Yehezkiel 34:11-16, 20-24; Mazmur 95:1-7a; Efesus 1:15-23; Matius 25:31-46
Pengantar
Kata ‘menggembalakan’ dan ‘digembalakan’ sudah biasa kita dengar dalam kehidupan bergereja. Namun kata ini cenderung tidak disukai oleh sebagian warga gereja. Misalkan, warga gereja begitu ‘alergi’ terhadap kata ini karena menganggap ‘penggembalaan khusus’ adalah sebuah hukuman, padahal hal ini adalah sebuah proses penggembalaan dengan tujuan yang baik. Dalam gereja, istilah Gembala Agung adalah Tuhan sendiri, dan kita semua adalah ‘domba-Nya’. Hubungan Gembala dan domba adalah hubungan yang mesra, dan Gembala pun selalu menuntun dan mengingatkan domba-Nya.
Gembala digembalakan
Dalam Alkitab, Tuhan sebagai Gembala Agung menunjuk para raja, pemimpin agama, pemimpin politik juga sebagai gembala. Gembala Agung meminta para gembala ini untuk menggembalakan umat-Nya. Namun dalam kitab Yehezkiel ini, ada hal yang menarik. Tuhan sebagai Gembala Agung memutuskan menggembalakan sendiri para gembala-Nya (34:11). Tuhan bahkan berbalik melawan para gembala palsu ini. Sederetan tindakan Tuhan, dengan subyek dan predikat ‘Aku akan’ atau Tuhan sendiri akan melakukan. Misalkan: Aku akan memerhatikan (ayat 11), mencari, menyelamatkan (ayat 12), membawa keluar dari tengah para bangsa, menggembalakan di gunung-gunung Israel (ayat 13), membiarkan mereka beristirahat (ayat 15), membalut yang luka, menguatkan yang sakit, dan melindungi semua (ayat 16). Tindakan-tindakan ini mau menyatakan Tuhan tetap setia terhadap janjiNya.
Lantas, mengapa Tuhan sampai menggembalakan para gembala-Nya? Ini karena para pemimpin Israel saat itu, mulai dari para raja, penguasa dan pemimpin agama telah gagal untuk memberikan kesejahteraan bagi umat-Nya. Hal ini nampak dari kitab Yehezkiel pasal 25-32, di mana ‘para gembala (ro’e) Israel’ telah gagal sebagai wakil Tuhan. Mereka tidak menjalankan peran dan fungsi seperti yang seharusnya mereka jalankan. Mereka menggunakan kekuasaan untuk kepentingan diri mereka sendiri saja dan tidak peduli pada nasib seluruh bangsa. Hal inilah yang digambarkan secara mengesankan dan ironis dalam bacaan kita.
Namun, apakah sikap Tuhan yang menginginkan umat sejahtera akan mengurangi sikap tegas dan adilnya? Jawabnya, ‘tidak’. Dia tetap mengambil sikap yang tegas dengan menjadi hakim yang adil di antara domba-domba itu sendiri, tetapi tetap dalam rangka memberikan perlindungan bagi semua. Artinya, sebagai Gembala Agung, Tuhan tetap menginginkan umat-Nya sejahtera, namun sekaligus menuntut kesetiaan pada domba-Nya. Domba yang tidak setia akan digembalakan oleh Tuhan, namun jika mereka tetap tidak mau digembalakan, tentu Tuhan akan memberikan penggembalaan khusus sebagai wujud kasih-Nya.
Di sinilah nampak sekali, bahwa hubungan antara Tuhan dan umat Israel bukan hubungan yang dingin dan statis. Namun hubungan yang dinamis, mengalami ‘up and down’, terkadang ada passion di dalamnya. Memang hubungan antara Tuhan dengan manusia terkadang digambarkan sebagai hubungan perjanjian, yang meminta kedewasaan dalam bersikap, sebab sama-sama tahu hak, kewajiban dan tanggungjawab. Dalam hubungan perjanjian ini, sama sekali yang diuntungkan adalah manusia sendiri. Bahkan dengan perjanjian ini, manusia yang berdosa dilayakkan menerima anugerah keselamatan.
Hal inilah yang digambarkan dalam Matius 25:31-46. Bacaan ini berlatar belakang keyakinan Yahudi yang salah arah. Mereka memang setia dan melakukan aturan, namun itu semua hanya formalisme dan ketaatan mereka hanya menjadi urusan mereka sendiri, dan sama sekali tidak menyentuh hubungan yang seharusnya antara sesama manusia. Mereka saleh, namun mereka tidak peduli terhadap penderitaan sesama apalagi mengasihi mereka. Hal inilah yang selalu dikritik oleh Yesus. Sikap iman yang benar menurut Yesus dalam Injil Matius terungkap dalam hukum Kasih, yaitu Kasih Allah dan Kasih kepada sesama (Mat. 22:37-39). Jika tidak demikian, maka kelak akan di tolak oleh Tuhan pada saat penghakiman terakhir.
Hal inilah yang terurai dalam bacaan ketiga Injil Matius ini. Para pemimpin agama Yahudi sangat begitu yakin bahwa mereka akan masuk dalam kategori domba (yang dianggap lebih tinggi nilai rohaninya, sebab domba dianggap dekat dengan pemilik domba), dan tidak akan masuk ke kelompok kambing (atau domba liar di gunung, yang jauh dari manusia/pemilik). Para pemimpin agama ini begitu yakin bahwa perhitungan pahala karena mereka taat pada aturan Taurat akan membawa mereka masuk ke sorga. Namun, ternyata kriteria dari Gembala Agung yang sekaligus Hakim Agung atau Raja Sorgawi, berbeda sama sekali. Sebab yang menjadi tolok ukur dalam menilai adalah ‘kasih kepada Tuhan yang diwujudkan kasih kepada sesama’, dan bukan ketaatan kaku pada hukum. Dan bukan itu saja, sikap kasih kepada sesama harus spontan, tulus dan tanpa pamrih.
Coba perhatikan reaksi orang-orang yang masuk dalam kategori ‘domba’ atas perkataan Yesus yang menyambut dan memuji mereka (Mat 25:35-39). Mereka ditampilkan sebagai orang-orang yang ‘bengong’, karena merasa tidak pernah berjumpa dan melayani Yesus sendiri secara fisik. Bagi mereka, melayani orang-orang yang digambarkan ‘lapar, haus, asing, telanjang, sakit, terpenjara’, sudah menjadi sesuatu ‘yang memang sudah seharusnya begitu’. Beriman kepada Tuhan seharusnya begitu, tidak perlu menghitung pahala atau tabungan sorgawi. Mereka melakukan dengan hati nyang tulus, ikhlas, rela, sepenuh hati dan spontan. Melakukan hal yang luhur seperti itu tidak lagi membutuhkan tekanan atau atas perintah, tetapi mengalir begitu saja dari kehidupan yang sudah diberkati Tuhan.
Namun, bagi mereka yang ada dikelompok ‘kambing’ punya alasan menolak vonis dari Sang Hakim Agung-Raja Sorgawi, yang mengusir mereka dan membuang mereka ke dalam ‘api yang kekal yang telah tersedia untuk iblis dan malaikat-malaikatnya’. Kelompok ini rupanya tidak peduli terhadap penderitaan sesama, dan mereka hanya egois dan menekankan kehidupan pribadi, atau ‘peduli amat dengan sesama’. Bagi Yesus, beriman harusnya ‘ada aksi nyata kepada sesama, meskipun tanpa diatur dalam tatanan’. Secara sarkatis, kelompok kambing menggugat Tuhan, ‘kapan mereka tahu jika Tuhan telanjang, lapar, kedinginan dst’. Bagi Tuhan, beriman berarti percaya pada Tuhan dan ada aksi nyata untuk berbuat kasih kepada sesama. Hal ini digambarkan secara nyata dalam hidup beriman kelompok ‘domba’. Mereka telah meninggalkan pola hidup ‘do ut des’ atau ‘saya memberi supaya kamu memberi’ yang egosentris. Tetapi mereka mengasihi sesama karena sadar telah menerima kasih Tuhan.
Panggilan
Jadi yang terbaik dalam iman kita adalah alasan dan wujud nyata mengasihi. Saya mengasihi bukan supaya ‘saya mendapat kasih’, melainkan ‘karena saya sudah dikasihi Tuhan’. Dan wujud nyata kasih itu adalah tindakan langsung yang tanpa melihat siapa yang dikasihi. Inilah yang dikehendaki Tuhan atas kehidupan kita. Jika hal ini bisa dilakukan, maka kita sebagai umat Tuhan tidak hanya ‘digembalakan oleh Tuhan’, melainkan bisa ‘saling menggembalakan’. Dengan saling menggembalakan berarti kita menyadari diri sebagai domba-Nya dan sekaligus menyadari kita dipakai oleh-Nya sebagai para gembala-Nya. Saling menggembalakan akan membuat kita saling mengoreksi, memahami dan saling menyempurnakan.
Alasan utama kita saling menggembalakan adalah kasih Kristus yang telah kita terima. Kristus telah demikian mengasihi, bahkan dalam Efesus 1:18-22 menunjukkan beragam tindakan Tuhan yang demikian dramatik dan memuncak pada kebangkitan Yesus dan pemuliaan-Nya sebagai Penguasa di atas segala penguasa. Akibat kemuliaan Kristus, gereja pun memperoleh kemuliaan. Di sinilah gereja diingatkan agar juga mau membagi kemuliaan untuk orang lain. Itulah sebabnya Tuhan tidak hanya gereja-Nya sejahtera, melainkan juga ingin agar melalui orang beriman kepadaNya, Ia menyatakan diri kepada dunia dan dunia pun sejahtera. Mengapa hal ini harus kita lakukan? Sebab dalam Mazmur 95, Tuhan mengajak agar semua orang mengakuiNya sebagai ‘gunung batu keselamatan’ bagi siapapun. Artinya, dengan kasih yang kita lakukan bagi siapapun, semua orang akan mengenal keselamatan dari Tuhan.
Jika semua ini kita lakukan, maka kita akan dilayakkan sebagai ‘domba’Nya dalam pengadilan terakhir. Domba yang dekat dengan Sang Pemilik, dan sekaligus ‘dilayakkan’ dalam Kerajaan Sorga. Amin
Pengantar
Kata ‘menggembalakan’ dan ‘digembalakan’ sudah biasa kita dengar dalam kehidupan bergereja. Namun kata ini cenderung tidak disukai oleh sebagian warga gereja. Misalkan, warga gereja begitu ‘alergi’ terhadap kata ini karena menganggap ‘penggembalaan khusus’ adalah sebuah hukuman, padahal hal ini adalah sebuah proses penggembalaan dengan tujuan yang baik. Dalam gereja, istilah Gembala Agung adalah Tuhan sendiri, dan kita semua adalah ‘domba-Nya’. Hubungan Gembala dan domba adalah hubungan yang mesra, dan Gembala pun selalu menuntun dan mengingatkan domba-Nya.
Gembala digembalakan
Dalam Alkitab, Tuhan sebagai Gembala Agung menunjuk para raja, pemimpin agama, pemimpin politik juga sebagai gembala. Gembala Agung meminta para gembala ini untuk menggembalakan umat-Nya. Namun dalam kitab Yehezkiel ini, ada hal yang menarik. Tuhan sebagai Gembala Agung memutuskan menggembalakan sendiri para gembala-Nya (34:11). Tuhan bahkan berbalik melawan para gembala palsu ini. Sederetan tindakan Tuhan, dengan subyek dan predikat ‘Aku akan’ atau Tuhan sendiri akan melakukan. Misalkan: Aku akan memerhatikan (ayat 11), mencari, menyelamatkan (ayat 12), membawa keluar dari tengah para bangsa, menggembalakan di gunung-gunung Israel (ayat 13), membiarkan mereka beristirahat (ayat 15), membalut yang luka, menguatkan yang sakit, dan melindungi semua (ayat 16). Tindakan-tindakan ini mau menyatakan Tuhan tetap setia terhadap janjiNya.
Lantas, mengapa Tuhan sampai menggembalakan para gembala-Nya? Ini karena para pemimpin Israel saat itu, mulai dari para raja, penguasa dan pemimpin agama telah gagal untuk memberikan kesejahteraan bagi umat-Nya. Hal ini nampak dari kitab Yehezkiel pasal 25-32, di mana ‘para gembala (ro’e) Israel’ telah gagal sebagai wakil Tuhan. Mereka tidak menjalankan peran dan fungsi seperti yang seharusnya mereka jalankan. Mereka menggunakan kekuasaan untuk kepentingan diri mereka sendiri saja dan tidak peduli pada nasib seluruh bangsa. Hal inilah yang digambarkan secara mengesankan dan ironis dalam bacaan kita.
Namun, apakah sikap Tuhan yang menginginkan umat sejahtera akan mengurangi sikap tegas dan adilnya? Jawabnya, ‘tidak’. Dia tetap mengambil sikap yang tegas dengan menjadi hakim yang adil di antara domba-domba itu sendiri, tetapi tetap dalam rangka memberikan perlindungan bagi semua. Artinya, sebagai Gembala Agung, Tuhan tetap menginginkan umat-Nya sejahtera, namun sekaligus menuntut kesetiaan pada domba-Nya. Domba yang tidak setia akan digembalakan oleh Tuhan, namun jika mereka tetap tidak mau digembalakan, tentu Tuhan akan memberikan penggembalaan khusus sebagai wujud kasih-Nya.
Di sinilah nampak sekali, bahwa hubungan antara Tuhan dan umat Israel bukan hubungan yang dingin dan statis. Namun hubungan yang dinamis, mengalami ‘up and down’, terkadang ada passion di dalamnya. Memang hubungan antara Tuhan dengan manusia terkadang digambarkan sebagai hubungan perjanjian, yang meminta kedewasaan dalam bersikap, sebab sama-sama tahu hak, kewajiban dan tanggungjawab. Dalam hubungan perjanjian ini, sama sekali yang diuntungkan adalah manusia sendiri. Bahkan dengan perjanjian ini, manusia yang berdosa dilayakkan menerima anugerah keselamatan.
Hal inilah yang digambarkan dalam Matius 25:31-46. Bacaan ini berlatar belakang keyakinan Yahudi yang salah arah. Mereka memang setia dan melakukan aturan, namun itu semua hanya formalisme dan ketaatan mereka hanya menjadi urusan mereka sendiri, dan sama sekali tidak menyentuh hubungan yang seharusnya antara sesama manusia. Mereka saleh, namun mereka tidak peduli terhadap penderitaan sesama apalagi mengasihi mereka. Hal inilah yang selalu dikritik oleh Yesus. Sikap iman yang benar menurut Yesus dalam Injil Matius terungkap dalam hukum Kasih, yaitu Kasih Allah dan Kasih kepada sesama (Mat. 22:37-39). Jika tidak demikian, maka kelak akan di tolak oleh Tuhan pada saat penghakiman terakhir.
Hal inilah yang terurai dalam bacaan ketiga Injil Matius ini. Para pemimpin agama Yahudi sangat begitu yakin bahwa mereka akan masuk dalam kategori domba (yang dianggap lebih tinggi nilai rohaninya, sebab domba dianggap dekat dengan pemilik domba), dan tidak akan masuk ke kelompok kambing (atau domba liar di gunung, yang jauh dari manusia/pemilik). Para pemimpin agama ini begitu yakin bahwa perhitungan pahala karena mereka taat pada aturan Taurat akan membawa mereka masuk ke sorga. Namun, ternyata kriteria dari Gembala Agung yang sekaligus Hakim Agung atau Raja Sorgawi, berbeda sama sekali. Sebab yang menjadi tolok ukur dalam menilai adalah ‘kasih kepada Tuhan yang diwujudkan kasih kepada sesama’, dan bukan ketaatan kaku pada hukum. Dan bukan itu saja, sikap kasih kepada sesama harus spontan, tulus dan tanpa pamrih.
Coba perhatikan reaksi orang-orang yang masuk dalam kategori ‘domba’ atas perkataan Yesus yang menyambut dan memuji mereka (Mat 25:35-39). Mereka ditampilkan sebagai orang-orang yang ‘bengong’, karena merasa tidak pernah berjumpa dan melayani Yesus sendiri secara fisik. Bagi mereka, melayani orang-orang yang digambarkan ‘lapar, haus, asing, telanjang, sakit, terpenjara’, sudah menjadi sesuatu ‘yang memang sudah seharusnya begitu’. Beriman kepada Tuhan seharusnya begitu, tidak perlu menghitung pahala atau tabungan sorgawi. Mereka melakukan dengan hati nyang tulus, ikhlas, rela, sepenuh hati dan spontan. Melakukan hal yang luhur seperti itu tidak lagi membutuhkan tekanan atau atas perintah, tetapi mengalir begitu saja dari kehidupan yang sudah diberkati Tuhan.
Namun, bagi mereka yang ada dikelompok ‘kambing’ punya alasan menolak vonis dari Sang Hakim Agung-Raja Sorgawi, yang mengusir mereka dan membuang mereka ke dalam ‘api yang kekal yang telah tersedia untuk iblis dan malaikat-malaikatnya’. Kelompok ini rupanya tidak peduli terhadap penderitaan sesama, dan mereka hanya egois dan menekankan kehidupan pribadi, atau ‘peduli amat dengan sesama’. Bagi Yesus, beriman harusnya ‘ada aksi nyata kepada sesama, meskipun tanpa diatur dalam tatanan’. Secara sarkatis, kelompok kambing menggugat Tuhan, ‘kapan mereka tahu jika Tuhan telanjang, lapar, kedinginan dst’. Bagi Tuhan, beriman berarti percaya pada Tuhan dan ada aksi nyata untuk berbuat kasih kepada sesama. Hal ini digambarkan secara nyata dalam hidup beriman kelompok ‘domba’. Mereka telah meninggalkan pola hidup ‘do ut des’ atau ‘saya memberi supaya kamu memberi’ yang egosentris. Tetapi mereka mengasihi sesama karena sadar telah menerima kasih Tuhan.
Panggilan
Jadi yang terbaik dalam iman kita adalah alasan dan wujud nyata mengasihi. Saya mengasihi bukan supaya ‘saya mendapat kasih’, melainkan ‘karena saya sudah dikasihi Tuhan’. Dan wujud nyata kasih itu adalah tindakan langsung yang tanpa melihat siapa yang dikasihi. Inilah yang dikehendaki Tuhan atas kehidupan kita. Jika hal ini bisa dilakukan, maka kita sebagai umat Tuhan tidak hanya ‘digembalakan oleh Tuhan’, melainkan bisa ‘saling menggembalakan’. Dengan saling menggembalakan berarti kita menyadari diri sebagai domba-Nya dan sekaligus menyadari kita dipakai oleh-Nya sebagai para gembala-Nya. Saling menggembalakan akan membuat kita saling mengoreksi, memahami dan saling menyempurnakan.
Alasan utama kita saling menggembalakan adalah kasih Kristus yang telah kita terima. Kristus telah demikian mengasihi, bahkan dalam Efesus 1:18-22 menunjukkan beragam tindakan Tuhan yang demikian dramatik dan memuncak pada kebangkitan Yesus dan pemuliaan-Nya sebagai Penguasa di atas segala penguasa. Akibat kemuliaan Kristus, gereja pun memperoleh kemuliaan. Di sinilah gereja diingatkan agar juga mau membagi kemuliaan untuk orang lain. Itulah sebabnya Tuhan tidak hanya gereja-Nya sejahtera, melainkan juga ingin agar melalui orang beriman kepadaNya, Ia menyatakan diri kepada dunia dan dunia pun sejahtera. Mengapa hal ini harus kita lakukan? Sebab dalam Mazmur 95, Tuhan mengajak agar semua orang mengakuiNya sebagai ‘gunung batu keselamatan’ bagi siapapun. Artinya, dengan kasih yang kita lakukan bagi siapapun, semua orang akan mengenal keselamatan dari Tuhan.
Jika semua ini kita lakukan, maka kita akan dilayakkan sebagai ‘domba’Nya dalam pengadilan terakhir. Domba yang dekat dengan Sang Pemilik, dan sekaligus ‘dilayakkan’ dalam Kerajaan Sorga. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar