuh kita bukan milik diri kita sendiri lagi, tetapi milik Tuhan.
Panggilan
Setiap karya pelayanan kita memang berawal dari inisiatif Allah. Allah lah yang memanggil, dan Dia pula yang akan mengawal dan melengkapi kita. Itulah sebabnya setiap panggilan Tuhan mau-tidak mau haruslah direspon dengan kesadaran untuk mau mendengar dan menjawab dengan tepat. Jika ini terjadi akan memunculkan sukacita, yaitu:
- Menjadi semakin besar, dan Tuhan menyertai dan tidak ada satu pun firman-Nya yang dibiarkan gugur (1 sam 3:19)
- Menyaksikan karya-karya Allah yang lebih besar lainnya (Yoh 1:50-51). Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar