Kis. 1:1-11, Mzm. 93, Ef. 1:15-23, Luk. 24:44-53
Pengantar
Apa yang saudara pikirkan dengan tema diatas? Selagi masih ada waktu! Ya, tema ini setidaknya mau menyatakan: ada waktu yang bisa dimanfaatkan, adanya pembatasan waktu dan harus dipakai sebak-baiknya. Memang saudara, manakala kita ’masih ada waktu, atau masih diberi waktu’, kita harus memakai waktu itu dengan baik. Lantas, apa kaitannya dengan ibadah kenaikan Tuhan Yesus? Waktu yang mana, dan apa maknanya?
Membuka pikiran
Sebelum Tuhan Yesus pergi meninggalkan para muridNya, Kristus terlebih dahulu menyatakan diri bahwa Dia sungguh-sungguh hidup, “Lihatlah tanganKu dan kakiKu; Aku sendirilah ini; rabalah Aku dan lihatlah, karena hantu tidak ada daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat ada padaKu” (Luk. 24:39). Dari firman ini, mau dinyatakan bahwa iman para murid dan gereja perdana tidak didasarkan kepada mitos tentang kebangkitan Kristus. Sebab kepercayaan para murid dan gereja perdana didasari oleh pengalaman iman yang nyata. Namun perlu diingat bahwa yang menentukan mereka mengimani Kristus yang bangkit bukan terjadi karena kekuatan manusiawi. Hal ini nampak sebab sebelum Tuhan Yesus naik ke sorga, Dia terlebih dahulu memberi pengajaran kepada mereka: “Inilah perkataan-Ku, yang telah Kukatakan kepadamu ketika Aku masih bersama-sama dengan kamu, yakni bahwa harus digenapi semua yang ada tertulis tentang Aku dalam kitab Taurat Musa dan kitab nabi-nabi dan kitab Mazmur” (Luk. 24:44). Iman para murid dibentuk oleh pengajaran dari Kristus yang bangkit, sehingga mereka dimampukan untuk mengerti bahwa penderitaan, kematian dan kebangkitan serta kenaikan Kristus ke sorga ditempatkan dalam kerangka karya keselamatan Allah sebagaimana telah dinubuatkan oleh Musa, pemazmur dan para nabi. Seandainya peristiwa penderitaan, kematian dan kebangkitan serta kenaikan Kristus ke sorga tidak dinubuatkan terlebih dahulu oleh kitab-kitab Musa, kitab Mazmur dan kitab para nabi maka segala peristiwa tersebut sebenarnya tidak memiliki makna apapun sebab tidak menjadi bagian dari karya keselamatan Allah. Itu sebabnya di Luk. 24:45 menyaksikan, Tuhan Yesus membuka pikiran mereka, “Lalu Ia membuka pikiran mereka, sehingga mereka mengerti Kitab Suci”. Para murid dan gereja perdana percaya karena Kristus yang bangkit telah memberikan pengajaran dan Dia pula telah membuka pikiran serta pengertian mereka sehingga mereka dapat mengerti makna firman Tuhan yang telah dinubuatkan oleh Kitab Suci.
Selaku umat percaya, pada waktu ini kita membutuhkan karya Kristus yang “membuka dan menyingkapkan pikiran” sehingga kita mengerti makna firman Tuhan. Sebab jika pikiran dan pengertian kita tertutup oleh kebenaran kita sendiri, maka segala bentuk karya dan penyataan Allah yang paling spektakuler sekalipun tidak akan mampu membuat kita percaya dan mengalami pembaharuan hidup. Jadi tidak dijamin orang-orang yang telah mengalami peristiwa “mukjizat” atau “supernatural” senantiasa dapat lebih dekat dan mengasihi Kristus serta mengalami pembaharuan hidup. Demikian pula peristiwa penampakan Kristus yang bangkit atau kenaikanNya ke sorga tidak secara otomatis membuat orang-orang pada zaman itu menjadi lebih percaya dan hidup dalam pertobatan. Jika mereka memahami tubuh Kristus saat menjadi manusia dianggap kotor atau berdosa, maka pastilah mereka tidak akan menerima kebangkitan dan kenaikan Kristus dengan tubuh jasmaniahNya. Sehingga tidak mengherankan dalam perkembangan sejarah kekristenan kemudian berkembang golongan “Gnostik” yang intinya menolak kebangkitan dan kenaikan Kristus ke sorga dengan tubuhNya. Pemikiran Gnostik kemudian menjadi sekte Kristen yang menganggap dirinya paling benar. Mereka memiliki beragam alasan untuk pembenaran diri. Padahal jika kita tak mau menerima kebenaran dari Kristus, kita seperti orang-orang buta yang menganggap dirinya paling benar dengan apa yang kita yakini. Seperti 5 orang buta yang memegang seekor gajah dan memberikan tafsirannya masing-masing:
1. Ada yang menganggap gajah sebagai hewan dengan bentuk kipas karena dia memegang telinganya.
2. Ada yang menganggap gajah seperti ular besar karena dia memegang belalainya.
3. Ada yang menganggap gajah seperti pohon karena dia memegang kakinya.
4. Ada yang menganggap gajah seperti pedang yang melengkung karena dia memegang gadingnya.
5. Ada yang menganggap gajah seperti kemucing (alat pembersih dari bulu) karena dia memegang ekornya.
Kemuliaan Kristus
Apabila Injil Lukas menyaksikan tindakan Tuhan Yesus yang “membuka pikiran mereka, sehingga mereka mengerti Kitab Suci” (Luk. 24:45), maka Paulus mendoakan jemaat Tuhan dengan gagasan yang serupa, yaitu, “supaya Ia memberikan kepadamu Roh hikmat dan wahyu untuk mengenal Dia dengan benar. Dan supaya Ia menjadikan mata hatimu terang, agar kamu mengerti pengharapan apakah yang terkandung dalam panggilan-Nya: betapa kayanya kemuliaan bagian yang ditentukan-Nya bagi orang-orang kudus” (Kis.1:17b-18). Doa Paulus meminta agar setiap jemaat dikaruniakan 3 hal yang utama agar mereka mengenal kemuliaan Kristus yang telah bangkit dan naik ke sorga, yaitu:
Ketiganya (Roh hikmat, wahyu dan mata hati yang terang), saling melengkapi dan mempengaruhi kehidupan umat percaya. Jika umat percaya diberi karunia berupa roh hikmat dan wahyu dari Tuhan, maka pastilah mereka akan memiliki mata hati yang terang untuk merespon penyataan Allah. Sebaliknya jika mereka makin terbuka karena telah memiliki mata hati yang terang, maka pastilah mereka akan mudah memahami secara tepat roh hikmat dan wahyu dari Tuhan. Jadi roh hikmat, wahyu dan mata hati yang terang merupakan kekayaan rohani dan selalu bersifat dinamis, sehingga kita dimampukan bertumbuh dalam Kristus, sehingga kita lebih mempermuliakan Allah.
Namun faktanya, kita sering gagal mempermuliakan Allah di dalam Kristus, sebab kita sering dipenuhi oleh roh duniawi, kehendak manusiawi dan mata hati yang suram sehingga gagal memakai waktu pemberian Tuhan. Akibatnya kita mudah pesimis dengan hati yang suram jika kita menghadapi hal yang mengecewakan atau menyedihkan. Bahkan kemudian putus-asa dan tidak lagi memiliki pengharapan dari Tuhan. Itu sebabnya di Ef. 1:18 rasul Paulus berkata: “Dan supaya Ia menjadikan mata hatimu terang, agar kamu mengerti pengharapan apakah yang terkandung dalam panggilan-Nya: betapa kayanya kemuliaan bagian yang ditentukan-Nya bagi orang-orang kudus”. Dalam konteks ini secara sengaja rasul Paulus mengkaitkan “mata hatimu terang” dengan sikap pengharapan. Sebab tanpa karunia Tuhan berupa mata hati yang terang sebagai hasil dari roh hikmat dan wahyu, maka pastilah kita akan dikuasai oleh perasaan putus-asa atau tanpa pengharapan. Bandingkan pula pengertian “mata” sebagai cermin “hati” dan kepribadian kita, yaitu, “Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu” (Mat. 6:22-23).
Menatap ke langit
Pada saat para murid menyaksikan Tuhan Yesus yang terangkat ke sorga dan awan kemudian menutupiNya, mereka terus menatap ke langit. Mereka terpesona menyaksikan Kristus yang dimuliakan oleh Allah dengan mengangkat Dia ke sorga. Sikap para murid ini merupakan cermin bagi orang Kristen yang hanya terkagum-kagum oleh pengalaman yang menakjubkan dan melalaikan tugas di dunia ini. Mata mereka berbinar-binar saat melihat berbagai hal yang langka dan menakjubkan, tetapi mata hati mereka segera menjadi redup atau suram saat mereka harus berhadapan dengan realitas hidup yang keras dan pahit. Kis. 1:10-11 berkata: “Ketika mereka sedang menatap ke langit waktu Ia naik itu, tiba-tiba berdirilah dua orang yang berpakaian putih dekat mereka, dan berkata kepada mereka: "Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke sorga". Para malaikat menegur sikap para murid Tuhan Yesus agar mata mereka tidak terus-menerus tertuju untuk menatap langit, tetapi mereka diingatkan untuk kembali ke dunia nyata mereka dan melakukan tugas panggilan sambil mengisi waktu yang ada. Jadi makna “selagi masih ada waktu” bukanlah mengisi dengan cara melarikan diri ke realitas “sorgawi” atau “dunia rohani”; tetapi justru kita harus berani menghadapi realitas nyata dengan kuasa Roh Kudus. Itu sebabnya sebelum Kristus naik ke sorga, Tuhan Yesus berkata: “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi” (Kis. 1:8).
Panggilan
Jika para murid dan gereja perdana dipanggil untuk menjadi saksi Kristus dengan kuasa Roh Kudus, maka demikian pula kehidupan kita selaku umat percaya diminta mempergunakan waktu sebaik mungkin. Kita tidak bisa memuliakan Allah dengan cara memberi “kesaksian rohaniah” yang serba menakjubkan atau betapa intimnya kita dengan Kristus sehingga kita dapat berbicara dan berjumpa secara khusus dengan Dia. Jenis kesaksian yang demikian patut dikritisi, karena “ujung-ujungnya” bertujuan mempermuliakan diri sendiri dan mencari popularitas. Sebenarnya mereka mau mengatakan bahwa betapa penting dan istimewanya diri mereka sehingga mereka diperkenankan oleh Tuhan untuk melihat “sorga” dan dapat mendengar suara Tuhan secara langsung.
Tidaklah demikian sikap kita selaku jemaat yang dewasa dan bertanggungjawab. Sebab makna memuliakan Allah perlu kita wujudkan dalam pembaharuan hidup, yaitu dengan cara menghadirkan kemuliaan Kristus melalui kejujuran, kerajinan dalam bekerja, kesopanan dalam bertingkah laku, kepedulian dalam kasih kepada mereka yang menderita serta pengampunan kita kepada mereka yang bersalah. Manakala kita mempermuliakan Allah dan Kristus dengan pembaharuan hidup, maka pastilah kita telah mempermuliakan Dia dengan mata hati yang terang. Jika demikian, bagaimanakah dengan kehidupan saudara? Apakah kita lebih cenderung menatap “ke atas” (dunia “rohaniah”) dan tidak peduli dengan tanggungjawab yang nyata? Apakah kesaksian kita didasari oleh pembaharuan hidup? Jadi apakah kehidupan kita saat ini telah mencerminkan kemuliaan Kristus yang telah bangkit dan naik ke sorga? Itulah beragam pertanyaan bagi kita untuk selalu kita renungkan, ’selagi masih ada waktu’. Ingatlah, Kristus telah memberikan waktu, maka pakailah waktu yang ada sebaik-baiknya, sebelum Tuhan Yesus datang kedua kalinya untuk mengadili. Amin
Pengantar
Apa yang saudara pikirkan dengan tema diatas? Selagi masih ada waktu! Ya, tema ini setidaknya mau menyatakan: ada waktu yang bisa dimanfaatkan, adanya pembatasan waktu dan harus dipakai sebak-baiknya. Memang saudara, manakala kita ’masih ada waktu, atau masih diberi waktu’, kita harus memakai waktu itu dengan baik. Lantas, apa kaitannya dengan ibadah kenaikan Tuhan Yesus? Waktu yang mana, dan apa maknanya?
Membuka pikiran
Sebelum Tuhan Yesus pergi meninggalkan para muridNya, Kristus terlebih dahulu menyatakan diri bahwa Dia sungguh-sungguh hidup, “Lihatlah tanganKu dan kakiKu; Aku sendirilah ini; rabalah Aku dan lihatlah, karena hantu tidak ada daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat ada padaKu” (Luk. 24:39). Dari firman ini, mau dinyatakan bahwa iman para murid dan gereja perdana tidak didasarkan kepada mitos tentang kebangkitan Kristus. Sebab kepercayaan para murid dan gereja perdana didasari oleh pengalaman iman yang nyata. Namun perlu diingat bahwa yang menentukan mereka mengimani Kristus yang bangkit bukan terjadi karena kekuatan manusiawi. Hal ini nampak sebab sebelum Tuhan Yesus naik ke sorga, Dia terlebih dahulu memberi pengajaran kepada mereka: “Inilah perkataan-Ku, yang telah Kukatakan kepadamu ketika Aku masih bersama-sama dengan kamu, yakni bahwa harus digenapi semua yang ada tertulis tentang Aku dalam kitab Taurat Musa dan kitab nabi-nabi dan kitab Mazmur” (Luk. 24:44). Iman para murid dibentuk oleh pengajaran dari Kristus yang bangkit, sehingga mereka dimampukan untuk mengerti bahwa penderitaan, kematian dan kebangkitan serta kenaikan Kristus ke sorga ditempatkan dalam kerangka karya keselamatan Allah sebagaimana telah dinubuatkan oleh Musa, pemazmur dan para nabi. Seandainya peristiwa penderitaan, kematian dan kebangkitan serta kenaikan Kristus ke sorga tidak dinubuatkan terlebih dahulu oleh kitab-kitab Musa, kitab Mazmur dan kitab para nabi maka segala peristiwa tersebut sebenarnya tidak memiliki makna apapun sebab tidak menjadi bagian dari karya keselamatan Allah. Itu sebabnya di Luk. 24:45 menyaksikan, Tuhan Yesus membuka pikiran mereka, “Lalu Ia membuka pikiran mereka, sehingga mereka mengerti Kitab Suci”. Para murid dan gereja perdana percaya karena Kristus yang bangkit telah memberikan pengajaran dan Dia pula telah membuka pikiran serta pengertian mereka sehingga mereka dapat mengerti makna firman Tuhan yang telah dinubuatkan oleh Kitab Suci.
Selaku umat percaya, pada waktu ini kita membutuhkan karya Kristus yang “membuka dan menyingkapkan pikiran” sehingga kita mengerti makna firman Tuhan. Sebab jika pikiran dan pengertian kita tertutup oleh kebenaran kita sendiri, maka segala bentuk karya dan penyataan Allah yang paling spektakuler sekalipun tidak akan mampu membuat kita percaya dan mengalami pembaharuan hidup. Jadi tidak dijamin orang-orang yang telah mengalami peristiwa “mukjizat” atau “supernatural” senantiasa dapat lebih dekat dan mengasihi Kristus serta mengalami pembaharuan hidup. Demikian pula peristiwa penampakan Kristus yang bangkit atau kenaikanNya ke sorga tidak secara otomatis membuat orang-orang pada zaman itu menjadi lebih percaya dan hidup dalam pertobatan. Jika mereka memahami tubuh Kristus saat menjadi manusia dianggap kotor atau berdosa, maka pastilah mereka tidak akan menerima kebangkitan dan kenaikan Kristus dengan tubuh jasmaniahNya. Sehingga tidak mengherankan dalam perkembangan sejarah kekristenan kemudian berkembang golongan “Gnostik” yang intinya menolak kebangkitan dan kenaikan Kristus ke sorga dengan tubuhNya. Pemikiran Gnostik kemudian menjadi sekte Kristen yang menganggap dirinya paling benar. Mereka memiliki beragam alasan untuk pembenaran diri. Padahal jika kita tak mau menerima kebenaran dari Kristus, kita seperti orang-orang buta yang menganggap dirinya paling benar dengan apa yang kita yakini. Seperti 5 orang buta yang memegang seekor gajah dan memberikan tafsirannya masing-masing:
1. Ada yang menganggap gajah sebagai hewan dengan bentuk kipas karena dia memegang telinganya.
2. Ada yang menganggap gajah seperti ular besar karena dia memegang belalainya.
3. Ada yang menganggap gajah seperti pohon karena dia memegang kakinya.
4. Ada yang menganggap gajah seperti pedang yang melengkung karena dia memegang gadingnya.
5. Ada yang menganggap gajah seperti kemucing (alat pembersih dari bulu) karena dia memegang ekornya.
Kemuliaan Kristus
Apabila Injil Lukas menyaksikan tindakan Tuhan Yesus yang “membuka pikiran mereka, sehingga mereka mengerti Kitab Suci” (Luk. 24:45), maka Paulus mendoakan jemaat Tuhan dengan gagasan yang serupa, yaitu, “supaya Ia memberikan kepadamu Roh hikmat dan wahyu untuk mengenal Dia dengan benar. Dan supaya Ia menjadikan mata hatimu terang, agar kamu mengerti pengharapan apakah yang terkandung dalam panggilan-Nya: betapa kayanya kemuliaan bagian yang ditentukan-Nya bagi orang-orang kudus” (Kis.1:17b-18). Doa Paulus meminta agar setiap jemaat dikaruniakan 3 hal yang utama agar mereka mengenal kemuliaan Kristus yang telah bangkit dan naik ke sorga, yaitu:
- Roh hikmat (pneuma sophias), atau karunia Allah yang memampukan manusia untuk mengerti kehendak Allah tentang jati-diri Kristus. Sebab pikiran dan akal budi manusiawi tidaklah mungkin dapat menjangkau rahasia Kristus yang ilahi dan mulia serta yang ditentukan oleh Allah sebagai penguasa hidup umat manusia.
- Wahyu (apokalupsis), atau karunia Allah yang memampukan manusia untuk mengerti kebenaran ilahi. Manusia tidak mungkin mengerti kebenaran ilahi, tetapi kebenaran ilahi ditentukan oleh kesediaan Allah menyingkapan diriNya. Sehingga dengan penyingkapan diri Allah, manusia mengenal rahasia dan kemuliaan Allah. Jadi tanpa anugerah berupa wahyu Allah, manusia tidak mungkin dapat mengenal Kristus dan percaya kepadaNya.
- Mata hati yang terang, atau sikap hati manusia. Sebab makna “hati” dalam teologia Israel menentukan seluruh orientasi tujuan hidup manusia, dan keputusan etis. Namun jika hati belum memperoleh “pencerahan” dari Allah, maka “hati” dapat membawa manusia kepada sikap yang melawan kehendak Allah. Itu sebabnya muncul ungkapan “hati yang keras” atau mengeraskan hati seperti yang dilakukan oleh Firaun. Walaupun Firaun telah melihat begitu banyak mukjizat Allah namun dia tetap mengeraskan hati (Kel. 8:19), sehingga Allah kemudian menghukumnya.
Ketiganya (Roh hikmat, wahyu dan mata hati yang terang), saling melengkapi dan mempengaruhi kehidupan umat percaya. Jika umat percaya diberi karunia berupa roh hikmat dan wahyu dari Tuhan, maka pastilah mereka akan memiliki mata hati yang terang untuk merespon penyataan Allah. Sebaliknya jika mereka makin terbuka karena telah memiliki mata hati yang terang, maka pastilah mereka akan mudah memahami secara tepat roh hikmat dan wahyu dari Tuhan. Jadi roh hikmat, wahyu dan mata hati yang terang merupakan kekayaan rohani dan selalu bersifat dinamis, sehingga kita dimampukan bertumbuh dalam Kristus, sehingga kita lebih mempermuliakan Allah.
Namun faktanya, kita sering gagal mempermuliakan Allah di dalam Kristus, sebab kita sering dipenuhi oleh roh duniawi, kehendak manusiawi dan mata hati yang suram sehingga gagal memakai waktu pemberian Tuhan. Akibatnya kita mudah pesimis dengan hati yang suram jika kita menghadapi hal yang mengecewakan atau menyedihkan. Bahkan kemudian putus-asa dan tidak lagi memiliki pengharapan dari Tuhan. Itu sebabnya di Ef. 1:18 rasul Paulus berkata: “Dan supaya Ia menjadikan mata hatimu terang, agar kamu mengerti pengharapan apakah yang terkandung dalam panggilan-Nya: betapa kayanya kemuliaan bagian yang ditentukan-Nya bagi orang-orang kudus”. Dalam konteks ini secara sengaja rasul Paulus mengkaitkan “mata hatimu terang” dengan sikap pengharapan. Sebab tanpa karunia Tuhan berupa mata hati yang terang sebagai hasil dari roh hikmat dan wahyu, maka pastilah kita akan dikuasai oleh perasaan putus-asa atau tanpa pengharapan. Bandingkan pula pengertian “mata” sebagai cermin “hati” dan kepribadian kita, yaitu, “Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu” (Mat. 6:22-23).
Menatap ke langit
Pada saat para murid menyaksikan Tuhan Yesus yang terangkat ke sorga dan awan kemudian menutupiNya, mereka terus menatap ke langit. Mereka terpesona menyaksikan Kristus yang dimuliakan oleh Allah dengan mengangkat Dia ke sorga. Sikap para murid ini merupakan cermin bagi orang Kristen yang hanya terkagum-kagum oleh pengalaman yang menakjubkan dan melalaikan tugas di dunia ini. Mata mereka berbinar-binar saat melihat berbagai hal yang langka dan menakjubkan, tetapi mata hati mereka segera menjadi redup atau suram saat mereka harus berhadapan dengan realitas hidup yang keras dan pahit. Kis. 1:10-11 berkata: “Ketika mereka sedang menatap ke langit waktu Ia naik itu, tiba-tiba berdirilah dua orang yang berpakaian putih dekat mereka, dan berkata kepada mereka: "Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke sorga". Para malaikat menegur sikap para murid Tuhan Yesus agar mata mereka tidak terus-menerus tertuju untuk menatap langit, tetapi mereka diingatkan untuk kembali ke dunia nyata mereka dan melakukan tugas panggilan sambil mengisi waktu yang ada. Jadi makna “selagi masih ada waktu” bukanlah mengisi dengan cara melarikan diri ke realitas “sorgawi” atau “dunia rohani”; tetapi justru kita harus berani menghadapi realitas nyata dengan kuasa Roh Kudus. Itu sebabnya sebelum Kristus naik ke sorga, Tuhan Yesus berkata: “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi” (Kis. 1:8).
Panggilan
Jika para murid dan gereja perdana dipanggil untuk menjadi saksi Kristus dengan kuasa Roh Kudus, maka demikian pula kehidupan kita selaku umat percaya diminta mempergunakan waktu sebaik mungkin. Kita tidak bisa memuliakan Allah dengan cara memberi “kesaksian rohaniah” yang serba menakjubkan atau betapa intimnya kita dengan Kristus sehingga kita dapat berbicara dan berjumpa secara khusus dengan Dia. Jenis kesaksian yang demikian patut dikritisi, karena “ujung-ujungnya” bertujuan mempermuliakan diri sendiri dan mencari popularitas. Sebenarnya mereka mau mengatakan bahwa betapa penting dan istimewanya diri mereka sehingga mereka diperkenankan oleh Tuhan untuk melihat “sorga” dan dapat mendengar suara Tuhan secara langsung.
Tidaklah demikian sikap kita selaku jemaat yang dewasa dan bertanggungjawab. Sebab makna memuliakan Allah perlu kita wujudkan dalam pembaharuan hidup, yaitu dengan cara menghadirkan kemuliaan Kristus melalui kejujuran, kerajinan dalam bekerja, kesopanan dalam bertingkah laku, kepedulian dalam kasih kepada mereka yang menderita serta pengampunan kita kepada mereka yang bersalah. Manakala kita mempermuliakan Allah dan Kristus dengan pembaharuan hidup, maka pastilah kita telah mempermuliakan Dia dengan mata hati yang terang. Jika demikian, bagaimanakah dengan kehidupan saudara? Apakah kita lebih cenderung menatap “ke atas” (dunia “rohaniah”) dan tidak peduli dengan tanggungjawab yang nyata? Apakah kesaksian kita didasari oleh pembaharuan hidup? Jadi apakah kehidupan kita saat ini telah mencerminkan kemuliaan Kristus yang telah bangkit dan naik ke sorga? Itulah beragam pertanyaan bagi kita untuk selalu kita renungkan, ’selagi masih ada waktu’. Ingatlah, Kristus telah memberikan waktu, maka pakailah waktu yang ada sebaik-baiknya, sebelum Tuhan Yesus datang kedua kalinya untuk mengadili. Amin