Minggu, 17 September 2017

SELAGI MASIH ADA WAKTU

Kis. 1:1-11, Mzm. 93, Ef. 1:15-23, Luk. 24:44-53

Pengantar
Apa yang saudara pikirkan dengan tema diatas? Selagi masih ada waktu! Ya, tema ini setidaknya mau menyatakan: ada waktu yang bisa dimanfaatkan, adanya pembatasan waktu dan harus dipakai sebak-baiknya. Memang saudara, manakala kita ’masih ada waktu, atau masih diberi waktu’, kita harus memakai waktu itu dengan baik. Lantas, apa kaitannya dengan ibadah kenaikan Tuhan Yesus? Waktu yang mana, dan apa maknanya?

Membuka pikiran
Sebelum Tuhan Yesus pergi meninggalkan para muridNya, Kristus terlebih dahulu menyatakan diri bahwa Dia sungguh-sungguh hidup, “Lihatlah tanganKu dan kakiKu; Aku sendirilah ini; rabalah Aku dan lihatlah, karena hantu tidak ada daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat ada padaKu” (Luk. 24:39). Dari firman ini, mau dinyatakan bahwa iman para murid dan gereja perdana tidak didasarkan kepada mitos tentang kebangkitan Kristus. Sebab kepercayaan para murid dan gereja perdana didasari oleh pengalaman iman yang nyata. Namun perlu diingat bahwa yang menentukan mereka mengimani Kristus yang bangkit bukan terjadi karena kekuatan manusiawi. Hal ini nampak sebab sebelum Tuhan Yesus naik ke sorga, Dia terlebih dahulu memberi pengajaran kepada mereka: “Inilah perkataan-Ku, yang telah Kukatakan kepadamu ketika Aku masih bersama-sama dengan kamu, yakni bahwa harus digenapi semua yang ada tertulis tentang Aku dalam kitab Taurat Musa dan kitab nabi-nabi dan kitab Mazmur” (Luk. 24:44). Iman para murid dibentuk oleh pengajaran dari Kristus yang bangkit, sehingga mereka dimampukan untuk mengerti bahwa penderitaan, kematian dan kebangkitan serta kenaikan Kristus ke sorga ditempatkan dalam kerangka karya keselamatan Allah sebagaimana telah dinubuatkan oleh Musa, pemazmur dan para nabi. Seandainya peristiwa penderitaan, kematian dan kebangkitan serta kenaikan Kristus ke sorga tidak dinubuatkan terlebih dahulu oleh kitab-kitab Musa, kitab Mazmur dan kitab para nabi maka segala peristiwa tersebut sebenarnya tidak memiliki makna apapun sebab tidak menjadi bagian dari karya keselamatan Allah. Itu sebabnya di Luk. 24:45 menyaksikan, Tuhan Yesus membuka pikiran mereka, “Lalu Ia membuka pikiran mereka, sehingga mereka mengerti Kitab Suci”. Para murid dan gereja perdana percaya karena Kristus yang bangkit telah memberikan pengajaran dan Dia pula telah membuka pikiran serta pengertian mereka sehingga mereka dapat mengerti makna firman Tuhan yang telah dinubuatkan oleh Kitab Suci.
Selaku umat percaya, pada waktu ini kita membutuhkan karya Kristus yang “membuka dan menyingkapkan pikiran” sehingga kita mengerti makna firman Tuhan. Sebab jika pikiran dan pengertian kita tertutup oleh kebenaran kita sendiri, maka segala bentuk karya dan penyataan Allah yang paling spektakuler sekalipun tidak akan mampu membuat kita percaya dan mengalami pembaharuan hidup. Jadi tidak dijamin orang-orang yang telah mengalami peristiwa “mukjizat” atau “supernatural” senantiasa dapat lebih dekat dan mengasihi Kristus serta mengalami pembaharuan hidup. Demikian pula peristiwa penampakan Kristus yang bangkit atau kenaikanNya ke sorga tidak secara otomatis membuat orang-orang pada zaman itu menjadi lebih percaya dan hidup dalam pertobatan. Jika mereka memahami tubuh Kristus saat menjadi manusia dianggap kotor atau berdosa, maka pastilah mereka tidak akan menerima kebangkitan dan kenaikan Kristus dengan tubuh jasmaniahNya. Sehingga tidak mengherankan dalam perkembangan sejarah kekristenan kemudian berkembang golongan “Gnostik” yang intinya menolak kebangkitan dan kenaikan Kristus ke sorga dengan tubuhNya. Pemikiran Gnostik kemudian menjadi sekte Kristen yang menganggap dirinya paling benar. Mereka memiliki beragam alasan untuk pembenaran diri. Padahal jika kita tak mau menerima kebenaran dari Kristus, kita seperti orang-orang buta yang menganggap dirinya paling benar dengan apa yang kita yakini. Seperti 5 orang buta yang memegang seekor gajah dan memberikan tafsirannya masing-masing:
1.      Ada yang menganggap gajah sebagai hewan dengan bentuk kipas karena dia memegang telinganya.
2.      Ada yang menganggap gajah seperti ular besar karena dia memegang belalainya.
3.      Ada yang menganggap gajah seperti pohon karena dia memegang kakinya.
4.      Ada yang menganggap gajah seperti pedang yang melengkung karena dia memegang gadingnya.
5.      Ada yang menganggap gajah seperti kemucing (alat pembersih dari bulu) karena dia memegang ekornya.
Kemuliaan Kristus
Apabila Injil Lukas menyaksikan tindakan Tuhan Yesus yang “membuka pikiran mereka, sehingga mereka mengerti Kitab Suci” (Luk. 24:45), maka Paulus mendoakan jemaat Tuhan dengan gagasan yang serupa, yaitu, “supaya Ia memberikan kepadamu Roh hikmat dan wahyu untuk mengenal Dia dengan benar. Dan supaya Ia menjadikan mata hatimu terang, agar kamu mengerti pengharapan apakah yang terkandung dalam panggilan-Nya: betapa kayanya kemuliaan bagian yang ditentukan-Nya bagi orang-orang kudus” (Kis.1:17b-18). Doa  Paulus meminta agar setiap jemaat dikaruniakan 3 hal yang utama agar mereka mengenal kemuliaan Kristus yang telah bangkit dan naik ke sorga, yaitu:
  1. Roh hikmat (pneuma sophias), atau karunia Allah yang memampukan manusia untuk mengerti kehendak Allah tentang jati-diri Kristus. Sebab pikiran dan akal budi manusiawi tidaklah mungkin dapat menjangkau rahasia Kristus yang ilahi dan mulia serta yang ditentukan oleh Allah sebagai penguasa hidup umat manusia.
  2. Wahyu (apokalupsis), atau karunia Allah yang memampukan manusia untuk mengerti kebenaran ilahi. Manusia tidak mungkin mengerti kebenaran ilahi, tetapi kebenaran ilahi ditentukan oleh kesediaan Allah menyingkapan diriNya. Sehingga dengan penyingkapan diri Allah, manusia mengenal rahasia dan kemuliaan Allah. Jadi tanpa anugerah berupa wahyu Allah, manusia tidak mungkin dapat mengenal Kristus dan percaya kepadaNya.
  3. Mata hati yang terang, atau sikap hati manusia. Sebab makna “hati” dalam teologia  Israel menentukan seluruh orientasi tujuan hidup manusia, dan keputusan etis.  Namun jika hati belum memperoleh “pencerahan” dari Allah, maka “hati” dapat membawa manusia kepada sikap yang melawan kehendak Allah. Itu sebabnya muncul ungkapan “hati yang keras” atau mengeraskan hati seperti yang dilakukan oleh Firaun. Walaupun Firaun telah melihat begitu banyak mukjizat Allah namun dia tetap mengeraskan hati (Kel. 8:19), sehingga Allah kemudian menghukumnya.

Ketiganya (Roh hikmat, wahyu dan mata hati yang terang), saling melengkapi dan mempengaruhi kehidupan umat percaya. Jika umat percaya diberi karunia berupa roh hikmat dan wahyu dari Tuhan, maka pastilah mereka akan memiliki mata hati yang terang untuk merespon penyataan Allah. Sebaliknya jika mereka makin terbuka karena telah memiliki mata hati yang terang, maka pastilah mereka akan mudah memahami secara tepat roh hikmat dan wahyu dari Tuhan. Jadi roh hikmat, wahyu dan mata hati yang terang merupakan kekayaan rohani dan selalu bersifat dinamis, sehingga kita dimampukan bertumbuh dalam  Kristus, sehingga kita lebih mempermuliakan Allah.
Namun faktanya, kita sering gagal mempermuliakan Allah di dalam Kristus, sebab kita sering dipenuhi oleh roh duniawi, kehendak manusiawi dan mata hati yang suram sehingga gagal memakai waktu pemberian Tuhan. Akibatnya kita mudah pesimis dengan hati yang suram jika kita menghadapi hal yang mengecewakan atau menyedihkan. Bahkan kemudian putus-asa dan tidak lagi memiliki pengharapan dari Tuhan. Itu sebabnya di Ef. 1:18 rasul Paulus berkata: “Dan supaya Ia menjadikan mata hatimu terang, agar kamu mengerti pengharapan apakah yang terkandung dalam panggilan-Nya: betapa kayanya kemuliaan bagian yang ditentukan-Nya bagi orang-orang kudus”. Dalam konteks ini secara sengaja rasul Paulus mengkaitkan “mata hatimu terang” dengan sikap pengharapan. Sebab tanpa karunia Tuhan berupa mata hati yang terang sebagai hasil dari roh hikmat dan wahyu, maka pastilah kita akan dikuasai oleh perasaan putus-asa atau tanpa pengharapan. Bandingkan pula pengertian “mata” sebagai cermin “hati” dan kepribadian kita, yaitu, “Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu” (Mat. 6:22-23).

Menatap ke langit
Pada saat para murid menyaksikan Tuhan Yesus yang terangkat ke sorga dan awan kemudian menutupiNya, mereka terus menatap ke langit. Mereka terpesona menyaksikan Kristus yang dimuliakan oleh Allah dengan mengangkat Dia ke sorga. Sikap para murid ini merupakan cermin bagi orang Kristen yang hanya terkagum-kagum oleh pengalaman yang  menakjubkan dan melalaikan tugas di dunia ini. Mata mereka berbinar-binar saat melihat berbagai hal yang langka dan menakjubkan, tetapi mata hati mereka segera menjadi redup atau suram saat mereka harus berhadapan dengan realitas hidup yang keras dan pahit. Kis. 1:10-11 berkata: “Ketika mereka sedang menatap ke langit waktu Ia naik itu, tiba-tiba berdirilah dua orang yang berpakaian putih dekat mereka, dan berkata kepada mereka: "Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke sorga". Para malaikat menegur sikap para murid Tuhan Yesus agar mata mereka tidak terus-menerus tertuju untuk menatap langit, tetapi mereka diingatkan untuk kembali ke dunia nyata mereka dan melakukan tugas panggilan sambil mengisi waktu yang ada. Jadi makna “selagi masih ada waktu” bukanlah mengisi dengan cara melarikan diri ke realitas “sorgawi” atau “dunia rohani”; tetapi justru kita harus berani menghadapi realitas nyata dengan kuasa Roh Kudus. Itu sebabnya sebelum Kristus naik ke sorga, Tuhan Yesus berkata: “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi” (Kis. 1:8).


Panggilan
Jika para murid dan gereja perdana dipanggil untuk menjadi saksi Kristus dengan kuasa Roh Kudus, maka demikian pula kehidupan kita selaku umat percaya diminta mempergunakan waktu sebaik mungkin. Kita tidak bisa memuliakan Allah dengan cara memberi “kesaksian rohaniah” yang serba menakjubkan atau betapa intimnya kita dengan Kristus sehingga kita dapat berbicara dan berjumpa secara khusus dengan Dia. Jenis kesaksian yang demikian patut dikritisi, karena “ujung-ujungnya” bertujuan mempermuliakan diri sendiri dan mencari popularitas. Sebenarnya mereka mau mengatakan bahwa betapa penting dan istimewanya diri mereka sehingga mereka diperkenankan oleh Tuhan untuk melihat “sorga” dan dapat mendengar suara Tuhan secara langsung.
Tidaklah demikian sikap kita selaku jemaat yang dewasa dan bertanggungjawab. Sebab makna memuliakan Allah perlu kita wujudkan dalam pembaharuan hidup, yaitu dengan cara menghadirkan kemuliaan Kristus melalui kejujuran, kerajinan dalam bekerja, kesopanan dalam bertingkah laku, kepedulian dalam kasih kepada mereka yang menderita serta pengampunan kita kepada mereka yang bersalah. Manakala kita mempermuliakan Allah dan Kristus dengan pembaharuan hidup, maka pastilah kita telah mempermuliakan Dia dengan mata hati yang terang. Jika demikian, bagaimanakah dengan kehidupan saudara? Apakah kita lebih cenderung menatap “ke atas” (dunia “rohaniah”) dan tidak peduli dengan tanggungjawab yang nyata? Apakah kesaksian kita didasari oleh pembaharuan hidup? Jadi apakah kehidupan kita saat ini telah mencerminkan kemuliaan Kristus yang telah bangkit dan naik ke sorga? Itulah beragam pertanyaan bagi kita untuk selalu kita renungkan, ’selagi masih ada waktu’. Ingatlah, Kristus telah memberikan waktu, maka pakailah waktu yang ada sebaik-baiknya, sebelum Tuhan Yesus datang kedua kalinya untuk mengadili. Amin
Khotbah Minggu

HIDUP KITA TERLUKIS DI TELAPAK TANGAN TUHAN

Yesaya 49:8-16a , Mazmur 131, I Korintus 4:1-5, Matius 6:24-34

Pengantar
            Manusia adalah ciptaan Allah yang paling mulia. Menurut kesaksian Alkitab, manusia dibentuk oleh Allah dari debu tanah dan kemudian Allah menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya, sehingga manusia dapat menjadi mahluk yang hidup (Kej. 2:7). Dari ayat ini ada dua tindakan Allah, yaitu:
  1. Allah membentuk manusia dari debu tanah yang berarti menunjuk kepada tindakan Allah yang menggunakan tanganNya.
  2. Allah menghembuskan nafas hidup artinya Allah menghembuskan firmanNya.
Intinya, oleh karena manusia telah diciptakan oleh tangan dan firman Allah, maka manusia diberi kedudukan khusus untuk mencerminkan sifat Allah. Tujuannya adalah agar dengan ’pikiran dan tangannya’, manusia diberi karunia untuk menjadi berkat bagi setiap sesamanya. Setiap tangan manusia dapat terulur menyatakan berkat sebagai kepanjangan tangan Allah, dan pikirannya dapat menangkap atau memahami pikiran dan kehendak Allah.

Manusia melupakan
Manusia memang diharapkan memuliakan nama Allah. Namun ternyata umat manusia tidak senantiasa mau menggunakan tangan dan pikirannya untuk memuliakan nama Allah dan emnjadi berkat bagi sesama. Tangan dan pikirannya justru sering disalahgunakan sebagai alat untuk berbuat dosa, seperti tindakan mencuri, merampas, merusak, menghancurkan dan membunuh. Akibatnya Allah menghukum manusia yang telah menyimpang dari perjanjian kasih-karuniaNya. Bahkan dalam kitab Yesaya, Allah kemudian memakai tentara asing seperti raja Sanherib dan tentara dari kerajaan Asyur (705-681 sM), dan juga raja Nebukadnezar dan tentara Babel (604-562 sM) sebagai alat di tanganNya untuk menghukum umat Israel. Bahkan serangan raja Nebukadnezar pada waktu itu begitu fatal sebab umat Israel dapat dikalahkan secara telak. Bait Allah berhasil diruntuhkan dan akhirnya mereka hidup dalam pembuangan di Babel.
Namun tidak senantiasa tangan Tuhan dipakai untuk menghukum umatNya. Allah kemudian menggerakan raja Koresy dari kerajaan Medi-Persia sebagai alat di tanganNya untuk menaklukkan Babel pada tahun 539 sM. Raja Koresy dipakai oleh Tuhan untuk membebaskan umat Israel dari pembuangan di Babel dan membawa mereka kembali ke tanah Kanaan. Itu sebabnya di Yes. 44:28, Allah menyebut raja Koresy dengan ungkapan, “Akulah yang berkata tentang Koresy: dia gembalaKu, segala kehendakKu akan digenapinya dengan mengatakan tentang Yerusalem: Baiklah ia dibangun! Dan tentang Bait Suci: Baiklah diletakkan dasarnya!”. Allah telah memakai raja Koresy sebagai alat di tanganNya untuk membebaskan dan menyelamatkan umatNya. Sehingga kini umat Israel telah dipulihkan oleh Tuhan dan memiliki masa depan yang cerah. Apabila umat Israel pernah meratap, “Tuhan telah meninggalkan aku dan Tuhanku telah melupakan aku” (Yes. 49:14). Maka Tuhan memberikan jawaban: “Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau” (Yes. 49:15).
Ini berarti peristiwa pembebasan mereka dari cengkeraman dan pembuangan di Babel oleh raja Koresy tidak dihayati oleh umat Israel sekedar suatu peristiwa politis dan pergantian kekuasaan; tetapi dihayati sebagai peristiwa teologis dimana Allah tidak pernah melupakan mereka. Seperti seorang ibu yang tidak pernah melupakan anaknya, demikian pula Allah juga tidak akan pernah melupakan umatNya. Bahkan sekalipun ada seorang wanita yang melupakan dan mengabaikan anaknya, maka Allah sekali-kali tidak akan pernah melupakan mereka. Allah selalu mengingat umatNya walau mereka senantiasa menyakiti, melukai dan melawan kehendak Allah. Bahkan sangat menarik tindakan Allah yang selalu mau mengingat dan tidak melupakan umatNya digambarkan oleh Yes. 49:16a, dengan ungkapan, “Lihat, Aku telah melukiskan engkau di telapak tanganKu”.

Terlukis oleh Tuhan
Ungkapan Yes. 49:16a tersebut sepertinya mau menyatakan bagaimana sikap kepedulian dan perhatian Allah yang sedemikian dalam, intensif dan personal; sehingga wajah-wajah setiap umatNya selalu tergambar dengan jelas di telapak tanganNya. Setiap kali Allah melihat telapak tanganNya, maka Dia juga melihat setiap kehidupan dan pergumulan umatNya. Yang mana melalui tanganNya, Allah telah sejak semula pernah mencipta dan membentuk manusia dari debu tanah dan kemudian Dia menghembuskan nafas hidup ke dalam hidung manusia. Jadi tangan Allah dimaknai oleh umat Israel sebagai wujud dari kuasa Allah yang kreatif dalam menciptakan umat manusia. Tetapi juga tangan Allah dipakai sebagai suatu simbolisasi dari sikap dan tindakan Allah yang selalu mau mengingat setiap kehidupan umatNya. Bukankah salah satu dari organ tubuh yang paling mudah kita lihat setiap saat adalah tangan dan telapak tangan kita? Sehingga melalui tangan dan telapak tangan yang kita miliki, kita dapat melakukan berbagai kegiatan yang cepat, efektif dan kreatif. Tetapi lebih dari pada itu tangan dan telapak tangan juga dapat kita pakai untuk mengungkapkan perhatian, kasih dan pertolongan kepada orang-orang di sekitar kita. Kepada anak-anak, kita dapat menggunakan tangan untuk mengungkapkan kasih-sayang dengan cara membelai-membelai kepala mereka. Dan kepada orang-orang yang menderita, kita dapat memakai tangan untuk menolong dan memberdayakan mereka.
Itu sebabnya pula di Yes. 49:10b menyatakan tindakan Allah, dengan ungkapan: “Sebab Penyayang mereka akan memimpin mereka dan akan menuntun mereka ke dekat sumber-sumber air”. Secara implisit makna dari tindakan Allah yang menuntun umatNya di Yes. 49:10b jelas menunjuk kepada aktivitas “tangan Allah” yang terulur dari hatiNya yang selalu penyayang. Dalam hal ini Allah selalu peduli dengan permasalahan dan penderitaan kita sehari-hari seperti seseorang yang selalu dapat melihat tangan dan telapak tangannya. Itu sebabnya Allah selalu berbela-rasa dan bersedia untuk mengulurkan tanganNya sehingga kita dipelihara dan diselamatkan. Di Yes. 49:2a, terdapat ungkapan dari tokoh hamba Tuhan yang berkata: “Ia telah membuat mulutku sebagai pedang yang tajam dan membuat aku berlindung dalam naungan tanganNya”. Sang hamba Tuhan tersebut menjadikan tangan Tuhan sebagai tempat di mana dia berlindung. Demikian pula sikap Allah terhadap seluruh umatNya. Dengan tanganNya Allah telah mencipta, membentuk, menghukum dan mendisiplinkan manusia; tetapi juga dengan tanganNya Allah berkenan untuk memulihkan, menyayangi, melindungi dan selalu mau mengingat setiap pergumulan yang dialami oleh umatNya. Itulah sebabnya, Israel dituntut untuk selalu berharap pada Tuhan sebagaimana yang dikatakan oleh Mazmur 131:3, ”Berharaplah kepada TUHAN, hai Israel, dari sekarang sampai selama-lamanya!”

Penyerahan diri
Dengan memahami bahwa seluruh kehidupan kita telah tergambar atau terlukis di telapak tangan Tuhan, maka seharusnya kehidupan kita sebagai umat percaya dipenuhi oleh sikap penyerahan diri dan perasaan damai (syaloom). Karena Allah selalu mengingat dan mengetahui segala pergumulan kita, maka kita dimampukan untuk hidup tanpa perasaan kuatir atau cemas akan hari esok. Sayangnya pemahaman teologis tersebut tidak senantiasa meresapi seluruh kerohanian kita, sehingga kehidupan kita masih dipenuhi oleh berbagai perasaan kuatir. Selaku umat percaya kita mengakui hidup berada di telapak tangan Tuhan; tetapi pada sisi lain kita masih dipenuhi oleh perasaan kuatir terhadap sesuatu yang belum tentu terjadi. Perasaan kuatir dalam kehidupan sehari-hari seringkali memiliki daya dorong yang begitu besar sehingga melumpuhkan seluruh kemampuan rasional bahkan keyakinan iman yang kita miliki. Walaupun perasaan kuatir pada hakikatnya suatu perasaan cemas terhadap sesuatu yang tidak jelas, namun faktanya perasaan kuatir mampu mengguncang seluruh akal-budi dan rohani kita. Sehingga saat kita dikuasai oleh perasaan kuatir atau cemas, kita tidak mampu lagi berpikir jernih dan obyektif. Kita juga tidak mampu berpikir secara kritis dan realistis saat kita dilanda oleh perasaan kuatir. Lebih jauh lagi, saat kita hidup dalam kekuatiran maka kita tidak mampu mempraktekkan iman yang berserah diri kepada Tuhan. Akibatnya saat kita berada dalam perasaan kuatir, kita merasa tidak lagi hidup dalam naungan tangan Tuhan yang kuat. Kehadiran Tuhan terasa begitu jauh dan tanganNya kita rasakan seperti tak mampu untuk menjangkau dan menolong diri kita.
Pengalaman itulah yang pernah dirasakan oleh umat Israel saat mereka dikalahkan secara telak, kemudian ditawan dan dibuang dalam pembuangan di Babel: “Sion berkata: Tuhan telah meninggalkan aku dan Tuhanku telah melupakan aku” (Yes. 49:14). Namun juga pengalaman berupa kekuatiran atau kecemasan tersebut sering diderita oleh umat manusia sepanjang masa. Sehingga Tuhan Yesus berkata, “Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?” (Mat. 6:25).
Maslah kekuatiran yang sering dialami oleh manusia tidak didekati oleh Tuhan Yesus dengan metode “psikologis”; tetapi dengan pendekatan teologis yang menempatkan karya tangan Allah dalam kehidupan umat manusia. Itu sebabnya dalam pengajaranNya di atas bukit, Tuhan Yesus memotivasi dan menginspirasi kita untuk senantiasa menempatkan masalah perasaan kuatir yang dialami oleh kebanyakan orang, yaitu:
  1. Di Mat. 6:26, Tuhan Yesus menyatakan bahwa burung-burung di udara dapat hidup karena mereka diberi makan oleh Bapa di sorga.
  2. Mat. 6:28-29, Tuhan Yesus mengajarkan agar kita tidak hidup dalam kekuatiran karena seperti Allah menumbuhkan bunga bakung di ladang yang tumbuh tanpa bekerja dan tanpa memintal tetapi keindahan bunga bakung melebihi kemuliaan dan keindahan pakaian dari raja Salomo, maka pastilah Allah juga akan memelihara kehidupan kita.
  3. Mat. 6:30, Allah yang mendandani rumput di ladang yang hari ini ada dan besok dibuang dalam api, maka pastilah Allah akan lebih peduli dengan setiap pergumulan dan persoalan umatNya.

Sangat menarik, semua kata kerja seperti, “Allah memberi makan burung-burung di udara”, “Allah menumbuhkan bunga bakung di ladang” dan “Allah mendandani rumput” pada prinsipnya menunjuk kepada tangan Allah yang bekerja yaitu: tangan Allah yang mencipta, memelihara dan melindungi umat manusia dan seluruh ciptaanNya. Tekanan utama dari pengajaran Tuhan Yesus di sini adalah, “Bukankah martabat manusia jauh melebihi semua ciptaan Tuhan?” Beberapa kali Tuhan Yesus berkata: “Bukankah kamu jauh melebihi….?” (Mat. 6:26b, 30). Ini berarti sesungguhnya Allah senantiasa memberi perhatian atau kepedulian yang sangat khusus dan personal kepada setiap umatNya. Tangan Allah tiada henti-hentinya terus bekerja dan terulur untuk memelihara, menjaga, merawat dan melindungi setiap umat yang berseru kepadaNya. Jadi manakala tangan Tuhan terus bekerja, mengapa kita masih kuatir dan tanpa pengharapan? Apabila Allah Bapa di sorga berkenan campur tangan dalam setiap pergumulan kita, mengapa kita masih membiarkan diri dikuasai oleh perasaan cemas yang tiada berkeputusan?
Ternyata bagi Tuhan Yesus, masalah kekuatiran tidak dipandangNya hanya sekedar masalah psikologis; tetapi berkaitan erat dengan wujud iman. Seseorang yang terus kuatir dipandang oleh Tuhan Yesus sebagai “orang-orang yang kurang percaya” (Mat. 6:30). Atau Tuhan Yesus menyebut mereka sebagai, “bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah”. Di Mat. 6:32, Tuhan Yesus berkata, ”Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai? Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu”. Dengan perkataan lain, sikap hidup yang terus kuatir pada hakikatnya menunjukkan sikap yang kurang percaya dan tidak mengenal Allah walaupun kita mengaku sebagai orang-orang yang beragama atau beriman. Nilai spiritualitas kita sama sekali bukan ditentukan oleh sikap pengakuan iman secara liturgis dan doktrinal; tetapi sejauh mana kita mampu menempatkan seluruh kekuatiran, kecemasan dan ketakutan atau kegelisahan yang kita alami dalam penyerahan diri dalam genggaman tangan Tuhan. Apabila kita memposisikan diri selaku “hamba-hamba Allah yang berserah diri” maka kita juga akan memiliki sikap dan spiritualitas sebagaimana yang dilakukan oleh sang “hamba Tuhan” di Yes. 49:2a, yang mana dia berkata, “Ia telah membuat mulutku sebagai pedang yang tajam dan membuat aku berlindung dalam naungan tanganNya”. Dalam hal ini kita akan menempatkan diri kita di dalam naungan tangan Tuhan sebagai tempat perlindungan yang aman.

Penggilan
Makna berlindung dalam naungan tangan Tuhan tidak pernah dipahami sebagai sikap yang pasif. Sebab di Yes. 49:6b, sang hamba Tuhan tersebut dipanggil untuk “menjadi terang bagi bangsa-bangsa”. Lalu di Yes. 49:8b, umat Israel yang berlindung dalam tangan Tuhan dipanggil “untuk membangun bumi kembali dan membagi-bagikan tanah pusaka yang sunyi sepi”. Demikian pula dalam pengajaran Tuhan Yesus di Mat. 6:33. kita dipanggil agar tidak hidup dalam kekuatiran, tetapi lebih mengutamakan mencari dahulu Kerajaan Allah. Tuhan Yesus berkata, “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu”. Bukankah kita dapat menjadi terang bagi bangsa-bangsa dan membangun bumi merupakan wujud dari tindakan “mencari Kerajaan Allah dan kebenaranNya?”
Mewujudkan kehadiran Kerajaan Allah dan kebenaranNya berarti pula kita menghadirkan kehidupan bersama yang penuh dengan damai-sejahtera, keselamatan dan keadilan serta keutuhan ciptaan. Inilah kebutuhan hidup manusia yang paling mendasar dan tujuan hidup yang penuh makna. Sebab manakala kita gagal untuk mewujudkan realitas damai-sejahtera, keselamatan, keadilan dan keutuhan ciptaan; maka kita akan senantiasa hidup dalam kekuatiran, kecemasan dan ketakutan. Lebih jauh lagi manakala perasaan kuatir, cemas dan ketakutan yang tidak menemukan solusi atau jalan keluar maka akan berubah menjadi sesuatu yang destruktif; yaitu “sikap destruktif yang internal” (kepada diri sendiri), dan “sikap destruktif yang eksternal” (kepada orang-orang di sekitar kita). Sebaliknya sikap yang mau berlindung dalam naungan tangan Tuhan dan percaya bahwa Tuhan sangat peduli dengan segala pergumulan kita akan memotivasi, mendorong dan memberdayakan diri kita untuk menjadi kepanjangan tangan Tuhan.
Di dalam iman kepada Kristus, kita dimampukan untuk menyalurkan berkat, menyampaikan penghiburan dan memberdayakan sesama yang lemah serta membebaskan mereka yang tertindas. Sehingga 1 Korintus 42 meminta agar kita tetap menajdi pelayan yang setia terhadap Kristus. Jika demikian, apakah kehidupan saudara telah bersandar penuh dalam genggaman tangan Tuhan? Apabila kita telah bersandar di dalam naungan tangan Tuhan, maka seharusnya kehidupan kita tidak lagi didominasi oleh perasaan kuatir akan hari esok sebab seluruh pergumulan, kesusahan dan penderitaan kita telah terlukis jelas di dalam telapak tanganNya. Kalau hidup kita telah terlukis di telapak tangan Tuhan, bukankah sangat relevan sabda dari Tuhan Yesus kepada kita, yaitu, “Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari" (Mat. 6:34). Amin.
Khotbah Minggu

MEMIKUL KUK KRISTUS

Zakharia 9:9-12, Mazmur 145:8-14, Roma 7:15-25a, Matius 11:16-19, 25-30

Pengantar
            Setiap manusia memiliki beban hidup yang tidak terhindarkan, yaitu beban dosa. Sebab setiap manusia berdosa, siapapun mereka. Namun setiap manusia berbeda dalam cara menghadapi dan menanggung dosa. Memang beban dosa membuat manusia memiliki keragaman penderitaan, namun sekaligus beragam pula cara manusia menghadapinya.
  1. Ada manusia yang tidak mau hidup merendahkan dihadapan Allah. Ia menolak undangan damai yang disapaikan oleh Allah melalui Tuhan Yesus. Ia hidup dalam kubangan dan belenggu dosa. Sekalipun mengaku sebagai orang Kristen, seseorang masih bisa meninggikan dirinya, dan hidup tidak menurut hukum kasih. Ia hidup dengan cara lama dan terus dibelenggu oleh dosa.
  2. Namun ada juga manusia yang mau merendahkan diri dan menerima undangan penebusan dan peulihan Allah yang penuh kasih melalui karya Tuhan Yesus. Menerima undangan kasih Tuhan berarti bersedia menerima kuk tanggung jawab kepercayaan yang Tuhan anugerahkan kepada kita, yaitu melalukan pekerjaan-pekerjaan  Allah di dunia ini.

Dibebaskan oleh Allah
Hal ini nampak dalam kehidupan bangsa Israel. Setelah Babel kalah dari Persia (tahun 538 sM), daerah Palestina masuk ke dalam wilayah kekuasaan Persia. Oleh karena Koresy raja Persia ingin memperkuat wilayah kekuasaannya, ia memperbolehkan orang-orang Israel yang dibuang ke Babel boleh pulang ke Palestina untuk membangun kembali daerah Palestina yang telah hancur, teruma Bait Allah. Perintah raja Koresy ini jelas disambut dengan respon positif. Sebab identitas mereka sebagai umat Allah, yang semula sempat hilang, kini dibangkitkan dan dipulihkan kembali. Dengan semangat menyala-nyala mereka mulai mendirikan kembali mezbah Allah Israel untuk mempersembahkan korban bakaran, dan memulai pembangunan dasar Bait Allah. Namun, sukacita penuh haru dan semanagt pembangunan menyala-nyala ini segera kendor kembali ketika terjadi konflik dengan penduduk Samaria.
Konflik terjadi ketika kaum Yahudi menolak bantuan penduduk Samaria yang mau turut  membangun Bait Allah, karena aasan pengalaman pahit di masa lalu. Belum lagi, penduduk Samaria kini telah berkawincampur dengan orang-orang kafir, sehingga mereka dianggap tidak layak untuk turut membangun Bait Allah yang kudus. Penolakan yang menyakitkan hati ini segera membangkitkan respon penolakan yang sama kerasnya dari pihak samaria. Serangkaian penghambatan, hasutan dan sabotase dilakukan penduduk Samaria agar pembangunan Bait Allah gagal. Bahkan orang Yahudi pun dituduh berniat memberontak melawan Persia, ketika mereka mulai membangun dasar-dasar tembok Yerusalem. Akibatnya, semangat membangun yang menggebu-gebu runtuh seketika, dan proses pembangunan terhenti.
Konflik berkepanjangan sulit dicairkan antara penduduk Yahudi dengan orang Samaria. Tragedi kekerasan pun terjadi berulang kali sehingga menguras semangat dan membebani hidup orang Yahudi. Nabi Zakahria dalam bacaan 1, mewartakan berita rekonsiliasi, perdamaian dan pengharapan untuk membangkitkan semangat hidup yang patah di kalangan orang Yahudi, khususnya dalam rangka penyelesaian Bait Allah.
Dalam ayat 9-10, menyatakan bahwa semangat hidup dan sukacita muncul ketika Allah menghadirkan seorang raja baru di tengah-tengah Israel. Raja baru itu bukanlah seorang pahlawan perang yang seram, sarat dengan pengalaman tempur yang panjang dan mengendarai seekor kuda perang jantan yang kekar. Ia tidak diiringi dengan tentara perang yang membuat mata penonton takjub karena takut. Namun ia sosok raja yang lemah lembut, sederhana dan rendah hati, yang datang membawa penebusan, ”bersorak-soraklah dengan nyaring, hai puteri Sion, bersorak-sorailah, hai puteri Yerusalem! Lihat, rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya. Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda.” (Zak.9:9). Raja itu bukan ripe raja yang akan mengakhiri peperangan dan perseteruan dengan jalan mengirim kekuatan perang yang lebih besar, dengan menindas, atau dengan pemerintahan tangan besi. Kepemimpinan yang mengandalkan busur, kereta perang fan kuda diganti dengan kepemimpinan seekor keledai beban muda yang menanggung kesalahan dan pengalaman buruk masa lalu. Di sinilah, berita Zakharia mengedepankan bahwa kepemimpinan Tuhan kehendaki adalah tipe kepemimpinan yang datang untuk mengakhiri perseteruan dengan jalan kerendahan hati, kelemahlembutan dan pengampunan. Berita pengampunan dan rekonsiliasi ini bukan hanya ntuk orang Yahudi saja melainkan untuk semua orang.
Seruan zakharia ini bersifat langsung untuk mengingatkan siapapun, bahwa sekalipun umat pernah bersalah, kini mereka sudah ditebus. Mengapa bisa? Karena Allah setia pada janjiNya. Sekalipun umat pernah berkhianat terhadap janji setia Allah, bahkan hingga kini pun mereka masih belum paham benar akan makna pengampunan Allah dengan cara telah mengampuni saudaranya sendiri, yaitu Samaria. Allah mengulang janjiNya dengan serius, yaitu janji darah yang dicurahkan oleh Allah. Dikatakan oleh ayat 11, ”Mengenai engkau, oleh karena darah perjanjian-Ku dengan engkau, Aku akan melepaskan orang-orang tahananmu dari lobang yang tidak berair”. Janji ini aneh, sebab biasanya orang yang bersalah yang mencurahkan darah binatang korban guna menunjukkan ganti dan komitmen untuk tidak mengulangi kejahatannya. Tetapi dalam bacaan ini justru Allah-lah yang menumpahkan darah perjanjian setia, yang seharusnya dilakukan oleh umat, mengapa? Allah memandang umat tidak mampu menebus kesalahannya sendiri. Perjanjian damai Allah yang bermotif kasih ini adalah pembebasan umat dari belenggu dosa, yang telah membuat umat tidak tahu arah yang benar. Semua ini terjadi oleh kasih Allah.
Hal yang sama dikatakan oleh Mazmur 145. dimana Allah bersifat Maha Pengasih dan Penyayang, Ia juga panjang sabar terhadap semua orang (ayat 9). Sehingga ketika umat berdosa tidak bisa berbuat apa-apa selain emngucapkan syukur dan memuji kelimpahan anugerahNya. Tidak jemunya umat bersyukur akan kebaikan Tuhan. Rasa syukur akan kebaikan Tuhan tentu akan mengubah kehidupan umat di jalan Tuhan. Sehingga umat kini hidup dalam rasa syukur pada Tuhan.

Kasih tak berkesudahan
Kasih karunia Tuhan memang dirasakan oleh manusia yang percaya kepadaNya. Hal yang sama mau dikatakan oleh Matius 11. Dalam ayat 16-19 ada perumpamaan tentang Allah yang mengirim para utusanNya (para nabi, Yohanes, Tuhan Yesus) mengajak manusia agar ’mengijinkan’ Allah ikut campur dalam pertandingan melawan dosa. Namun, tawaran dari Allah ini ditolak oleh manusia yang menggantungkan dirinya pada kekuatannya sendiri, yaitu dengan jalan melakukan hukum Taurat menurut pemahamnnya sendiri. Akibatnya kehadiran Tuhan Yesus diacuhkan, seperti perumpamaan anak-anak yang meniup seruling dan bernyanyi, tapi tidak ditanggapi. Manusia tidak mau bersatu hati untuk bersuka, ataupun berduka bersama Yesus. Hati manusia terlalu degil, tak ada kerendahan hati dan kasih, yang sebenarnya adalah intisari dari hukum Taurat.
Bahkan dalam Roma 7, rasul Paulus menyatakan manusia selalu terjebak dalam paradok, atau dalam hal-hal yang bertentangan, misalkan:
1.      Pengetahuan melawan Kemauan
Dalam ayat 15, sekalipun manusia tahu ’apa yang baik-benar’, namun manusia cenderung melakukan kejahatan dan salah. Sekalipun manusia ’tahu’, ia ’tidak mau’. Demikian juga sebaliknya, manusia ’mau’ melakukan yang baik tapi ia ’tidak tahu’ bagaimana caranya.
2.      Kesadaran melawan Ketidaksadaran
Dalam ayat 16-17, manusia juga sering hidup dalam ketidaksadaran. Akibatnya, ketika manusia mau melakukan apa yang baik, tetapi kenyataan manusia tidak mampu melakukannya, karena hal itu di luar kesadarannya.
3.      Ketaatan pada Kehendak Allah melawan Keterbelengguan pada dosa
Sekalipun ego menginginkan hal yang baik, namun karena terjebak dalam daging (yunani: sarx), terjadilah pertarungan yang tiada henti dalam manusia. Dalam hal ini kehendak baik bergumul melawan kedagingan yang menyeret manusia dalam dosa,

Namun bagi Allah perjuangan masih belum berakhir. Allah tetap setia dan mengutus anakNya (ayat 25) agar turut campur tangan dalam hidup manusia. Namun hal ini tidak mudah, sebab apa pun yang Allah rencanakan dan lakukan, tidak diindahkan dan dianggap layak oleh manusia. Dalam perumpamaan ini Tuhan Yesus mengungkapkan sebuah ironi yang amat menusuk hati. Bukankah sudah sepantasnya jika allah berhak menentukan baik-tidaknya segala sesuatu? Tetapi, dengan pongah manusia menilai tindakan Allah serba salah, baik dalam mengutus Yohanes maupun Tuhan Yesus.
Penerimaan terhadap Yohanes dan Tuhan Yesus justru dilakukan oleh mereka yang selama ini dipinggirkan oleh manusia, yaitu: pemungut cukai, orang kerasukan setan dan orang berdosa. Dalam Injil, tak satupun dari mereka yang tersingkir ini pernah diberitakan menolak karya keselamatan Bapa dalam diri Yohanes dan Tuhan Yesus. Kalimat penutup dari Tuhan Yesus, ”Tetapi hikmat Allah dibenarkan oleh perbuatannya” (ayat 19b). Ingin mengungkapkan bahwa pada akhirnya kebenaran Sang Hikmat (atau Tuhan Yesus) tetap akan terjadi, tetap berlaku, entah manusia mau menerima atau tidak.
Amat menarik dalam ayat 25, kata ’nepios’ (anak bayi, kekanak-kanakan, anak kecil, tersingkir, tak terpelajar) sengaja dikontraskan dengan kata ’sophos’ (bijak, berpengalaman, terpelajar) dan ’sunetos’ (pandai, cerdas). Istilah yang dipakai oleh injil Matius untuk emnyebut orang-orang sederhana sebagai seorang balita adalah simbol ungkapan penyerahan dan cinta. Yesus dengan sengaja mempertentangkan orang sederhana yang membutuhkan bimbingan dan tuntunan (yaitu orang berdosa) dengan orang bijak dan berpengetahuan yang tidak membutuhkan bimbingan, yang bahkan akan marah jika merasa digurui (seperti: orang Saduki, Farisi, ahli Taurat). Justru orang Saduki-Farisi-ahli Taurat, menganggap dirinya sebagai sophos, malah tidak memiliki pengetahuan tentang Sophia, yaitu Hikmat Tuhan Yesus. Tetapi sebaliknya para nephios (seperti: orang berdosa, kerasukan setan, pemungut cukai) akses kepada Allah Bapa dapat berjalan dengan lancar.
Salah satu jalan untuk mengakses cinta Sang Bapa adalah dengan menerima cinta Sang Anak. Sehingga Sang Anak berkenan untuk memperkenalkan kepada Sang Bapa. Bukan hanya itu, bagi mereka yang rindu untuk mengenal Sang Bapa, Sang Anak sendirilah yang akan mengajarkan hal itu kepadanya. Itulah sebanya, dalam ayat 28, Tuhan Yesus menyatakan, ”Marilah (datang) kepadaKu.....” –tanpa takut dan ragu- ”belajarlah kepada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati, sehingga jiwamu akan mendapat ketenangan.” (ayat 29). Sikap diharapkan adalah menjadi seperti seorang anak yang mau belajar dan diajar. Dengan bersikap seperti itu, kita siap menerima kekayaan yang sesungguhnya, yaitu pengenalan akan Tuhan.

Penggilan
Kesiapan untuk belajar, seperti seorang anak, kepada Tuhan dinampakkan dari kesediaan kita untuk:
1.      Mau mengakui: ketidak berdayaan (atau letih lesu) kita, dan beratnya beban dosa yang sedang kita pikul. Menjadi seperti anak berarti menjauhkan diri dari sikap sok kuat dan sok menganggap ringan beban dosa yang sedang dipikul.
2.      Menundukkan diri di hadapan Tuhan Yesus (yang lemah lembut dan rendah hati) yang menyerahkan beban berat (dosa) kita, dan mempercayakan diri kepada Yesus untuk mendapat kelegaan. Kata ’kelegaan’ (yunani: anapausoo) lebih tepat diterjemahkan ’rest-ing’ atau istirahat, waktu pemulihan, waktu penyembuhan dan kesegaran dalam hidup yang baru.

Menyerahkan beban berat dosa kepada Tuhan Yesus tidak berarti hidup bebas dari hukum Taurat. Yesus sendiri tidak meniadakan hukum Taurat, tetapi menggenapinya dengan kasih. Beban dosa malah akan bertambah berat dan tidak beroleh kelegaan atau istirahat jika kita hidup mengabaikan hukum Taurat. Mengabaikan hukum Allah justru akan membuat hidup dipenuhi dengan perbudakan nafsu, hilangnya damai sejahtera, kejahatan, raa bersalah dan teror.
Hidup mengikut Yesus tidak berarti lepas dari beban sama sekali, namun memikul kuk pembelajaran untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan Bapa yang berlandaskan kasih dan anugerah. Kuk hukum kasih yang Tuhan Yesus taruh dipundak kita justru akan meningkatkan kerohanian yang meringankan beban hidup kita. Itulah sebabnya, setiap orang Kristen harus mau ’memikul kuk Kristus’, harus mau ’meneladani Kristus’. Amin
Khotbah Minggu

MELAKUKAN FIRMAN DENGAN KUASA ROH

Yesaya 55:10-13, Mazmur 65:(1-8),9-13; Roma 8:1-11, Matius 13:1-9, 18-23

Pengantar
            Ada sebuah pertanyaan, ’Apa yang saudara pikirkan saat mendengar karya roh?’. Bagi kebanyakan orang, karya roh dipahami sebagai suatu aktivitas yang berhubungan dengan: dunia roh, berkaitan dengan ’prewangan’ (orang yang menjadi perantara roh), orang yang dirasuk oleh roh setan, atau roh leluhur. Sehingga peran seorang dukun, pemburu hantu, paranormal atau prewangan mendapat peran yang sangat kuat. Sebab hanya mereka lah yang diyakini mampu membebaskan manusia dari ikatan roh.
            Padahal kenyataannya tidak demikian, kenyakinan masyarakat yang memahami ’karya roh’ sebatas ’dunia roh, roh setan, roh leluhur atau prewangan’, justru akan semakin memperkuat posisi dan peran paranormal, sehingga masyarakat dikondisikan untuk terus bergantung kepada mereka. Bahkan masyarakat juga dibodohi oleh dunia klenik dan penuh tahkhayul, sehingga mereka tak mampu berpikir jernih, kritis dan rasional. Mereka sering tidak sadar bahwa keyakinan tersebut sangat bertentangan dengan prinsip iman kepada Tuhan. Sehingga, apabila iman Kristen berbicara tentang karya roh, itu sama sekali tidak mempunyai kaitan dengan misteri ’dunia roh’ sebagaimana yang dipahami oleh kebanyakan orang. Sebab, karya roh yang dimaksudkan oleh rasul Paulus di Roma 8 lebih menunjuk kepada karya Kristus yang telah bangkit dan hadir secara Roh dalam kehidupan jemaatNya.

Karya Roh Kristus
Lebih lanjut dalam Roma 8 dikatakan, karya Roh yang dinyatakan dalam Tuhan Yesus merupakan karya yang menjamin umat percaya untuk mengalami kebebasan dari penghukuman Allah. Di dalam Roma 8:1 rasul Paulus berkata, ”Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus”. Kata ”penghukuman” berasal dari kata Yunani ”katakrima”, yang berarti ’suatu hukuman yang diterima sebagai penghukuman’. Sebab pada jaman dulu, seseorang yang dianggap bersalah karena telah melakukan suatu kesalahan yang sangat berat, akan dikenai suatu sanksi seperti hukuman perbudakan. Konsep ini kemudian dipakai oleh rasul Paulus untuk menjelaskan kondisi manusia yang telah jatuh ke dalam dosa, yang mengakibatkan manusia berada di bawah hukuman perbudakan dosa. Karena itu, manusia pada dasarnya berada dalam situasi ’katakrima’ (hukuman akibat dosa). Dengan kondisi berada dalam status perbudakan dosa, manusia tidak mungkin mampu membebaskan dirinya sendiri. Sebagaimana para budak pada jaman dulu tidak mungkin mampu membebaskan diri dengan upayanya sendiri, sebab ia membutuhkan ada orang lain yang bersedia dan mampu untuk menebusnya. Demikian pula dengan manusia yang berdosa, tidak akan mungkin mampu membebaskan dirinya dengan menaati hukum Taurat.
Umat manusia membutuhkan Penebus, yang mampu membebaskan dirinya dari belenggu perbudakan dosa. Penebus itu tidak lain adalah Yesus Kristus. Di Roma 8:3 rasul Paulus berkata, ”Sebab apa yang tidak mungkin dilakukan hukum Taurat karena tak berdaya oleh daging, telah dilakukan oleh Allah. Dengan jalan mengutus AnakNya sendiri dalam daging, yang serupa dengan daging yang dikuasai dosa karena dosa, Ia telah menjatuhkan hukuman atas dosa di dalam daging” Dalam hal ini Allah telah mengaruniakan Kristus untuk menjadi manusia yang berada di bawah kuasa penghukuman dosa. Jadi sangatlah jelas, bahwa karya Roh di sini menunjuk kepada karya Tuhan Yesus yang telah ditentukan oleh Allah untuk membebaskan manusia dari kuasa perhambaan dosa. Selama manusia berada di bawah perhambaan dosa, kehidupan manusia tetap jauh dari kebebasan yang sesungguhnya, sebab mereka masih dalam status penghukuman Allah. Dengan kata lain, walaupun manusia mampu beragama secara saleh, yaitu dengan mempraktekkan hukum-hukum agama, sesungguhnya mereka tetap berada dalam status perbudakan dosa. Itulah sebabnya pemazmur di dalam Mzm 65:4 menyatakan, ”Bilamana pelanggaran-pelanggaran kami melebihi kekuatan kami, Engkaulah yang menghapuskannya”. Pemazmur menyadari bahwa umat tidak mampu menghapus dosa-dosanya dengan ibadah, persembahan, doa dan nazar. Umat diampuni dosanya karena kemurahan dan anugerah Allah saja. Dengan demikian, dasar pujian dalam Mazmur 65 adalah kesadaran umat akan kelemahan dan kegagalannya serta besarnya kasih-karunia Allah yang mengasihi mereka tanpa syarat. Pemazmur mengungkapkan perasaan heran dan keterpesonaannya akan kebaikan Allah, sebab Allah bukan hanya mengampuni dosa umat, tetapi juga mengaruniakan berkat kepada tanah di mana umat mendiaminya.
Memang karya Roh, yang telah dilakukan oleh Tuhan Yesus ingin mengubah manusia. Yang diubah tidak hanya pola pikir melainkan juga pola hidup secara menyeluruh. Jikalau dalam Roma 8:5 dikatakan, ”Sebab mereka yang hidup menurut daging, memikirkan hal-hal yang dari daging: mereka yang hidup menurut Roh, memikirkan hal-hal yang dari Roh”, maka kata ’memikirkan’ di sini juga diartikan ’pola pikir yang diikuti dengan pola tindakan’. Itulah sebanya selama manusia masih berada dibawah kuasa dosa maka seluruh hidupnya dikuasai oleh dosa.
Itulah sebabnya, beriman pada Yesus haruslah dipahami sebagai penyerahan diri sepenuhnya untuk dikuasai oleh Yesus. Di dalam Yesus manusia akan mendapatkan anugerah pengampunan, sehingga memampukan manusia berpindah dari ’keinginan daging’ untuk hidup menurut keinginan roh Allah. Jadi kuasa Kristuslah yang membebaskan manusia dari belenggu daging. Sebab keinginan daging adalah maut, tetapi keinginan Roh adalah hidup dan damai-sejahtera (Roma 8:6). Dengan demikian, ciri kehidupan kita seharusnya ditandai oleh kehidupan menurut Roh, yaitu pulihnya nilai kehidupan dan terwujudnya damai sejahtera. Ini berbeda dengan kehidupan daging yang bertujuan pada kerusakan kehidupan dan hancurnya damai sejahtera.

Hakekat Tuhan Yesus
Memang di dalam Kristus ada damai sejahtera. Sebab Yesuslah Firman Allah yang hidup, kekal dan penuh kuasa. Hal ini sebenarnya sudah nubuatkan dalam Yesaya 55. Dikatakan oleh Yesaya 55, bahwa Firman (Ibrani: dabar) keluar dari mulut Allah. Firman di sini mau menyatakan ’adanya satu kesatuan dengan Allah’. Sebab firman mencerminkan pikiran, kehendak dan hikmat Allah. Jika tindakan Allah menyatakan firmanNya berarti menyatakan maksud, kehendak, rencana dan kebijaksanaan-Nya. Namun pada sisi lain, firman memiliki keberadaanNya secara unik. Dia memiliki hidupNya secara pribadi ilahi. Itulah sebabnya, Yes. 55;11 menyatakan, ”demikianlah firman-Ku yang keluar dari mulutKu: ia tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia, tetapi ia akan melaksanakan apa yang Kuhendaki, dan akan berhasil dalam apa yang Kusuruhkan kepadanya”. Kata ”Firman” di sini dipandang sebagai pribadi ilahi yang melaksanakan apa yang dikehendaki Allah, dan akan berhasil mewujudkannya. Sebab, Allah mengutus sang Firman sebagai utusanNya. Dengan demikian, kedudukan sang Firman pada satu pihak bersifat esa dengan Allah, dan di pihak lain berperan sebagai utusan Allah, untuk mewujudkan kehendak dan rencana Allah.
Hakekat sang Firman Allah itu berkuasa, sehingga Dia tidak pernah kembali dengan sia-sia. Ia selalu berhasil melaksanakan kehendak Allah. Dengan demikian, pengertian ”Firman TUHAN” (Ibrani: dabar Yahweh) bukanlah sekedar kumpulan hukum, perintah atau ketetapan Allah. Sang Firman Allah adalah Sang Hikmat yang menjadi sumber kebijaksanaan, pengetahuan, pengertian, hukum dan ketetapan alam semesta. Dengan kuasa-Nya, sang Firman menopang seluruh kehidupan dan alam semesta ini. Tanpa anugerah-Nya, seluruh kehidupan dan semesta ini akan hancur dan binasa. Sang Firman inilah yang kemudian menjelma dalam diri Yesus Kristus. Walaupun hakekatnya tidak terbatas, namun sang Firman ini berkenan menjadi manusia terbatas, sehingga kemuliaan Allah tersembunyi dalam kemanusiaan Yesus.
Namun demikian karya penebusan Kristus adalah sempurna. Namun efektivitas karya penebusan Kristus ditentukan juga oleh respon manusia. Apakah manusia menerima karya penebusan Kristus, atau tidak? Hal ini nampak sekali di dalam bacaan Matius 13:1-9 tentang perumpamaan ’penabur yang menaburkan benih’. Ternyata benih yang ditaburkan oleh penabur jatuh ke berbagai tempat. Ada benih yang jatuh di pinggir jalan, sehingga dimakan habis oleh burung. Ada benih yang jatuh di tanah yang berbatu-batu, sehingga setelah tumbuh segera layu karena dia tidak berakar. Sebagian lagi benih jatuh di tengah semak duri. Ketika benih itu tumbuh, segera dihimpit oleh duri-duri yang umumnya tumbuh lebih cepat daripada benih. Lalu, ada sebagian lagi benih jatuh di tanah yang baik lalu mampu berbuah lebat.
Perumpamaan ini berbicara tentang kualitas hati manusia saat memperoleh benih Kerajaan Allah dalam hidupnya. Dengan kata lain, perumpamaan Yesus ini dapat diberi judul, ’Perumpamaan tentang benih firman dan 4 jenis tanah’. Lalu, bagaimanakah jenis tanah ’hati’ yang kita miliki? Di antara umat manusia tentu ada yang memiliki hati:
1.      seperti tanah di pinggir jalan, yaitu mereka yang gemar mengabaikan dan memandang remeh firman kebenaran.
2.      seperti jatuh di tanah yang berbatu, yaitu mereka yang keras kepala. Sehingga firman itu tumbuh sebentar lalu mati karena hatinya yang telah membatu.
3.      seperti semak duri, yaitu mereka yang hidupnya dipenuhi dengan kepahitan, sehingga segala firman diterima senantiasa dihimpit oleh kepahitan dan kesusahan hidup mereka.
4.      seperti tanah subur, yaitu mereka yang mau membuka dan terbuka untuk dipenuhi firman Tuhan, sehingga menghasilkan buah yang bermanfaat.


Ingatlah, benih yang diitaburkan dalam perumpamaan tadi memiliki kualitas yang sama. Kualitas semua benih itu sama. Demikianlah karya Roh dalam Kristus adalah karya Roh yang sama, tidak pernah berubah dan tetap mulia. Tetapi ketika hadir dalam kehidupan manusia, efektivitas karya Roh tersebut ternyata berbeda-beda. Sebagian orang menyambut karya Roh dengan pertobatan dan pembaharuan hidup menurut Roh. Namun, sebagian lagi menyambut kehadiran Roh dengan pembenaran diri, sikap menolak dan kebencian. Itulah sebabnya, ada umat yang hidup dengan cara daging dan cara Roh. Pembaharuan hidup ini terjadi ketika kita mau mengubah kualitas hati kita, yaitu apakah hati kita, yang semula seperti di tanah dipinggir jalan, atau seperti tanah berbatu dan penuh duri, bersedia diubah oleh Roh untuk menjadi tanah yang baik, atau subur?

Penggilan
Manakala kita mau membuka diri untuk diubah kuasa Roh dalam Kristus, maka Dia akan sanggup memperbaharui hati umat-Nya untuk menjadi hati yang siap melaksanakan kehendak Allah. Pada saat kita mau membuka diri terhadap karya kehadiran Kristus dalam Roh-nya, kita akan dimampukan untuk mengalami pencerahan iman, pikiran dan kehendak yang membebaskan dan memperbaharui hidup yang mengarah pada keinginan Roh.
Sehingga ketaatan kita kepada Tuhan dan aturan agama bukan lagi karena perasaan takut karena hukuman Tuhan, atau karena dorongan kesalehan. Namun kita melakukan firman Tuhan karena dorongan Roh yang melampaui kehendak dan keinginan manusiawi kita. Karena itu, yang menjadi fokus dan tujuan hidup kita adalah pemberlakukan hukum Kerajaan Allah yang membebaskan, memperbaharui dan menghadirkan damai-sejahtera. Ingarlah, karya Roh senantiasa ditandai oleh pembaharuan hidup yang dinyatakan dalam tindakan kasih yang inklusif, terbuka kepada semua orang, toleran, rendah hati untuk belajar dan memahami setiap kebenaran, dan senantiasa bersikap kritis serta berlaku adil. Amin
Khotbah Minggu

SABAR DAN BERPENGHARAPAN DALAM MENJALANI KEHIDUPAN

Yesaya 44:6-8; Mazmur 86:11-17; Roma 8:12-25; Matius 13:24-30, 36-43 

Pengantar 
Ada pepatah, ’sapa sabar bakal subur’, atau ’sabar iku gedhe wekasaning’. Dalam pepatah ini mau mengatakan bahwa ’sabar atau kesabaran memiliki daya positif’. Memang sabar adalah sikap tenang, tidak bernafsu, dan tekun dalam menghadapi segala macam situasi. Kesabaran juga merupakan sikap untuk tetap berpegang teguh pada keyakinan. Kesabaran akan teruji oleh situasi di sekitarnya.
Misalnya, kesabaran umat Israel saat di Babel diuji oleh adanya allah-allah lain di sekitar mereka. Allah-allah lain itu memberikan tawaran-tawaran yang tampaknya hebat, tetapi sebenarnya kosong. Demikian juga kesabaran Daud diuji dengan berbagai masalah di dalam kehidupannya. Bahkan kesabaran murid-murid Yesus dalam kehidupan sehari-hari diuji dengan panggilan untuk hidup toleran, adil, taat, penuh pengampunan dan tekun, di tengah dunia yang penuh dengan ketidakadilan, dan kejahatan.

Kesabaran dalam kehidupan
Sebagai seorang Raja, Tuhan tidak pernah menggunakan kekuasaannya dengan sewenang-wennang. Hal ini nampak dalam bacaan Yesaya. Dalam Yesaya 44:6-8 yang merupakan bagian dari Yesaya 44:6-33, Allah menyatakan kesia-siaan berhala. Di sinilah Allah menyatakan janji keselamatan pada Israel, bahwa Allah mengampuni dosa Israel dan menyatakan pemulihan-Nya. Untuk membandingkan diri-Nya dengan allah-allah lain, TUHAN menyebutkan diri-Nya dengan: Raja, Penebus Israel, TUHAN semesta alam. Sebutan Raja menunjukkan bahwa kepemimpinan-Nya adalah kepemimpinan yang tertinggi di sepanjang sejarah. Sebutan Penebus Israel menunjukkan bahwa Ia adalah TUHAN yang membela seluruh kehidupan umat-Nya, dan sebutan TUHAN semesta alam menunjukkan bahwa Ia adalah Allah yang berkuasa atas alam semesta. Ia yang mencipta, Ia juga yang berkuasa atasnya. Untuk menegaskan bahwa TUHAN tidak ada bandingnya dibanding dengan allah-allah lain, Ia menegaskan bahwa TUHAN adalah yang terdahulu dan terkemudian (ayat 6). Penegasan TUHAN semakin tampak manakala Ia mengatakan, ”Siapakah yang seperti Aku? ....biarlah mereka memberitahukannya kepada kami!” (ayat 7). Sedangkan allah-alllah lain adalah kosong, yang artinya mereka bukan penguasa sejarah. Untuk itulah, Tuhan mengingatkan agar Israel tidak gentar pada allah-allah Babel (ayat 8), sekalipun mereka tampah gagah, tetapi mereka kosong dan tidak berdaya.
Setelah menyakinkan umatNya, Tuhan memanggil Israel menjadi saksiNya, yaitu untuk memberitakan bahwa Tuhan adalah Gunung Batu Keselamatan yang tidak ada tandingannya. Gambaran tentang Allah sebagai Gunung Batu (Ibrani, Sur) diartikan sebagai tempat berlindung, tempat berpijak, lambang keselamatan, penebus dosa dan lenih unggul dari segala allah yang ada. Di sinilah, dalam Yesaya 44:6-8, kita diingatkan bahwa Tuhan telah memilih kita, memanggil kita menuju keselamatan, dan memanggil kita untuk beriman kepada Tuhan dan bersaksi tentang Tuhan sebagai tempat perlindungan, dan sumber keselamatan.

Kasih dalam kesabaran
Mengapa Allah menyatakan dan memperlihatkan diri-Nya seperti ini? Ini dikarenakan Allah demikian kasihNya melihat keberadaan umat Israel di Babel. Di Babel, Israel menghadapi berbagai tantangan iman, kekerasan fisik bahkan penindasan atau dipermalukan sebagai umat pilihan Tuhan. Untuk itulah, umat Israel diminta untuk tetap hidup dalam kesabaran. Dalam bahasa pemazmur, Mazmur 86 menyatakan bahwa bersabar diartikan ’meminta pertolongan Tuhan agar Tuhan menunjukkan jalan’ (ayat 11), adanya perlindungan dari Tuhan (ayat 14), diberikan kekuatan (ayat 16) dan para musuhnya dipermalukan karena ia ditolong oleh Tuhan (ayat 17). Itulah buah dari suatu kesabaran.
Namun ditengah penindasan dan situasi yang tidak menyenangkan ini, dengan kasihNya, Tuhan meminta agar Israel bertekun dan bersabar terhadap kejahatan. Bertekun dan bersabar bukan berarti diam atau tidak bertindak terhadap kejahatan, melainkan tetap tenang ’melawan kejahatan’. Bersabar berarti tidak terprovokasi membalas kejahatan dengan kejahatan.
Hal ini dilukiskan oleh Tuhan Yesus dengan perumpamaan tentang pohon ilalang dan pohon gandum yang tumbuh bersama di sebuah lahan. Tukang kebun mengusulkan kepada pemilik lahan untuk mencabuti ilalang yang menghimpit gandum yang sedang bertumbuh, namun dilarang oleh pemilik lahan. Sebabnya, ketika ilalang dicabuti, bisa jadi gandum ikut tercabut (Matius 13:29). Memang ilalang adalah hama bagi tanaman gandum. Celakanya, bentuk pohon ilalang dan pohon gandum hampir sama. Pada awal pertumbuhannya, ilalang dan gandum sangat sulit dibedakan. Ilalang dan gandum baru dapat dibedakan saat keduanya berbulir. Tetapi, pada saat yang sama akar-akar ilalang dan gandum sudah saling berkaitan, sehingga ilalang itu tidak dapat dicabut. Bila ilalang dicabut, pohon gandum pun akan ikut tercabut pula. Karena kemiripannya, orang Yahudi menyebut ilalang dengan sebutan pohon gandum haram. Gandum dan ilalang memang tidak dapat dipisahkan saat keduanya sedang bertumbuh. Tetapi, pada panen akhir keduanya harus dipisahkan, karena biji ilalang tidak berguna sedangkan biji gandum dibutuhkan untuk kehidupan sehari-hari.
Dengan perumpamaan ini, Tuhan Yesus ingin menyampaikan bahwa bila Ia menaburkan benih yang baik, si jahat menaburkan benih semacam ’ilalang’, yang sukar dibedakan dengan biji baik yang ditaburkan-Nya. Perumpamaan ini mau menyoroti sikap yang benar tentang penerimaan yang bermacam-macam terhadap Yesus. Panenan (ayat 30) adalah lambang yang biasa dalam Perjanjian Lama dan orang Yahudi untuk penghakiman terakhir. Dengan begitu, perumpamaan ini merupakan nasehat untuk bertahan dan tetap bersabar hingga Allah sendiri yang memutuskan mana yang dipilih-Nya pada akhir jaman. Sehingga pada ayat 28-29, para murid diminta untuk memaksakan kehendak untuk melenyapkan mereka yang memusuhi Yesus, sebab yang berhak menyingkirkan para musuh Yesus adalah Tuhan sendiri.
Hal ini nampak sekali dalam ayat 36-43, ketika para murid datang bertanya tentang makna perumpamaan ilalang. Menurut Yesus, orang yang menaburkan benih gandum adalah Yesus sendiri. Yesus menaburkan benih gandum di ladang atau dunia ini. Benih yang baik adalah mereka yang percaya kepada-Nya, sedangkan ilalang adalah si jahat. Musuh yang menaburkan benih ilalang adalah Iblis, dan mereka akan diadili pada waktu penuaian, yaitu pada akhir jaman dimana para penuai atau malaikat akan datang menuai. Ilalang akan dikumpulkan dan dibakar sebab tidak berguna, sedangkan gandum atau orang percaya akan bercahaya seperti matahari di Kerajaan Sorga. Memang pada bagian ini seakan bertolak belakang dengan ayat sebelumnya yaitu ayat 24-30 tentang kesabaran umat Allah saat pemilahan yang dilakukan Allah. Perbedaan ini haruslah dimaknai bahwa yang berhak menghakimi adalah Allah sendiri. Hanya Allah yang dapat membedakan mana yang baik dan mana yang jahat, serta melihat keseluruhan hidup manusia.
Dengan perumpamaan ini, Tuhan Yesus mengajar kita untuk bersabar terhadap kejahatan yang ada dalam dunia ini. Lantas, sejauh mana kesabaran itu? Kesabaran tidak dibatasi oleh ambisi dan nafsu mempersalahkan pihak lain, menghakimi dan membalas kejahatan dengan kejahatan.

Panggilan
Hidup dengan sabar memang bukan hal yang mudah. Untuk mewujudkannya kita harus bertekun dalam doa dan pengharapan pada Tuhan. Dengan pengharapan akan membuat kita yakin bahwa pada akhirnya Tuhan akan mengalahkan kejahatan dan menggantikannya dengan kehadiran Kerajaan Allah. Kerajaan yang penuh dengan damai sejahtera, sebab Allah sendiri yang menjadi penguasa secara utuh dan menyeluruh.
Bila nanti Tuhan sendiri yang akan melawan kejahatan, bagaimana dengan kehidupan kita saat ini? Sebagai ’anak-anak Allah’, menurut rasul Paulus dalam Roma 8, kita adalah ’ahli waris Allah’ (ayat 15), dan harus hidup memuliakan Allah (ayat 18). Meskipun hidup kita terkadang menjumpai penganiayaan dan penderitaan, kita harus tetap yakin dan berpengharapan bahwa kelak kita akan menuai kemuliaan. Itulah sebabnya dalam ayat 24-25, rasul Paulus mengajak kepada kita sebagai anak-anak Allah untuk menantikan penggenapan pengharapan ini dengan bertahan dan bersabar. Maka ’sabarlah dalam segala hal, dan tetaplah memiliki pengharapan pada Tuhan’ harus kita wujudkan. Memang tidak mudah, namun layak dicoba. Amin
Khotbah Minggu

KEMAMPUAN BERSYUKUR DAN KOMITMEN MELAYANI

Yunus 3:10-4:11; Mazmur 145:1-8; Filipi 1:21-30; Matius 20:1-16 

Pengantar 
Bagaimana sikap kita, ketika kita diperhadapkan pada sesuatu yang ’lebih besar, lebih dahsyat dan lebih megah’ dari yang ada dalam diri kita? Misalkan: kita di atas gunung melihat ’jauhnya mata memandang’, kita ditengah laut luas yang tiada batas, kita berada di tengah sungai Kali Putih yang membawa batu-batu besar sebesar truk bisa hanyut, kita berada di tengah gempa yang menghancurkan apa saja. Tentu kita akan ’kaget, takut, kagum, merasa diri kecil, menyadari kita hanya bagian dari yang besar, dan menyadari ada kekuatan yang jauh lebih besar dari pada kita’. Dalam bahasa iman, tentu kekuatan kita sebagai manusia tidak sebanding dengan ’kekuatan alam, kekuatan Tuhan’. Ketika kita melihat itu semua seharusnya, kita sadar betapa kecil dan rapuhnya kita sebagai manusia. Tidaklah mengherankan, lalu muncullah lagu KJ 40 ”Ajaib Benar anugerah’ atau ’Amazing Grace”’, yang menggambarkan refleksi syukur seseorang terhadap ’jalan hidupnya’ yang penuh dengan anugerah.

Refleksi dalam kehidupan
Rasul Paulus ketika sedang ada dipenjara Filipi, ia berusaha melihat kembali langkah kehidupannya selama ini. Memang Paulus kian menyadari, jika dulu ’ia salah arah dan hidup dengan ambisinya’, kini ia merasa ’telah ditangkap dan dikuasai Kristus’. Itulah sebabnya, ia mengatakan ”Bagiku hidup adalah Kristus” (ayat 21a). Artinya, kini ia telah mempersembahkan semua hidupnya bagi Kristus, fokusnya hanya pada Kristus. Karena hanya dengan memberikan hidup sepenuhnya, barulah Kristus dapat dimuliakan dalam dirinya. Pemuliaan Kristus ini akan menjadi lengkap-sempurna, ketika Paulus setia sampai akhir hidupnya. Dengan demikian, kematiannya pun menjadi sebuah kesempatan untuk memuliakan Kristus. Kondisi inilah yang kemudian disebut Paulus dengan mati adalah keuntungan. Sebab orang yang hidup bagi dirinya sendiri, akan melihat kematian sebagai sebuah kerugian. Ia akan takut mati, karena ia akan kehilangan segalanya. Bagi Paulus, hidup di dunia menjadi sebuah kesempatan berharga, karena Kristus masih memberikanya kesempatan untuk mempermuliakan-Nya. Sehingga hidupnya adalah melakukan karua yang berguna bagi kemuliaan Kristus. Jadi bukan sekedar hidup menghabiskan waktu atau bersenang-senang memusakan diri. Antara hidup atau mati, bagi Paulus keduanya sama-sama baik. Sehingga ia tidak tahu, atau tidak dapat menerangkan harus memilih yang mana. Paulus juga diperhadapkan pada kebutuhan pemberitaan Injil, sehingga ia merasa lebih perlu tinggal di dunia ini karena jemaat. Kasih Kristus membuatnya mengasihi dan memikirkan kepentingan jemaat Filipi. Begitu kuatnya kasih kepada jemaat Filipi, sehingga Paulus merasa perlu tetap tinggal di dunia. Sikap ini tentu saja bukan egosentrisme karena Paulus memiliki posisi penting di sana, namun disebabkan oleh kebutuhan pemberitaan Injil serta penggembalaan jemaat.
Ada satu alasan mengapa Paulus merasa perlu tetap tinggal di dunia: dia ingin agar jemaat makin maju dan bersukacita dalam iman, makin kuat dan senang dalam iman kepada Tuhan. Hal inilah yang menimbulkan keyakinan kuat, sehingga Paulus dapat tetap melakukan tugasnya dengan penuh semangat, meskipun saat itu ia masih berada dalam penjara. Bahkan, dengan yakin Paulus mengatakan bahwa ia akan kembali kepada mereka, yang berarti ia akan terbebas dari hukuman penjara. Jika Paulus benar-benar dibebaskan, kemegahan jemaat dalam Kristus akan makin bertambah.
Itulah sebabnya pada ayat 27-30 berisikan nasehat Paulus kepada jemaat Filipu agar tetap bertekun dalam iman. Nasehat Paulus diawali dengan kata ’hanya’ (Yunani ’monon, artinya sebuah peringatan yang harus ditaati) yang menunjuk pada perintah agar agar jemaat Filipi hidup berpadanan (= artinya tindakan bersatu, tolong menolong, saling menghormati, bersama-sama melawan raja kegelapan) dengan Injil Kristus. Untuk menindak-lanjuti perintah ini, Paulus menyatakan keinginannya melihat bukti heteguhan mereka berdiri dalam satu roh, serta kesehatian mereka dalam berjuang untuk iman. Jika Paulus bebas, dia berharap dapat melihat kesatuan jemaat serta ketekunan mereka. Atau, semasa masih di penjara dia berharap dapat mendengarkannya. Hal ini menunjukkan kepedulian yang tinggi dari Paulus dalam melaksanakan tugas penggembalaannya.
Paulus meminta jemaat untuk tetap teguh berdiri dalam persekutuan dengan Roh Kudus. Ini merupakan peringatan untuk menyiapkan diri menghadapi tantangan. Paulus ditahan di penjara, sementara mereka juga menghadapi hal-hal yang bisa menggeser mereka dari Injil. Jika mereka tetap hidup berpadanan dengan Injil Kristus, iman mereka akan terus bertumbuh, dan tidak gentar terhadap lawan. Berita Injil itu akan menjadi suatu tanda: Bagi jemaat berita Injil adalah tanda keselamatan, namun bagi orang-orang yang menentangnya, Injil merupakan tanda kebinasaan.
Di sini nampak sekali, ’tiada gentar sedikit pun’ merupakan keadaan yang luar biasa. Agar tidak gentar, jemaat Filipi haru benar-benar yakin akan kebenaran yang dipegangnya. Di samping itu, mereka harus berani menghadapi lawan, bukan bersembunyi atau melarikan. Keyakinan ini harus muncul dari pemahaman akan berita Injil, dan keberanian itu harus muncul dari persekutuan jemaat dengan Roh Kudus. Itulah sebabnya perjumpaannya dengan Tuhan Yesus yang begitu mengesankan Paulus, sehingga terus menerus muncul dalam refleksinya. Paulus sangat mensyukuri keselamatan yang Tuhan anugerahkan kepadanya, sekaligus dengan tugas panggilan yang harus dilaksanakannya. Begitu mendalamnya pengalaman itu merasuk ke hatinya, sehingga dalam refleksinya di surat Filipi ini, Paulus mengatakan bahwa baginya hidup itu Kristus, dan mati (di dalam Kristus) adalah keuntungan. Dan, dimotivasi oleh rasa syukurnya, Paulus menjadikan pemenuhan tugas panggilan itu sebagai fokus hidupnya.
Rasa syukur kepada Tuhan dan komitmen rasul Paulus untuk menjalankan tugas yang dipercayakan kepadanya ini, amat berbeda dengan prilaku Yunus dalam bacaan I. Yunus sepertinya ingin menolak panggilannya sebagai nabi yang diutus ke Ninewe. Dikatakan dalam bacaan I, orang Ninewe berbalik dari tingkah lakunya yang jahat, mereka menerima nubuat Yunus sebagai firman Allah. Dengan demikian, mereka menyadari akan dosa-dosa mereka, dan menerima kenyataan bahwa mereka pantas dihukum. Karena itu, mereka serius bertobat, disertai harapan kiranya Allah akan berkenan mengampuni mereka. Ternyata Allah memang berbelas-kasihan, sehingga mengubah keputusan-Nya. Perubahan sikap Allah ini bukanlah suatu bentuk inkonsistensi, melainkan karena kasih-setia Allah yang melihat perubahan mereka secara radikal. Orang Ninewe yakin nubuatan Yunus adalah Ultimatum atau ’tuntutan yang terakhir’, dan bukan Ultimum atau ’vonis yang telah dijatuhkan’. Dengan demikian mereka masih diberi kesempatan untuk menentukan sikap.
Namun Yunus tidak dapat memahami belas-kasih allah kepada Ninewe. Yunus 4:1 menggambarkan betapa marahnya Yunus melihat pembatalan hukuman itu. Ia sama sekali tidak senang dengan hal itu. Bahkan, jika diterjemahkan secara harafiah, ayat ini berbunyi, ”Tetapi hal itu jahat kepada Yunus, kejahatan besar dan bernyala-nyala baginya”. Meskipun Yunus marah kepada Allah, dia tidak dapat lari dari Allah. Hubungan Yunus dengan Allah masih erat. Karena itu, dia tetap menaikkan doa. Bedanya, Yunus menaikkan doa yang bernada egosentris dan membenarkan dirinya. Yunus tidak dapat melihat ’dinamika pergumulan’ orang-orang Ninewe. Bagaimana sulitnya memulai proses sebuah pertobatan, dan betapa sulitnya Allah Yang Maha Kudus mengampuni sebuah komunitas yang pernah melakukan dosa besar. Padahal, seharusnya seorang nabi seperti Yunus justru memohon Allah mengampuni mereka. Dalam hal ini, panggilannya sebagai nabi diuji: Apakah Yunus memilih kasih kepada orang-orang, kepada siapa ia diutus.

Jika kalimat pertama dalam doanya sudah salah, maka kalimat berikutnya lebih ironis lagi, karena ia mencari pembenaran tentang kepergiannya ke Tarsis. Bagaimana mungkin seorang nabi yang menghindar dari tugasnya, lari ke tempat yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan tugasnya, bisa mencari pembenaran dari Allah yang mengutusnya?
Di ayat ini disebutkan 5 sifat Allah, yaitu: (1) Pengasih, yang peduli terhadap orang yang lemah dan miskin, (2) Penyayang, seperti seorang ibu, (3) Panjang sabar yang mampu menahan murkanya, (4) yang memiliki kasih setia, dan (50) bisa menyesal karena malapetaka yang kendak di datangkan-Nya.
Kenyataannya, Yunus tidak senang dengan semua sifat Allah tersebut. Yunus mempersalahkan, mengapa Allah harus ’kasih, penyayang, sabar, setia, penuh penyesalan’. Itulah sebabnya pada akhir doanya, Yunus menutupnya dengan, ”...cabutlah kiranya nyawaku”. Nubuat Yunus tentang hukuman terhadap Ninewe ternyata tidak terjadi, kota itu tidak dihancurkan. Dalam keadaan seperti ini, Yunus minta mati. Rasa marah, kecewa, malu, dan putus-asa bercampur aduk dan membuat Yunus frustasi. Dia menganggap mati lebih baik. Mati dianggap sebagai alat pembebas dari segala persoalan. Memang pandangan Yunus dipenuhi dengan beragam pikiran negatif. Dia sama sekali tidak melihat keberhasilan penginjilannya. Bukankah Yunus baru saja mencapai prestasi yang luar biasa, karena secara tidak langsung dia telah berhasil menyelamatkan begitu banyak orang, dalam sebuah kota yang hampir saja dihancurkan? Seharusnya, Yunus mengucapkan syukur, bersorak sorai, dan lebih bersemangat lagi dalam melakukan tugas kenabiannya.
Seharusnya Tuhanlah yang marah. Yunus telah mengkhianati tugas dengan melarikan diri ke Tarsis, dan sangat merepotkan Tuhan yang harus mengembalikan Yunus ke Ninewe lagi. Perjalanan ke Tarsis masih butuh waktu. Dan, kalaupun ada kapal dari Tarsis yang langsung menuju Ninewe, tentu membutuhkan waktu lama, sementara batas waktu pertobatan Ninewe hanyalah 40 hari. Namun dengan penuh kesabaran, Tuhan memandukan penyadaran Yunus dengan sebuah pertanyaan reflektif: ”Layakkah engkau marah?” Bukankah Yunus telah melewati pergumulan atas panggilannya, ketika berada di perut ikan? Jika Yunus sungguh mensyukuri keselamatan yang Allah berikan kepadanya, bukankah seharusnya ia patuh kepada titah perintah sang Pemberi Hidup? Ternyata Tuhan tidak memarahi, mempersalahkan, maupun berdiskusi dengan Yunus. Tuhan hanya mengajak Yunus untuk berefleksi. Tuhan menariknya kepada inti persoalan: ’siapakah yang sesungguhnya berdaulat? Apa status dan posisi Yunus, hingga dia merasa layak memarahi Tuhan?’. Yunus, ternyata seorang nabi yang tidak bisa mensyukuri anugerah dan kasih allah.

Mampu bersyukur, menolak bersungut-sungut
Tuhan memang penuh kasih setia dan anugerah. Inilah yang mau digambarkan dalam perumpamaan di dalam bacaan III. Perumpmaaan ini diambil dari kehidupan sehari-hari di Palestina ketika panen anggur. Di waktu panen, banyak sekali pekerjaan: mulai dari memotong tandan, mengangkut ke tempat pengirikan (atau semacam bak), hingga memeras buah. Dengan demikian, biasanya pemilik kebun akan mencari tenaga kerja untuk membantunya.
Pemilik kebun sudah keluar sejak pagi untuk mencari pekerja, ia sepakat dengan upah sedinar sehari. Begit banyaknya pekerjaan membuat pemilik kebun sampai 5x mencari tenaga tambahan, bahkan yang terakhir ia memperkerjakan orang mulai pukul 5 sore. Semua pekerjaan selesai pukul 6 petang. Mereka yang bekerja mulai pagi tentu sudah sangat lelah, sementara yang baru mulai pukul 5 masih segar, semua menghasilkan kerjasama yang indah sehingga pekerjaan bisa selesai kira-kira pukul enam.
Perumpamaan ini mengajarkan betapa besarnya kasih karunia serta kesempatan yang diberikan Allah kepada manusia, sehingga seolah-olah panggilan itu terus diberikan selama masih ada waktu. Pemilik kebun tentu bebas memilih siapa pun yang bekerja di ladangnya, begitu pula Allah punya kedaulatan penuh untuk menyelamatkan siapa pun yang dikehendakinya. Pemilik kebun langsung membayarkan upah para pekerja. Ternyata hal ini menimbulkan konflik. Beberapa pekerja merasa diperlakukan tidak adil, karena dibayar sama dengan mereka yang hanya bekerja sebentar. Pemilik kebun tidak dapat dipersalahkan karena ia sudah membayar sesuai kesepakatan dan standar yang berlaku. Pekerja yang protes itu tidak memiliki kasih maupun solidaritas terhadap mereka yang hanya bekerja satu jam, padahal mereka sama-sama punya tanggungjawab terhadap keluarganya. Hal ini kontras dengan pemilik kebun, yang rela memberikan jumlah yang sama. Jika kita perhatikan, akan ada perbedaan besar antara memohon belas-kasih dengan menuntut. Jika mereka memohon belas-kasihan agar upah mereka ditambah, masih rasional dan bukan memaksa. Kalau mereka menuntut, berarti menganggap pemilik kebun tidak adil dan melakukan pelanggaran. Yang terjadi bukanlah pengurangan atas upah mereka yang bekerja dari pagi, melainkan kemurahan hati (penambahan upah) kepada mereka yang bekerja hanya sebentar.
Bersungut-sungut, memang meniadakan syukur. Ketika mereka bersungut-sungut, sesuatu yang seharusnya disyukuri menjadi hilang. Padahal, jika tidak dipanggil pemilik kebun, mungkin sepanjang hari mereka tidak mendapat uang sepeser pun. Pemilik kebuh akhirnya bersikap tegas, dan menyatakan kedaulatannya, yaitu bahwa dia berhak atas miliknya. Dia bahkan mengkritik rasa iri pekerja yang protes.

Panggilan
Yunus dan Paulus adalah hamba-hamba Allah yang diberi tugas untuk memberitakan Injil. Namun sikap keduanya bertolak belakang. Dengan motivasi yang kuat dan rasa terbeban terhadap jemaat, Paulus melakukan tugas sebaik-baiknya. Bahkan sampai dipenjara pun Paulus tetap memikirkan mereka. Sementara itu, Yunus justru melarikan diri menjauhi tempat pelayanannya. Sampai setelah ditegur pun, dia hanay memberitakan ultimatum penghukuman Tuhan. Setelah itu ia pun segera pergi, seolah ingin segera menyaksikan penggenapan hukuman Tuhan. Berbeda dengan Paulus yang memiliki keterikatan batin dengan jemaat, Yunus justru menjauhi mereka.
Mengapa di dalam diri orang yang sama-sama dipanggil Tuhan untuk memberitakan keselamatan, bisa muncul sikap yang berbeda? Kuncinya adalah ’syukur dan komitmen’. Ketika orang mensyukuri segala sesuatu, akan menyadarkan dirinya bahwa tugas pelayanan atau komitmen pelayanan harus tetap dijalankan meskipun mengalami beragam kesulitan. Bagaimana dengan saudara? Amin.
Khotbah Minggu

TIADA KEKUDUSAN, TANPA KASIH KEPADA SESAMA

Bacaan
: Imamat 19:1-2,15-18; Mazmur 1; 1 Tesalonika 2:1-8; Matius 22:34-46 
KJ
: 402 dan 401

Pengantar 
Coba renungkan lagu KPK 165 yang berjudul ‘Jatining Katresnan’
Lamun kula anglampahi tindak luhur mulya
Nging yen tanpa tresna yekti muspra tanpa gina
Kula winulanga tansah lampah tresna
Lelabet sesami nulad tindaking Gusti
Kula winulanga tresna trusing ati nggih nuladha tindaking Gusti

Bagi kita kata ‘kasih’ merupakan hal yang biasa. Semua tahu apa itu kasih, bahkan sering mengucapkan dan mempraktekkan. Namun ingat, kasih sebenarnya bukan hanya sebatas ‘pengertian’, melainkan perbuatan. Apalah artinya memahami kasih dengan begitu baik, tanpa ada aksi nyata mengasihi. Ini dikarenakan pengajaran tentang kasih, tidak bisa dilepaskan dengan ajaran tentang kekudusan

Hidup dalam kekudusan
Hidup kudus memang harus diupayakan oleh setiap orang beriman. Bisa lewat ritual agama, ataupun melalui kehidupan bersama, yaitu ‘mengasihi sesama manusia’. Hal ini nampak sekali dalam Imamat 19. Dalam ayat 3, ditegaskan, “Setiap orang di antara kamu haruslah….”. Israel kudus bukan dari sejak dulu kudus, melainkan dikuduskan oleh Tuhan. Maka Israel harus tetap menjaga kekudusan, dengan cara:
1.     Bersikap adil terhadap sesama manusia tanpa pandang muka (ayat 15). Keadilan tidak boleh berdasarkan simpati, sehingga menaruh iba terhadap rakyat kecil. Demikian juga keadilan tidak boleh ditentukan oleh sikap hormat terhadap penguasa. Keadilan tidak boleh dibeli dengan kekayaan, status sosial, dan kekuasaan. Israel harus bersikap adil kepada siapapun.
2.     Berkata benar dan jangan mengancam (ayat 16). Perkataan yang keluar dari mulut kita mempunyai dampak menghancurkan atau membangun, mematikan atau menghidupkan. Maka berkatalah yang ‘benar’, atau sesuai kenyataan.
Jangan mengancam (ayat 16). Mengancam, memperlihatkan niat seseorang. Ancaman menyebabkan ketakutan dan tertekan, sehingga dapat berkata atau bertindak tidak seperti keinginan diri sendiri, melainkan seperti keinginan orang lain yang mengancamnya.
3.     Jangan membenci tetapi tegorlah dengan benar (ayat 17). Sikap membenci akan membuat seseorang membiarkan orang lain tetap melakukan kesalahan dan dosa, sehingga sebagian dosanya kita tanggung. Namun menegor dengan benar menunjukkan sikap peduli dan mengasihi orang lain. Jika orang lain tidak peduli dengan tegoran kita, maka dosanya ditanggung sendiri.
4.     Jangan membalas dendam (ayat 18). Pengadilan bukan tempat balas dendam, melainkan tempat menyatakan keadilan.
Kasihilah sesamamu (ayat 18). Merupakan inti dari kehendak Allah.

Intinya, Tuhan menghendaki agar hidup kita selalu diliputi dengan kekudusan dalam aksi dan iman. Hidup kudus yang total. Hal ini pun juga dianjurkan oleh Mazmur 1, agar kita memilih gaya hidup orang benar, yang menekankan pada Allah dan mengakibatkan hidup bahagia. Seseorang bisa “berbahagialah” jika:
1.     “…..tidak berjalan menurut nasihat orang fasik…”. Orang fasik adalah seorang yang  tidak peduli terhadap aturan Tuhan. Bisa juga dia percaya pada Tuhan, tetapi tidak melakukan perintahNya. “Orang fasik” (ayat 1) disejajarkan dengan kata “orang berdosa” dan “pencemooh”. Artinya, orang fasik adalah seorang yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan firman Allah.
2.     “….yang tidak berdiri di jalan orang berdosa…”. Artinya, tidak mengikuti teladan hidup orang berdosa.
3.     “….yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh,…” . Artinya, bersekutu dengan orang sombong yang meremehkan hukum Allah.
Orang yang disebut “berbahagia” dalam ayat 1-2 adalah seumpama “pohon yang ditanam di tepi aliran air…” Artinya, akan selalu hidup untuk memberi kehidupan (menghasilkan buah, tidak layu, ayat 3). Tetapi sebaliknya, orang fasik hanya akan mengalami kehampaan (…seperti sekam yang ditiup angin, ayat 4) dan kematian (…tidak tahan dalam penghakiman, ayat 5, atau menuju kebinasaan, ayat 6)

Menyukakan Allah
Pemazmur dengan tegas mengajak: jauhi gaya hidup orang fasik dan tolak gaya hidup mereka. Hal inipun juga ditegaskan kembali dalam 1 Tesalonika 2:1-8, yaitu tidak kompromi dan tidak menjadi penjilat, melainkan bersikap ramah. Memang 1 Tesalonika merupakan surat yang berisi pembelaan diri Paulus terhadap tuduhan para musuhnya, dan sekaligus mengingatkan bahwa ia tidak pernah mencari keuntungan sendiri.
Dalam ayat 3, rasul Paulus menegaskan bahwa nasihat dan pengajarannya “…tidak lahir dari kesesatan” atau “dari maksud yang tidak murni dan juga tidak disertai tipu daya.”  Karena, ia sendiri mempunyai pengalaman yang luar biasa bersama Allah ketika berada di Filipi. Oleh karena itu, ia mempunyai keberanian untuk memberitakan Injil Allah (ayat 2). Bahkan dalam Pemberitaan Injil Allah. Paulus melaksanakan bukan “dari maksud yang tidak murni”. Atau, bukan “menyukakan manusia”, melainkan “menyukakan Allah” (ayat 4). Ia tidak menggunakan nama Tuhan untuk kepentingan sendiri atau ke-aku-annya. Ia tidak munafik dan tidak berpura-pura. Sebab itu, apa yang dilakukannya dengan pemberitaan Injil “tidak disertai tipu daya”, sebagaimana yang dilakukan oleh lawan-lawannya dalam rangka mencari dan mengejar hormat, pengaruh dan kekayaan (ayat 5-6)
Sikap “menyukakan manusia” hanya akan mendorong seseorang untuk menjadi pribadi yang kompromistis, sehingga tidak memiliki keberanian untuk menyatakan kebenaran dan nilai hidup yang seharusnya. Sikap “menyukakan manusia”  mendorong seseorang menjadi penjilat. Seorang penjilat tidak akan segan menjual kebenaran, kesetiaan, dan kesucian hidup, untuk hal-hal yang duniawi. Sebaliknya, sikap “menyukakan Allah” akan mendorong seseorang memprioritaskan Allah. Allah dan firman-Nya akan senantiasa menjadi tolok ukur dalam hidupnya.

Panggilan
Kasih memang harus menjadi dasar utama dalam hidup kita. Hidup kudus di hadapan Allah tidak bisa dilepaskan dengan kasih kepada sesama. Dalam Matius 22, Tuhan Yesus memberikan hukum yang paling utama dan hukum yang sama dengan itu. Perkataan Yesus ini merupakan kutipan dari Ul. 6:5, yaitu “Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu”, sebagai hukum yang terutama, dan kutipan dari Im. 19:18b, yaitu “….melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri…” sebagai hukum yang kedua, hukum yang sama dengan hukum utama. Atau intinya, bahwa kasih kepada Allah dengan segenap hati dan akal budi itu sama sekali tidak boleh dipisahkan dengan kasih kepada sesama (bdk 1 Yoh 4:20-21). Untuk itu, jangan sekali-kali memisahkan antara kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama. Makna “mengasihi Tuhan” dan “mengasihi sesama” bukan terletak pada perasaan kasih, tetapi lebih pada aksi atau perbuatan. Semakin manusia mengasihi Allah, semakin manusia ingin memanusiakan sesamanya. Tidak melihat manusia sebagai obyek, melainkan sebagai subyek.

Pertanyaan
1.     Mengapa kita sulit untuk mengasihi seseorang?
2.     Bagaimana kita mengatasi rasa benci pada seseorang, dan mengubahnya menjadi rasa kasih sayang?
Khotbah Minggu

MEMPERSIAPKAN HARI ESOK DENGAN MENJADIKAN HIDUP HARI INI BERMAKNA

Amos 5:18-24; Mazmur 70; 1 Tesalonika 4:13-18; Matius 25:1-13 

Pengantar 
Masih ingat DORAEMON? Doraemon adalah si kucing ajaib yang memiliki kantong ajaib yang dapat memberikan kepadanya alat apa saja yang dibutuhkan. Suatu saat Nobita, sahabatnya merengek agar Doraemon mengeluarkan mesin waktu, karena ia sangat ingin tahu keadaan di masa depan. Sebagaimana biasanya, Doraemon tidak kuasa menolak permintaan Nobita. Akhirnya, perjalanan melalui mesin waktu membawa mereka mengetahui kehidupan di masa depan. Nobita yang malas, sering menunda pekerjaan dan ceroboh, terkejut saat melihat ternyata buah semua sifat buruk dalam hidupnya adalah masa depan yang penuh penderitaan. Bisa ditebak, saat ia kembali dalam kehidupan di masa kini, dengan segera ia mengubah kebiasaan buruknya, dan tentunya membuat orang-orang di sekitarnya bingung, tetapi sekaligus senang. Pertanyaannya, apa jadinya jika kita juga dapat mengetahui masa depan kita?
Tentu, cerita di atas hanya fiktif. Dalam kehidupan sebenarnya kita tidak punya mesin waktu yang dapat menolong kita mengintip masa depan. Tetapi Alkitab dipenuhi kebijaksanaan mengenal bagaimana sesungguhnya sikap yang tepat dalam mempersiapkan hari esok. Hal ini penting sebab saat kita kita telah memasuki ‘hari Tuhan’ atau hari dimana kita menantikan kedatangan Tuhan. Apa yang kita lakukan saat ini menentukan sekali ‘bisa tidaknya kita tetap bersama-sama dengan Tuhan’ di akhir jaman. Lantas bagaimana sikap kita seharusnya dalam menantikan Tuhan, dan dalam mempersiapkan hari esok?

Kelompok 1,2,3 dan 4
Kelompok pertama diwakili oleh bangsa Israel pada jaman Amos, yang berpikir bahwa ibadah dan ritual yang mereka telah lakukan menjadi jaminan bahwa Tuhan akan berpihak kepada mereka pada saatnya nanti. Hari Tuhan akan menjadi saat kelepasan bagi mereka. Hal inilah yang dikritik oleh nabi-nabi Perjanjian Lama, termasuk Amos. Kesalehan pribadi seharusnya membawa dampak pada kesalehan sosial. Artinya, semakin kita beribadah seharusnya karya kita bagi sesama semakin nyata. Jadi, ibadah bukanlah soal personal saja, tetapi juga membawa dampak sosial atau komunal. Tanpa pertobatan dan kesalehan pribadi dan sosial, maka hari Tuhan akan berarti penghukuman bagi siapa pun. Hal ini nampak dari ayat 18a, “Celakalah mereka yang menginginkan hari TUHAN” (Amos 5:18a). Mengapa demikian? Karena menurut Amos, “hari itu kegelapan, bukan terang” (ayat 18b). Tidak seorang pun dapat meluputkan diri dari hari itu. Orang yang mencoba meluputkan diri, keadaannya sama seperti seorang yang mencoba menghindari seekor singa, tetapi ia malah bertemu dengan seekor beruang. Dan, jikalau ia berhasil meluputkan diri dari beruang dan mencapai rumahnya yang ia anggap aman, malah seekor ular berbisa yang tidak dilihatnya memagut dia. Tidaklah heran, jika kesimpulannya kemudian masih tetap sama, “bukankah hari TUHAN itu kegelapan dan bukan terang, kelam kabut dan tidak bercahaya?” (ayat 20).
Tindakan Amos yang mengkritisi segala bentuk ibadah dan perayaan Israel tentu saja menimbulkan reaksi kemarahan Amazia, imam pada masa itu (bdk. 7:10-17). Apalagi, Amos hanyalah seorang peternak domba  dari Tekoa, desa terpencil di Israel. Namun Amos tidak gentar. Di tengah keramaian pesta di Bethel itu, Amos menyerukan bahwa Allah tidak mau berurusan dengan segala upacara keagamaan Israel. Di dalam ayat 21 hingga 23 dari Amos 5, kita menjumpai ungkapan yang menunjukkan kemuakan TUHAN kepada segala bentuk ibadah dan perayaan keagamaan Israel lewat 7 istilah: “membenci, menghina (atau menolak), tidak senang kepada, tidak suka, tidak mau pandang, jauhkanlah, tidak mau dengar.” Saat mengatakan: “korban-korbanmu, nyanyian-nyanyianmu, perayaan-perayaanmu”, Amos seolah-olah hendak menegaskan “urusanmu, kehendak dan kemauanmu bukan urusan TUHAN, apalagi kehendak dan kemauan-Nya”. Dalam ibadah Kanaan yang tumbuh subur di sekitar Israel pada masa itu memang biasa dilakukan upacara yang ramai, dengan tujuan untuk menarik perhatian dan menyenangkan hati dewa-dewa, sehingga mereka dapat memperoleh berkat. Dengan demikian, tujuan ibadat menjadi sangat egoistis.
Lantas, apa yang TUHAN kehendaki? Di dalam ayat 24 disebutkan, “biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir.” Bagian ini dapat dimengerti sebagai ungkapan kekuatan keadilan dan kebenaran yang tidak akan terkalahkan, bagai air dan sungai yang selalu mengalir. Di sinilah, TUHAN menghendaki adanya keadilan dan kebenaran, lebih daripada sekedar perayaan keagamaan apalagi yang bersifat manipulatif. Sebab ibadah itu menyangkut kesalehan personal, sekaligus komunal. Jika tidak demikian, maka sia-sialah segala kesalehan yang selama ini kita miliki.

Kelompok kedua, nampak dari jemaat Tesalonika yang memandang dan menantikan hari Tuhan dengan sikap yang berlebihan. Mereka sangat menantikan hari itu, yang dipahami sebagai hari kedatangan Yesus kedua kalinya, akibatnya mereka tidak fokus dalam kehidupan masa kini. Karena luapan emosi kegembiraan dalam menantikan Tuhan, jemaat Tesalonika mengabaikan kehidupan nyata kini dan di sini. Mereka berhenti bekerja, itulah sebabnya rasul Paulus menyuruh mereka untuk tenang dan melanjutkan pekerjaan (1 Tes 4:11). Di sisi lain, jemaat Tesalonika juga menguatirkan ‘apakah orang-orang percaya yang sudah meninggal dapat ikut mengalami hari kedatangan itu?’ Paulus menjawab bahwa baik yang sudah meninggal, maupun yang masih sama-sama hidup akan mengalami kemuliaan. Paulus menasehati mereka agar jangan meratap seperti orang-orang yang tidak berpengharapan.
Memang dunia non-Kristen pada masa itu memandang kematian secara berbeda. Mereka menganggap kematian sebagai pengunduran diri yang menyeramkan, dan ketiadaan pengharapan. Hal ini tampak melalui kata-kata yang terukir pada batu nisan, “Saya sudah tidak ada lagi; Saya sudah berubah; saya tidak ada lagi; saya tidak peduli lagi”. Kepada jemaat di Tesalonika, Paulus meletakkan dasar yang penting, bahwa ‘orang yang hidup dan mati di dalam Kristus, tetap berada di dalam Kristus’. Sekalipun telah mati, ia akan bangkit di dalam Kristus. Jika Kristus telah mati dan bangkit kembali, maka orang yang bersama dengan Kristus akan bangkit pula. Dengan ungkapan puitis, rasul Paulus menjelaskan kronologi kedatangan Kristus. Pada kedatangan-Nya yang kedua, Kristus akan turun dari sorga ke bumi. Ia akan mengucapkan sebuah perintah. Saat itu suara malaikat dan sangkakala Allah akan membangunkan orang-orang yang telah mati. Selanjutnya, orang yang mati dan yang hidup bersama-sama akan diangkat masuk ke dalam awan untuk bertemu dengan Kristus, agar mereka dapat tinggal bersama Tuhan untuk selamanya.

Kelompok ketiga, adalah kelompok yang tidak serius dalam mempersiapkan diri menyambut hari Tuhan. Kelompok ini digambarkan melalui 5 gadis bodoh, yang tidak mempersiapkan minyak bagi pelitanya, saat menantikan kedatangan mempelai. Pernikahan Yahudi memiliki 2 tahap. Pada tahan pertama, mempelai laki-laki akan berangkat ke rumah mempelai perempuan dan membawanya untuk melaksanakan berbagai upacara keagamaan. Kemudian, mempelai laki-laki akan membawa mempelai perempuan ke rumahnya untuk melanjutkan perayaan. Inilah saat yang dinantikan oleh para pengiring mempelai. Pada saat itu, gadis pengiring mempelai perempuan membawa pelita saat menantikan kedatangan mempelai. Pelita adalah sejenis lampu sederhana yang berbentuk mirip mangkok dan diisi dengan minyak zaitun dengan sumbu pada salah satu ujungnya. Pelita menyala sekitar 15 menit saja, lalu harus diisi kembali dengan minyak. Karena itu, persediaan minyak bagi mereka amat penting. Pendengar Yahudi pasti mengerti mengapa Yesus mengatakan bahwa gadis-gadis yang tidak membawa persediaan minyak sebagai gadis yang bodoh, sebab waktu kedatangan mempelai laki-laki memang tidak bisa ditebak. Intinya, para gadis bodoh ini hanya ‘ingin hal yang ringan, tidak peduli terhadap situasi dan antisipasi, dan mereka hidup dalam egoisme’.

Kelompok keempat, diwakili oleh 5 gadis bijaksana yang mempersiapkan segala sesuatu dengan teliti, serta berjaga-jaga dalam keadaan apapun. Jikalau 5 gadis bijaksana tidak bersedia memberikan persediaan minyaknya kepada 5 gadis yang lain, tidak dapat ditafsirkan bahwa mereka egois. Sebab suatu kewajiban bahwa setiap orang untuk membawa persediaan minyaknya sendiri. Bagaimanapun minyak itu memang tidak dapat dibagikan. Adalah benar jika gadis-gadis bijaksana mengatakan, “…nanti tidak cukup untuk kami dan untuk kamu” (Mat. 25:9). Menurut Yesus, dalam menunggu kedatangan Anak Manusia memang tidak dapat diduga. Kewajiban setiap orang adalah berjaga-jaga, sembari mempersiapkan diri masing-masing, tanpa bergantung pada orang lain. Ada saatnya apa yang dipersiapkan tidak dapat dibagikan kepada orang lain, atau sebaliknya. Persiapan dan sikap berjaga-jaga sangat personal. Ia tidak dapat diwakilkan, sama halnya dengan iman dan pengharapan yang menyebabkan seseorang tetap setia dalam penantian, tidak dapat ditukarkan kepada orang lain. Itulah sebabnya, setiap orang pada saat ini dituntut ‘secara mandiri berjaga-jaga dan menata dirinya sendiri’.

Panggilan
Akhir jaman atau ‘hari TUHAN’ memang hari kelepasan, namun sekaligus sebagai hari penghukuman bagi mereka yang tidak taat kepada TUHAN. Itulah sebabnya, pemazmur 70 mengajak kita agar mau bersandar kepada Allah sebagai Sumber Pertolongan. Mazmur ini menggunakan kata-kata yang amat personal, mengandaikan permohonan seorang anak kepada ayah yang ia percayai. Si anak mengadukan perlakuan buruk yang ia terima, dan mengharapkan keadilan, “Biarlah mendapat malu dan tersipu mereka yang ingin mencabut nyawaku; biarlah mundur dan kena noda mereka yang mengingini kecelakaanku; biarlah berbalik karena malu mereka yang mengatakan: "Syukur, syukur!" (ayat 3 dan 4).
Bahkan pada ayat 5, ungkapan personal berubah menjadi ungkapan penghiburan dan pengharapan bagi semua orang yang menaruh pengharapan kepada Allah, “Biarlah bergirang dan bersukacita karena Engkau semua orang yang mencari Engkau; biarlah mereka yang mencintai keselamatan dari pada-Mu selalu berkata: "Allah itu besar!"
Di sinilah, dalam memasuki ‘hari Tuhan’ ini, tentu kita diharapkan: tetap berserah kepada Tuhan, bijaksana dalam bersikap, tetap tekun dalam iman, berpikir jernih dan tidak panik, serta terus menerus ‘berjaga-jaga dan bertobat’. Ingatlah, waktu kedatangan Tuhan segera datang. Maka kata-kata, “segeralah” dan “jangan lambat” (Mzm 70:6) sangat berguna pada saat ini. Ingatlah, menantikan akan hari Tuhan atau kedatangan Kristus kedua kalinya tidak berarti mengabaikan tanggungjawab atas hidup di sini dan saat ini. Justru, penantian itu harus membuat hidup kita lebih berkualitas dan bersiaga. Artinya, kita lebih siap untuk dimintai pertanggungjawaban, kapan pun dan oleh siapa pun. Amin
Khotbah Minggu

WEBINAR CCA: PEKERJA MIGRAN MENANGGUNG BEBAN COVID-19

Ruth Mathen Kesimpulan panelis webinar CCA: Pekerja migran menanggung beban terbesar dari krisis COVID-19 dan dampaknya yang terus meni...